18. I Did Mistake, Sorry

1.1K 173 28
                                    

"Kamu cinta sama Abang, 'kan, Ge?"

Hanya sebaris kalimat, tetapi sanggup merenggut kewarasan Geya. Gadis itu bahkan lupa sudah berapa kali menyatakan perasaan pada Maga saking seringnya, seriuskah sekarang Maga masih saja bertanya demikian?

Apa lelaki itu bercanda?

Diiringi gemericik air sebagai latar suara, Geya menatap wajah Maga yang berada tepat di depannya. Lekat dan intens, seakan-akan berusaha menyelami dua manik hitam itu yang di momen ini enggan memancarkan binar. Mencari arti dari sikap Maga yang sukar diraba ke mana akan bermuara. Kendati tatap mereka bertemu setiap hari, tetapi ada waktu-waktu tertentu di mana Geya kesusahan menyimpulkan arti dari sorot mata lelaki ini, dan sekarang adalah salah satu waktu tersebut.

"Kenapa tanya begitu?" Kepala Geya yang semula mendongak kini puncaknya berada satu garis lurus dengan dagu Maga. Otomatis tatapannya mengarah pada dada bidang lelaki itu. Geya berhenti, tidak mau lagi mencari-cari sesuatu yang sejatinya memang tak pernah ada di mata Maga. Benar, tadi dia berusaha menemukan setitik cinta, tetapi yang didapati justru berlembar-lembar luka.

"Jawab dulu, Geya," desak Maga.

"Terus kalau aku jawab emang bakal gimana, Bang?" Di bawah, remasan tangan Geya makin kuat mencengkeram kain gaunnya. Sambil memejam, dia melanjutkan, "Iya atau enggak, gak ada bedanya. Iya atau enggak, Bang Maga juga gak akan peduli. Kalau enggak, memang itu yang seharusnya. Kalau iya, pasti Abang bakal minta aku buat berhenti, 'kan?"

"Iya atau enggak, jawab." Rupanya Maga butuh kepastian. "Tolong jawab biar Abang yakin harus lanjutin pertunangan ini atau enggak, Ge."

"Jangan main-main, Bang!" sentak Geya seraya menatap tajam Maga yang baru saja mengucapkan hal jahat. "Bang Maga udah mainin perasaan Geya, tolong jangan macam-macam juga sama perasaannya Mba Zani. Ini hati, lho. Bukan mainan. Kenapa mudah banget buat kamu ngomong kayak barusan? Itu nyakitin tau gak?"

Bugh!

Geya refleks memejam kala tinju Maga mendarat pada dinding persis di dekat telinganya. Bunyi benturan dari bertemunya kulit dan tembok itu menghajar pendengaran Geya, berdenging beberapa saat dan berujung pada kengerian yang mengentak dada. Gadis itu tak bisa menampik kekagetan, sebab seumur-umur mengenal Maga, lelaki itu tak pernah menunjukkan sikap kasarnya. Maga yang Geya kenal tidak begini. Atau sebenarnya Geya tidak pernah benar-benar mengenali Maga?

"Kamu pikir siapa yang main-main? Gak mudah buat aku untuk sampai di titik ini, Geya. Bukan cuma kamu yang mau kita sama-sama, aku juga maunya gitu, Ge. Aku mau kamu. Ada angan-angan tentang kita yang selalu aku jaga. Tapi maaf karena aku gak cukup berani untuk mewujudkannya."

Iris mata Geya bergetar. Penjelasan dengan suara yang kentara menyirat putus asa dan rasa lelah itu berakibat fatal. Menjelma gulungan ombak tsunami dan menghantam perasaan Geya. Dari pengakuan ini, apa yang sebenarnya lelaki itu harapkan?

Sekalipun telah berterus terang, rasa-rasanya semua sudah terlambat. Geya terlanjur sakit hati. Zanitha juga kepalang basah mencintai lelaki ini.

"Kamu harusnya gak bilang apa-apa kalau pada akhirnya akan tetap jadi pengecut." Suara Geya mengalun pelan, tetapi ada penekanan dan ketidaksukaan di dalamnya. "Sekarang, abis kamu bilang begini, terus apa? Apa semuanya bakal berubah sesuai yang kamu mau? Enggak, Bang!"

Everything is getting worse!

Maga hendak meraih tangan Geya, tetapi gadis itu bergerak cepat menjauhkan diri. Enggan disentuh dan merasakan kepahitan ini lebih nyata.

"Jangan menyia-nyiakan Mbak Zani. Aku udah biarin perasaanku hancur lebur demi kalian, jadi tolong hargai pengorbananku." Geya memalingkan wajah, tidak ingin merasa lebih sakit lagi karena kini di hadapannya, Maga nyaris meloloskan air mata. "Apa pun alasan yang bikin Bang Maga gak berani membuat nyata angan-angan tentang kita, i don't give a shit anymore. Biarin khayal itu tetap jadi khayal. Kalau Abang coba-coba mewujudkannya, Geya gak mau kenal Abang lagi. Gak mau liat kamu lagi!"

[✓] The Right HeartbeatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang