. • the last one

900 102 69
                                    

Lagi-lagi tidur Haruto terusik oleh alarm ponselnya. Kali ini apa?! Bodo deh. Haruto masih ngantuk. Dia masih betah di alam mimpi.

So, mari kembali ke alam mim-

"Kamu mau tidur sampai kapan? Percuma dong pasang alarm di handphone, tapi kamunya balik tidur."

Sontak Haruto membuka kedua matanya saat ada suara Yedam masuk ke indra pendengarnya. Ia mengangkat kepalanya. Agak menyipitkan matanya karena ternyata sinar sang surya sudah memenuhi kamar mereka.

Ada sosok Yedam dengan setelan santainya. Kaus putih yang dipasang kan dengan cardigan abu tua dan ripped jeans. Namja itu menatap tajam pada Haruto yang masih betah di posisinya.

"Dua setengah jam tersisa sebelum pesawatnya lepas landas." tambah Yedam.

Haruto menghela napas. Ia memejamkan matanya sejenak. Yedam hanya menggeleng dan kemudian kembali ke acara mengecek barang-barang yang akan keduanya bawa ke Osaka.

Hell, Haruto tidak tau harus senang atau sedih. Padahal, ia yakin kemarin girang bukan main karena ia akan pergi berduaan dengan Yedam. Catat itu. Berdua.

Tapi, saat bangun pagi ini, kadar bahagianya menurun. Mungkin efek ia- malas menyentuh air pagi-pagi! Astaga. Yah, begitu lah Haruto kalau sudah merasakan kemalasan menguasai diri.

"Buruan mandi. Nanti keburu aku make up-an, no morning kiss for you." ujar Yedam tanpa menoleh pada Haruto yang masih sibuk mengumpulkan kekuatan untuk mengusir kemalasan.

Secara ajaib, Haruto melesat masuk ke kamar mandi. Yedam lagi-lagi menggeleng dengan tingkah Haruto.

"Rasanya aku seperti mengajak anak kecil wisata." gumamnya.

Yedam pikir akan memakan waktu cukup lama bagi Haruto untuk mandi dan memakai pakaian yang sudah ia siapkan untuk suaminya itu. Yedam sudah nyaris me-make up diri. Tapi, ternyata Haruto siap lebih cepat.

Heol, siapa yang sangka Haruto bisa selesai dengan cepat saat laki-laki kelahiran Fukuoka, Jepang itu berada pada level kemalasan yang cukup tinggi. Yedam paham itu.

"Apa kita tidak bisa menunggu pesawatnya menjemput kita di sini?"

Hanya gelengan tak paham yang Yedam berikan saat mendengar pertanyaan bodoh Haruto. Ia melihat Haruto dari cermin meja riasnya dengan wajah masih setengah mengantuk, berjalan lemas ke arah Yedam sambil mengeringkan rambutnya dengan handuk kecil yang dibawanya.

"Kalau itu pesawat pribadi mu, mungkin bisa." jawab Yedam sekenanya sembari membuka laci meja riasnya. Mengambil satu kalung yang ia rasa akan sesuai dengan setelan Haruto.

Jeans sewarna dengan miliknya dan kaus putih—yang sudah Haruto pakai lebih dulu—juga, serta blazer sewarna cardigannya yang masih tersampir di atas ranjang. Dilihat-lihat pakaian mereka seperti couple, hanya beda model saja.

"Ide bagus. Mungkin aku harus melihat tabungan ku. Menghitungnya, apakah cukup untuk membeli satu pesawat pribadi. Oh, jet pribadi sekalian kali ya." ujar Haruto dengan tampang dungunya, tapi tetap tampan sih.

Ia lalu meraih garis rahang Yedam saat berada tepat di belakang namja yang lebih tua. Yedam hanya membiarkan Haruto membawa wajahnya mendongak sementara Haruto menunduk.

Dan kemudian keduanya berciuman untuk beberapa saat.

"Jual saja mansion mu. Itu akan cukup." kata Yedam yang kemudian memasangkan kalung yang diambilnya tadi dan selanjutnya mulai me-make up diri.

Haruto mengangguk sembari berjalan ke ranjang. Mengambil blazernya dan kemudian mengembalikannya handuk yang dibawanya.

"Patut di coba. Tapi, nanti kita tinggal di mana?" tanyanya bodoh.

•Anprotagonist• [ℎ𝑎𝑟𝑢𝑑𝑎𝑚] ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang