05

6.9K 438 6
                                    

Benar-benar melelahkan sekali bagi Choi Jimin jika harus terus berhati-hati untuk sekedar keluar dari rusun, walau hanya sebentar saja. Selain kemungkinan ada orang yang mengenali dirinya, ada pula beberapa orang suruhan ayahnya yang akan selalu mengikuti setiap gerak-geriknya.

Jimin merasa dirinya seperti seorang tahanan kota yang akan selalu diawasi. Bahkan ini lebih parah lagi jika dibandingkan dengan seorang tahanan kota. Setiap waktu, full 24 jam dirinya akan diawasi. Orang-orang bayaran itu akan setia menunggu di luar area rusun. Agar ketika Choi Jimin pergi keluar bisa mereka ikuti dengan segera. Tak ingin kehilangan jejak dari seorang Choi Jimin.

Tidak bisa seperti ini. Jimin harus menemui pria yang di bencinya. Ya, ia harus menemui ayahnya. Dan mengatakan jika dirinya tidak suka dengan apa yang dilakukan ayahnya itu.

***

Lembaran koran harian itu jatuh teronggok begitu saja diatas meja, setelah di lempar oleh si tua rentah Jiseung.

Senyum meremehkan terukir jelas pada wajah yang sudah memiliki banyak kerutan. Sangar yang membuat orang merasa terintimidasi kala melihatnya. Tetapi, tidak dengan seorang pembunuh bayaran bernama Choi Jimin.

"Kau masih ingat jalan pulang?" Jelas sekali itu adalah sebuah sindiran, bukan pertanyaan yang keluar dari bibir yang sudah mulai mengeriput.

"Aku datang kemari bukan untuk memohon atau untuk kembali tinggal di rumah yang seperti neraka ini." Malas. Malas sekali rasanya Choi Jimin melayani setiap kata yang keluar dari birai ayahnya yang jahat.

"Benarkah? Jangan pernah lupakan kenyataan jika kau dibesarkan di neraka ini Choi Jimin!"

"Haha.. Ya, kau benar, Tuan." Choi Jimin tertawa yang di buat-buat. Bukan tertawa. Tapi meremehkan. "Ya. Aku akan selalu mengingat itu. Tapi, aku akan selalu mengingat semuanya sebagai kenangan terburukku."

"Lancang sekali kau bicara pada ayahmu!"

"Kau tahu betul bagaimana dulu aku sangat menghormatimu. Membangga-banggakan dirimu pada teman-temanku. Tapi kau sendiri yang membuat rasa hormatku untukmu hilang. Pun rasa banggaku padamu. Aku minta maaf jika aku tak bisa menjadi seperti dulu. Tak bisa menjadi seperti yang kau inginkan, Dan.... " Jimin menghentikan kalimatnya.

"Dan?" Agaknya tuan besar Choi tak sabaran untuk mendengar kelanjutan dari apa yang akan Jimin ucap dari lisannya.

"Dan aku tak akan pernah menjadi bonekamu Tuan Choi Jiseung yang terhormat." Jimin membanting handphone miliknya keatas meja, tepat di hadapan tua rentah Choi Jisung. Terpampang nyata wajah Choi Jimin yang sedang di cari-cari. Bukan dicari karena ketahuan telah membunuh seseorang. Tapi, di cari sebagai orang hilang oleh ayahnya sendiri. Jimin tak suka akan hal itu. Jimin benci. Sangat.

Jisung tertawa melihat iklan yang ia sebarkan dimana-mana itu.

"Kenapa? Kau merasa susah bergerak karena wajahmu ada dimana-mana?" Choi Jisung memutar kursinya. Kemudian memandang kearah luar jendela ruang kerjanya.

"Berhenti menghambur uangmu dengan membuat iklan semacam itu. Berhenti pula membuang uangmu untuk membayar orang yang kau perintahkan untuk mengikuti pergerakanku. Aku tidak akan pernah kembali kerumah ini meski kau melakukan itu semua. Dan tidak akan pernah." Jawab Choi Jimin.

"Kenapa? Kau betah dengan pekerjaanmu? Menurutmu bagaimana jika polisi tahu keberadaanmu? Aku bisa saja melaporkan keberadaanmu." Ancam Choi Jiseung.

"Aku tak takut jika kau melaporkanku. Karena aku juga punya rahasia besar tentangmu. Menurutmu apakah polisi juga tak akan mencurigaimu? Aku rasa kita akan sama-sama mendekam dan membusuk di penjara nantinya." Kali ini Jimin yang justru menyerang balik setiap perkataan sombong ayahnya. Dan si tua bangka itu seperti mati kutu atas serangan ancaman balik dari Jimin.

Tak pernah main-main dengan ucapannya. Jimin benar akan membongkar rahasia besar Choi Jiseung jika si tua bangka itu berani membawa-bawa polisi. Meski Jiseung adalah ayahnya. Tapi Jimin selalu berpegang teguh pada keadilan. Ditambah lagi dia yang membenci ayahnya atas kematian Jieun kakak perempuan satu-satunya. Rasa benci itu semakin menjadi-jadi saja, seperti ada sebuah bom yang akan meledak dalam diri seorang Jimin.

***
Sementara itu di tempat yang berbeda. Di sebuah ruang kamar pada bangunan empat lantai Club TripleX.

Suara dentum musik yang kencang ternyata bisa sampai pada kamar dimana Park Hana sedang bersama seorang pria yang bersikeras ingin membawanya berhenti bekerja sebagai wanita kupu-kupu di tempat kotor itu.

"Katakan berapa banyak yang harus ku bayar untuk menebus dan membawamu berhenti bekerja di tempat kotor ini?" Iris mata dengan warna coklat itu jelas sekali menggambarkan sebuah kemarahan besar, ditambah lagi dengan intonasi suara yang begitu kerasnya.

"Jika tujuanmu untuk membawaku kembali maka berapapun yang kau habiskan aku tak akan pernah ikut denganmu. Tidak akan." Jelas sekali Park Hana menentang keinginan lelaki dengan marga Cho itu.

Lelaki yang sebenarnya akan dijodohkan dengan Park Hana sebelum Hana hijrah ke Seoul empat tahun lalu. Lelaki yang begitu tergila-gila pada Hana. Sangat gila sampai rela melakukan apapun. Kecuali dua hal.

Hal pertama adalah lelaki Cho itu tak bisa berhenti menjadi boneka Park Hejoon. Dan kedua adalah lelaki itu tak bisa menerima adanya Heejin.

Tak akan pernah mau Park Hana dibawa kembali kerumahnya. Dan tak kan mungkin juga bagi Hana untuk menikah dengan lelaki yang tak bisa menerima keberadaan putrinya. Karena sekarang Heejin adalah prioritas utama seorang Park Hana.

"Aku rasa sudah begitu jelas apa yang aku katakan padamu. Sekarang aku harus bekerja. Lebih baik kau pergi karena aku tak akan menuruti permintaanmu untuk kembali. Apalagi sampai harus mebuang putriku ke panti asuhan. Bahkan binatang saja sangat menyayangi anak-anaknya." Hana menggapai tiga botol Red Wine yang tadi ia bawa dengan sebuah nampan lengkap dengan pembuka tutup botol juga gelas. Pergi meninggalkan lelaki dengan marga Cho itu sendiri di sana.

Ditugaskan untuk menuangkan minuman bagi tamu di ruang VIP. Sekarang Hana sudah berdiri tepat di ruangan yang mana di dalamnya sudah ada seorang pelanggan yang menunggu kedatangannya dengan Red Wine yang ia bawa. Sempat merasa sedikit aneh pula dengan keberadaan dua orang lelaki yang sedang berbincang di koridor. Karena kedua lelaki itu seperti sedang berbisik tentang dirinya. Tapi Hana coba abaikan semua itu.

Pintu terbuka setelah Hana menempelkan sebuah kartu akses pada sensornya.

Belum juga sampai lima langkah kaki jenjang Hana melangkah masuk di ruang VIP tersebut. Langkahnya terhenti ketika netranya menangkap sosok seseorang yang ia kenal sedang duduk di sofa. Kondisi laki-laki itu sepertinya sedang sangat kacau. Sangat frustrasi hingga membutuhkan minuman juga hiburan darinya.



LOVE
Author: Ameera Limz

LIKE HEROIN [TAMAT - AKAN SEGERA CETAK]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang