. • the nineteenth

496 104 11
                                    

Bugh

"Ah, hari ini melelahkan sekali. Uhm, otakku rasanya ingin pecah. Ini lebih buruk dari ngebut kuliah dulu. Aku sud-"

Yedam tertawa lembut melihat tingkah Haruto. Suaminya itu masih sibuk mengomel. Mengeluarkan keluh kesahnya tanpa henti dengan suara yang semakin tidak jelas karena teredam bantalnya.

Haruto baru saja pulang dari meeting dengan beberapa investor penting untuk project perusahaan mereka. Yedam sendiri sudah ada di rumah sejak jam pulang kerja tadi. Ia tidak melembur di kantor. Karyawan departemennya juga Yedam suruh pulang. Mereka bisa melanjutkan pekerjaan esok hari. Akhir-akhir ini, mereka sering lembur. Takutnya, jadi bahaya untuk kesehatan.

Meski berkata demikian, Yedam sendiri sesampainya di rumah justru mengambil laptop dan melanjutkan pekerjaannya. Duduk santai di atas kasur bersandar pada kepala ranjang, mengerjakan pekerjaannya sembari menunggu Haruto pulang.

"Sudah makan?" tanya Yedam seraya menonaktifkan laptopnya dan menaruhnya di nakas samping ranjangnya.

Objek yang Yedam tanya menghentikan gerutuannya tentang seberat apa harinya. Ia terdiam beberapa saat sebelum menjawab.

"Tidak perlu berbohong."

Tapi sebelum sempat ia bicara, Yedam sudah bersuara lagi. Tau saja Yedam jika Haruto ingin berbohong belum makan agar bisa merasakan masakan Yedam.

"Kau keji hyung." ujarnya agak tak jelas karena Haruto masih menenggelamkan wajahnya pada bantal.

Yedam tertawa tanpa dosa. Ia lalu menarik bantal yang Haruto pakai secara paksa. Hal itu membuat wajah tampan Haruto langsung terjatuh dengan tidak elite di kasur.

Ekspresi yang Haruto perlihatkan membuat Yedam tertawa. Ia menaruh bantal Haruto di pahanya tanpa menghentikan tawanya.

"Tawa mu terdengar manis. Tapi, kalau menertawai ku seperti itu, jadi terdengar menyebalkan." kesal Haruto yang menatap Yedam melas.

"Ahaha. Maaf maaf."

Puk puk

"Sini."

Haruto tersenyum senang melihat Yedam yang mengodenya untuk tiduran di paha Yedam dengan alas bantal miliknya tadi yang ditepuk Yedam. Tentu tanpa buang waktu, Haruto beranjak dari posisi awalnya dan membaringkan kepalanya di atas pangkuan Yedam.

Senyum manis Yedam terukir otomatis. Ia membiarkan Haruto bergerak menyamankan posisinya dan kemudian jemari lentiknya mulai membelai surai hitam gelap Haruto.

Suaminya itu sama sekali belum mengganti pakaian kerjanya. Hanya melepas jas, dasi, sabuk, dan kaus kakinya. Lengan kemeja abu yang Haruto pakai tergulung hingga sikunya.

Haruto yang niat awal hanya memejamkan mata untuk menikmati belaian Yedam pada surainya, malah jatuh tertidur. Napasnya yang teratur membuat Yedam terkekeh pelan.

"Hari yang berat ya." ujarnya pelan karena tak ingin mengganggu tidur Haruto.

Yedam bertahan di posisinya. Tak ingin banyak gerak karena takut Haruto nanti bangun. Ia hanya terus membelai surai Haruto dengan lembut. Ia menyandarkan kepalanya dengan nyaman di kepala ranjang. Dan perlahan ikut menyusul Haruto ke alam mimpi.

◃───────────▹

"HUA! Sad ending terparah. Ueueueue."

"Jangan lebay. Bersyukur lah dengan endingnya. Si brengsek itu memang harus mati. Akibat lebih memilih masa lalunya dan tidak mengacuhkan orang yang justru menemaninya selama ini."

•Anprotagonist• [ℎ𝑎𝑟𝑢𝑑𝑎𝑚] ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang