"Mau pulang gak?" tanya Gavriel saat kini Zera yang berganti diam, seperti memikirkan sesuatu.
"Bang Arlan kenapa gitu...," lirihnya. Zera mengaduk-ngaduk minumannya yang tinggal setengah. Ia terus memikirkan tentang Abang Arlan yang bersama dengan Aluna. Meski raut wajah Aluna nampak panik, entahlah. Zera hanya kecewa jika yang difikirnya benar.
Matanya terus memperhatikan Zera yang masih melamun. Akhirnya Gavriel memutuskan untuk membayar nasi goreng terlebih dulu, agar tidak menghambat waktu karena sudah malam. Dirinya tidak mau Zera sampai sakit jika terkena angin malam.
"Zera, ayo pulang. Udah malem, nanti sakit." Tangannya terulur, membuyarkan lamunan Zera. "Zera gak mau sendiri," gumam Zera. Sedari tadi perasaannya tidak bisa tenang.
Gavriel sedikit menunduk, merapikan anak rambut yang nakal menutupi mata Zera. "Terus Zera maunya apa hm?"
"Temenin, malam ini aja. Zera gak tenang."
Dahi Gavriel berkerut, lantas mengangguk. Merangkul Zera dengan erat, sesekali mengacak rambut Zera dengan gemas menuju ke arah motor.
"Mau peluk ya," ujar Zera langsung memeluk Gavriel dengan erat saat sudah berada di atas motor. Gavriel merasa ada yang aneh pada cewek itu. Biasanya jika Gavriel meminta peluk, Zera menolak. Tapi sekarang malah izin minta peluk.
"Peluk yang erat, jangan dilepas." Gavriel mengusap punggung tangan Zera. Cewek itu menyenderkan kepalanya di punggung Gavriel. Tak terasa air mata Zera meluruh tanpa seizinnya. Zera tidak mengerti, hanya perasaannya terasa begitu sesak.
Mengerti kondisi sudah malam. Jadi Gavriel membawa motor dengan kecepatan sedang. Untung saja tempat nasi goreng tidak begitu jauh dari rumah Zera. Perjalanan terasa begitu hening tanpa adanya pembicaraan. Zera hanya diam saja, bahkan Gavriel merasa pelukannya semakin erat membuat dirinya merasa sedikit sesak.
"Zera kamu lewat pintu depan aja. Bawa kunci cadangan kan? Susah kalo lewat balkon, lagi pula kamu lemes banget. Kenapa?"
"Gapapa." Andalan cewek. Bilang gapapa, padahal banyak arti yang tersembunyi dibalik kata 'gapapa'.
"Biasanya cerewet," gumam Gavriel bingung.
"Ngantuk Gav." Zera tersenyum tipis. Mencari kunci rumah dan segera membukanya untuk bisa masuk ke dalam. Dengan harap-harap Bang Rama sudah tertidur, atau berada di dalam kamar.
"Yaudah Gavriel pulang aja. Biar Zera bisa istirahat."
Zera menggeleng, langsung menarik tangan Gavriel dengan tatapan sendunya. "Jangann... Zera gamau sendiri. Takut...."
Mereka berdua akhirnya memutuskan masuk ke dalam rumah secara diam-diam. Hingga sampailah di depan pintu kamar Zera, segera Zera membuka pintu dan masuk tak lupa mengunci pintu.
"Em— Gavriel di sofa ya."
Gavriel mengangguk patuh. Sejujurnya dirinya belum terlalu mengantuk karena baru pukul 9 malam lebih. Jadi masih terlalu sore untuk tidur.
Zera melepas jaket Gavriel, menyisahkan baju lengan pendeknya. Cewek itu mulai memejamkan mata meski terasa begitu sulit. Bayangan-bayangan orang yang menyelakai dirinya terlintas dipikirannya. Mampu membuat Zera takut akan kesendirian. Mulai hampir dibuat jatuh dari atas rooftop dan dihadang tiga orang penjahat. Semuanya sudah pernah Zera rasakan, hingga berakhir masuk di Rumah sakit.
Apa yang dimaksud Aluna itu Arlan? Abangnya? Cowok yang selalu menyelakainya? Padahal, meski Arlan terbilang keras. Tapi cowok itu yang paling maju terdepan jika dirinya disakiti.
"Abang Arlan kenapa lakuin itu... salah Zera apa Bang...." Zera menangis dalam diam memunggungi Gavriel yang berada di sofa. Punggung cewek itu bergetar mampu membuat Gavriel khawatir.
KAMU SEDANG MEMBACA
GAVRIELZE [Completed]
Ficção Adolescente[JANGAN LUPA FOLLOW SEBELUM BACA] Gavriel Elard Raymond Kehidupan Gavriel berubah setelah bertemu dengan Elzera, cewek gila yang pernah dia kenal. Elzera selalu berusaha mendekati dirinya dengan segala cara. Padahal sudah beberapa kali Gavriel lonta...