11. How 'bout Forever

885 158 3
                                    

Geya demam, gara-gara Ogy. Jelas saja pemuda itu disalahkan, pasalnya dia yang tadi sore mengajak hujan-hujanan. Namun, kekonyolan tersebut tidak terlalu buruk karena Geya bisa melepas air matanya sambil tertawa-tawa. Dia menangis hebat hingga merasakan perih di tenggorokan, tetapi kabar baiknya air hujan yang mengenai wajah berhasil menyamarkan segala kesedihan.

Sebelumnya Geya tidak tahu bahwa berada di bawah guyuran hujan saat sedih bisa membuat suasana hati membaik. Semacam, Geya menangis, dan langit mendukungnya lewat tetes demi tetes yang berjatuhan. Seolah ada yang sudi memahaminya tanpa banyak tanya. Hawa dingin yang seakan-akan menjelma dua rentangan tangan yang sudi memberi Geya sebuah pelukan. Tidak menghangatkan, tetapi jiwa gadis itu mendapatkan ketenangan.

Intinya, Geya suka akan pengalaman baru yang Ogy kenalkan. Meski terkesan kekanakan, tetapi sedikit mampu mengobati perih di hati.

Segala sesuatu selalu dicipta atas kurang dan lebih yang diikat satu paket. Luka tak kasatmata yang Geya rasa mungkin sedikit terobati, tetapi imbas negatifnya tubuh gadis itu malah tumbang. Tidak apa-apa, ini adalah pengorbanan yang sepadan.

“Gak mau ke rumah sakit aja, Dek?”  Zanitha selalu jadi yang paling perhatian ketika Geya sakit. Tipe kakak idaman semua adik di muka bumi, Geya berani bertaruh untuk itu.

Si bungsu yang terbaring dengan selimut menyentuh dagu dan dahi ditempeli handuk kompresan air hangat, sekali lagi menggeleng. “Cuma demam, dibawa tidur juga sembuh."

Di wajah Zanitha terdapat gurat-gurat khawatir yang nyata. Melihat rupa pucat Geya beserta gemeletuk gigi yang sesekali terdengar akibat kedinginan membuatnya tidak tega. “Kamu mau sesuatu, Ge? Mbak mau keluar sebentar, jadi nanti sekalian dibeliin.”

“Enggak ada. Geya cuma mau tidur. Mbak hati-hati, ya.” Gadis itu tersenyum tipis, tetapi langsung meringis karena kepalanya mendadak disera nyeri yang berdenyut-denyut macam ditusuk-tusuk jarum kecil.

Zanitha mengangguk sambil membawa tangannya ke puncak kepala Geya, mengusaknya sayang sebelum kemudian dia kecup ringan kening sang adik. “Get well, soon.”

Pintu berderit ketika Zanitha menutupnya. Selepas kepergian sang kakak, Geya segera memiringkan badan. Menghadap ke jendela dan mulai fokus memandangi gelap malam di luar sana. Kompresan otomatis luruh dari dahinya, tetapi gadis itu terlalu apatis untuk menaruhnya kembali ke tempat semula. Di dalam selimut, kedua tangan Geya menyilang di depan dada, berusaha memeluk tubuhnya sendiri yang menggigil. Padahal beberapa menit lalu dia merasa kegerahan. Suhu tubuhnya seperti anak remaja yang baru pubertas saja, alias labil sekali.

Di luar hujan sedang turun, deras dan disertai guntur. Dia jadi cemas pada Zanitha yang keluar rumah saat cuaca sedang tidak bersahabat. Sampai kemudian gadis itu teringat sesuatu, perginya pasti sama Bang Maga.

Dengan demikian langsung tenang hati Geya dibuatnya. "Kenapa gue selalu lupa kalau dia punya Bang Maga?"

Lantas, tawa seraknya mengudara.

Ketika kecil dulu, terkena demam adalah kondisi yang tidak buruk-buruk amat. Geya kerap bisa tidur nyenyak meski suhu tubuhnya panas di atas batas normal. Namun, segalanya berubah kala beranjak remaja. Jangankan untuk menyelami alam mimpi, sekadar memejamkan mata saja rasanya tidak nyaman sekali. Bertambah umur, bertambah pengalaman, bertambah pula hal-hal menyenangkan di masa kecil yang melepaskan diri dari genggaman. Hal-hal menyenangkan itu memilih diam di sana, di masa lalu. Membungkus diri dalam kotak kenangan. Jadi hal yang teramat ingin diulang, tetapi tidak ada kunci untuk membuka gembok kemustahilannya.

Saat kesadaran Geya ditarik-tarik oleh angan yang ingin mengajaknya berjalan di dunia khayalan, suara halus pintu yang dibuka kontan membuyarkan lamunan gadis itu.

[✓] The Right HeartbeatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang