15. Tempat Persembunyian

48 11 0
                                    

HUJAN agak mereda ketika sekolah usai hari Kamis itu, sehingga keempat remaja itu bisa dengan agak leluasa bersepeda menuju reruntuhan bekas hacienda keluarga Alvaro. Tapi mereka terus berjaga-jaga, jangan sampai kepergok ketiga orang yang berpenampilan seperti gelandangan itu.

Jalan tanah menuju ke pegunungan sudah menjelma menjadi kubangan lumpur setelah hujan turun terus-menerus selama seminggu. Karenanya mereka meninggalkan sepeda-sepeda mereka di bawah pondok darurat yang mereka buat dari papan-papan yang masih agak utuh. Bob berbekal tas yang berisi perkakas dan senter. Tas itu dilepaskannya dari sadel sepeda, lalu digantungkannya ke ikat pinggang. Setelah itu mereka berempat menuju ke arah bendungan, dan dari situ ke cadas besar yang dinamakan Puri Nasar.

Jika hujan masih terus turun juga, bisa-bisa pulangnya kita terpaksa berenang, kata Pete mengeluh.

Mereka berusaha sedapat-dapatnya berjalan melintas belukar, karena tanah di situ berbatu-batu. Dengan begitu tidak akan begitu tebal lumpur yang melekat ke telapak sepatu. Ketika sudah dekat ke punggung bukit berbatu dengan Puri Nasar di puncaknya, mereka melihat bahwa arroyo tidak bisa diseberangi, karena penuh berisi air. Jadi mereka terpaksa mengambil jalan memutar, mendaki lewat bukit rendah di ujung, yang memisahkan arroyo dan Santa Inez Creek.

Banyak belukar tercabut akar-akarnya di lereng bukit itu, yang menjadi lembek tanahnya. Sambil melangkah dalam lumpur, akhirnya mereka sampai di punggung bukit yang tinggi. Tapi tanah pada lereng sebelah bawah ternyata sudah becek pula!

Dari atas cadas Puri Nasar, keempat remaja itu melihat pemandangan yang menakjubkan. Di sebelah hulu bendungan, air Santa Inez Creek melimpah dan

tepi-tepinya, menggenangi tanah di kiri-kanan yang hangus bekas terbakar. Di bendungan, air tidak hanya tumpah dari pintu tengah saja, tapi menghambur ke bawah lewat seluruh sisi atas, sehingga merupakan air terjun yang besar. Sungai di bawahnya bergolak. Bertalu-talu air menyapu bukit rendah, lalu mengalir deras ke hulu, menuju jalan daerah dan kemudian

ke samudra.

Tapi bukan pemandangan itu yang menyebabkan Jupiter mengajak teman- temannya naik ke Puri Nasar.

Kita mencari tempat di mana seseorang bisa bersembunyi dengan cukup aman, katanya sambil memandang berkeliling, "di mana ia bisa hidup dengan sedikit- banyak nyaman —jika ada kawan-kawan yang membantu. "

"Yang jelas, tempatnya bukan di punggung bukit ini," kata Pete. "Waktu itu kita sudah memeriksa seluruh permukaannya, dan bahkan celah saja pun tidak kita jumpai."

Adakah gua di sekitar sjni, Diego? tanya Bob.

Sepanjang pengetahuanku, tidak ada, jawab Diego." Atau mungkin di pegunungan sana."

"Tidak." Jupiter menggeleng. "Tempat itu mesti ada di dekat-dekat sini." Mungkin bendungan itu berlubang, kata Pete.

Hahaha, lucu." tukas Bob dengan kesaL

Barangkali ada ngarai yang tersembunyi letaknya, kata Jupiter, di mana bisa dipasang tenda atau atap sederhana untuk tempat berteduh?

Tidak ada tempat sepertI yang kaubayangkan itu, Jupiter, kata Diego lagi. Aku tahu pasti, karena aku sudah ke mana-mana di daerah bukit-bukit ini.

Bagaimana dengan pondok-pondok? Untuk tempat tinggal para pekerja waktu itu! kata Bob mengajukan pendapat. Don Sebastian mestinya kan banyak pekerjanya, untuk mengerjakan tanah miliknya yang begini luas!

Itu memang benar, kata Diego, tapi rumah-rumah para penggarap itu letaknya dekat jalan daerah sana, di bagian tanah yang subur. Lagi pula, rumah-rumah itu sudah tidak ada lagi sekarang.

He, Diego, kata Pete. Cabang yang satu lagi di jalan tanah di tempat kalian, ke mana tujuannya. Maksudku yang bukan menuju ke bendungan sini."

0, itu terus sampai ke pegunungan, lalu dari sana membelok lagi ke jalan daerah yang melintasi tanah Senor Paz.

(26) TRIO DETEKTIF: MISTERI KUDA TANPA KEPALATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang