Malamnya, setelah makan malam penuh kecanggungan di rumah Yedam, ya meski orang tua Yedam dengan luwesnya sudah mencairkan situasi sih, Yedam dan Haruto kembali ditelan dalam kesunyian yang panjang. Entah saat di perjalanan pulang atau pun saat keduanya sudah memasuki kamar mereka.
Haruto sudah lupa rasa lelahnya karena pekerjaan kantor sejak dirinya berbincang dengan papa Yedam. Ia menghentikan langkahnya saat baru selangkah masuk ke kamar. Pandangannya mengamati Yedam yang sudah masuk kamar lebih dulu.
Seolah tak terjadi apa pun, Yedam dengan santainya melepas sweater yang dikenakannya dan menyisakan kemeja peach-nya. Tanpa sepatah kata apapun, Yedam mengambil setelan piyamanya di almari dan berjalan masuk ke kamar mandi untuk berganti pakaian. Ralat, merenung di depan cermin wastafel.
Di luar, Haruto hanya menghembuskan napasnya berat. Seolah mencoba membuang beban yang entah apa dari dalam tubuhnya. Ia melepas blazer mocha yang dipakainya dan menyisakan kaos putih dan cenana jeans hitamnya. Ia mendudukkan dirinya di pinggir ranjang alih-alih mengganti pakaiannya.
Dan setelah waktu berjalan bermenit-menit, Yedam keluar dari kamar mandi dan mendapati Haruto yang terduduk diam di pinggir ranjang dengan pakaian yang masih sama seperti tadi. Hanya blazernya yang sudah terlepas.
"Tidak mengganti bajumu? Ingin ku carikan piyama atau pakaian seperti biasanya?" tawar Yedam sembari berjalan ke tempat almari pakaian mereka berdiri.
Yedam mencoba bertindak senetral mungkin dengan pikiran yang masih dipenuhi pembicaraannya dengan mamanya.
"Hatimu- apa sudah ada diriku di sana?" daripada menjawab Yedam, Haruto justru melempar pertanyaan lain yang membuat Yedam menghentikan tangannya yang hendak membuka almari.
"Selama hampir setengah tahun pernikahan kita, setiap malamnya aku selalu bertanya-tanya. Apa ada tempat untukku, seorang orang asing notabene atasan tertinggi mu di kantor, dalam hati mu. Rasanya- agak aneh saat mempertanyakan itu dikala kau adalah seseorang yang ku nikahi."
Yedam masih diam di posisinya. Bahkan tak ada niatan berbalik, menatap Haruto yang mengajaknya berbicara. Toh, ia yakin Haruto juga tidak sedang menatapnya.
"Kalau begitu, aku ganti petanyaan saja dan kamu harus menjawabnya." ujar Haruto setelah membiarkan keheningan lewat selama beberapa detik.
"Apa kamu- masih mencintai Junkyu hyung?"
Lagi, keheningan menyapa. Haruto kini menolehkan pandangannya dari lantai yang sedari tadi ditatapnya ke arah Yedam. Memperhatikan punggung Yedam yang terbalut piyama baby blue.
"Kau ingin aku jujur atau berbohong?" tanya Yedam.
"Jujur."
"Tidak." Yedam membalik tubuhnya. "Tidak ada lagi cinta untuk orang itu." jawab Yedam tanpa sedikit pun keraguan.
"Lalu aku, kau mencintai ku?" tanya Haruto lagi.
"Jujur atau bohong?"
"Jujur."
Yedam mengangguk. "Hm. Aku mencintaimu. Sejak hari, dimana dengan bodohnya kau menikahi seseorang yang ditinggal calon suaminya dan menghilang entah kemana tanpa kabar. Dan semua afeksi mu, membuatku ingin lebih dan lebih mencintaimu." jelasnya tanpa gundah.
Haruto senang? Ya. Tentu. Dia dapatkan jawaban atas pertanyaannya. Tapi, ada satu hal yang membuatnya kurang puas.
"Sesulit itu mengatakannya sejak awal, hyung?"
"Aku hanya orang asing yang masuk ke tengah-tengah pernikahan mu dengan Jeongwoo, Haruto. Aku merasa tidak layak untuk mencintaimu. Sejak kaki ku menapak di mansion ini, aku sudah merasa menjadi tokoh antagonis dalam kehidupan kalian."
KAMU SEDANG MEMBACA
•Anprotagonist• [ℎ𝑎𝑟𝑢𝑑𝑎𝑚] ✔
FanfictionSiapa yang antagonis dan siapa yang protagonis? Haruto yang mengundang orang lain masuk dalam pernikahannya? Jeongwoo yang tidak suka dengan kehadiran orang yang Haruto bawa? Atau Yedam si orang asing yang tidak tau kenapa takdir membuatnya hidup di...