Malam yang kelam bagi Geya pun tiba; pertunangan sang kakak dan lelaki yang gadis itu cintai akan dilangsungkan beberapa saat lagi.
Pasrah dan belajar menerima, adalah dua hal yang Geya coba lakukan sekarang. Peluangnya telah lenyap. Hubungan Zanitha dan Maga bukan lagi main-main, jadi Geya akan berhenti mengusahakan perasaannya.
Dia mungkin pernah menjadi sangat egois, tetapi keegoisan itu nyatanya tak sanggup membuat Geya bahagia. Memaksa Maga membalas rasa sukanya, betapa naif dan jahat tindakan itu. Menyadari bahwa Zanitha adalah perempuan terbaik untuk diperlakukan bak ratu oleh pangeran sehebat Maga, Geya sungguh tidak rela. Hanya saja upik abu macam dirinya mana pantas menggantikan posisi krusial tersebut. Bahkan dalam bayangan sekalipun terasa amat hina.
Segala upayanya berakhir sia-sia. Terlalu tinggi memang angan-angan yang sempat Geya rangkai di hari kemarin. Membawa kesakitan teramat fatal di hari ini. Tanpa ampun menghajar sisa-sisa ketabahannya.
"Berhenti, bodoh. Berhenti suka sama seseorang yang sebentar lagi menyematkan cincin ke jari perempuan lain," gumam Geya seraya memandang nanar refleksi dirinya pada cermin. Sebentuk wajah cantik yang tampak sendu. Sudut-sudut mata indah gadis itu turun, menyirat kenelangsaan yang mendalam.
Dalam balutan gaun putih tulang selutut di mana pada sepanjang garis bahunya bertebaran mutiara, gadis itu tampak memesona. Wajah yang terbiasa polos tanpa riasan itu kini dipoles make up tipis sehingga memberi kesan feminin yang natural. Rambut Geya yang panjangnya sebatas tengkuk dibiarkan tergerai indah.
Malam ini, kendati perempuan itu bukan pemeran utama dalam pesta, tetapi pesonanya tidak kalah memukau dari Zanitha. Adik-kakak yang sama-sama memikat lewat tampilan. Sekadar kesan saja yang membedakannya. Si bungsu tampak cantik dengan image lugu yang ceria, sedangkan keanggunan dan aura elegan melekat pada si sulung.
"Geya."
Panggilan sarat kasih itu merebut atensi gadis yang masih betah menyelami luka di sepasang obsidiannya. Bersamaan dengan derap langkah mendekat, Geya sadar harus segera menata kewarasannya dan melihat secara langsung bagaimana Maga dan Zanitha meresmikan komitmen dalam ikatan pertunangan. Keluar kamar, hanya untuk menyongsong kesedihan baru.
"Ayo keluar, sayang." Tangan Ibu memegang bahu putri bungsunya.
Sejak insiden kemarin, Ibu bersikap lebih baik pada Geya. Anehnya, gadis itu tidak merasa tersentuh sama sekali. Terlambat. Afeksi Ibu kembali dia rasakan, tetapi seolah-olah karena ada keterpaksaan. Jika emosi Geya tidak meledak-ledak tempo hari, akankah ego Ibu melunak seperti sekarang?
"Ibu duluan aja," balas Geya.
"Ogy di luar nungguin kamu, lho."
"Iya, Ibu duluan aja."
Sikap dingin sang putri dapat Ibu maklumi. Sebagai orang tua yang pernah menjadi remaja, beliau sangat memahami perasaan Geya. Tidak apa-apa, segala salah selalu butuh waktu untuk dimaafkan. Ibu sungguh menyesali kekeliruannya di masa lalu.
Usai mengusap bahu Geya, beliau pun hengkang. Meninggalkan gadis itu dalam kungkungan hening yang menyesakkan dada. Suasana kelewat sepi yang lumrahnya Geya suka, tetapi khusus untuk yang satu ini entah kenapa dia begitu membencinya.
Gadis itu berjalan ke ranjang, lantas mendudukkan diri di tepiannya. Ia gapai ponsel dari atas nakas, menyalakan layar, dan kemudian membuka notifikasi pesan dari Ogy.
KAMU SEDANG MEMBACA
[✓] The Right Heartbeat
Teen Fiction"Bisa gak kita temenan aja?" "Nanti." "Kapan?" "Nanti, kalau gue udah bisa ngelihat lo tanpa ngerasa sakit lagi." Don't copy my story!