26

4.5K 309 5
                                    

Angin malam berembus, dingin membekukan. Pun pendingin ruangan di kamar itu telah menyala dengan suhu terendah. Tapi dingin itu tak dirasa oleh mahluk tuhan yang sedang bersatu. Menjelajah surga dan neraka bersamaan.

Insan Tuhan tengah terlena. Kedua torso tanpa fabrik itu saling menempel dalam lengketnya peluh dan panasnya kulit. Menyatukan apa yang harusnya menyatu. Melebur, mencari puncak penyatuan. Panas dan basah.

Panas yang membakar api gairah, menimbulkan remang bahagia. Hana merasakan seperti ada ribuan kupu-kupu yang sedang menggelitik perutnya, kala kecupan-kecupan kecil sengaja dilanyangkan di puncak dahi dan wajah oleh Jimin. Benda lembab itu membuat wajahnya memerah, penuh semu alami tanpa perona.

Jimin benar-benar melakukannya, mencoba mengais Euforianya dari Park Hana sebanyak yang bisa ia dapatkan, sebanyak yang ia inginkan malam itu, dan ia selalu menemukannya. Apalagi dengan kedua inti tubuh yang masih setia bersatu.

Hana memandangi intens wajah Jimin yang ada di atasnya. Dekat, sangat dekat. Wajah yang berpeluh. Mata tajam bak elang itu menjadi sayu penuh kabut gairah, dan bibir tebal yang menggoda. Hana coba menahan malu kala mata keduanya saling bertatapan dalam jarak yang minim, bahkan hidung keduanya saling bersentuhan. Hana menolehkan pandangannya ke samping begitu Jimin balik menatapnya intens, Hana tak ingin mabuk pesona Jimin, takut jadi candu.

"In-ini gila, ah.... " Jimin terengah.

"Kau yang gila." Hana menepuk bagian atas lengan Jimin yang menumpu di sisi kanan tubuhnya.

"Tidak. Kau sama gilanya denganku." Jimin terkekeh pelan di tengah penyatuan yang membuatnya pusing. Terlalu indah, sampai Jimin susah untuk berkonsentrasi. Tubuhnya serasa terkena sengatan listrik tegangan rendah yang menggetarkan dan tak sampai mematikan. Rasa-rasanya Jimin ingin selalu seperti ini, tak ingin berhenti. "Kau menyukainya kan?" Goda Jimin sembari membuat gerakan yang serampangan.

"Jangan bercanda. Kau yang menyukainya-- ahhh, Tuan." Sinis Hana dengan lengguhan yang lolos dari bibirnya.

Rasa-rasanya Jimin bisa gila hanya dengan lengguhan-demi lengguhan yang keluar dari bibir Hana. Maka Jimin kembali menyeringai. Menggoda, bergerak semakin gila. "Bagaimana? Benar kau tak menyukai ini, eumh? Bahkan aku lihat tubuhmu sangat menikmatinya--ahh. Sial."

Pada akhirnya kisah ini akan selalu sama, dimana lelaki adalah peran utama dan dominan dalam permainan hangat itu.

Geraman dan desah halus menjadi seperti menggema. Memekak masuk dalam indra pendengaran. Memacu adrenalin untuk mendapatkan lebih dan lebih. Jimin mengais dan mengais. Ia suka. Tak ingin semua berakhir.

Maka puncaknya adalah peleburan bersama dalam satu kawah. Panas dan indah. Tubuh keduanya seperti melekung, membusur menerima pelepasan.

Jari-jemari yang indah milik Hana menancap pada punggung tanpa fabrik. Kukunya sedikit menggores pula. Tak kuat menerima segalanya.

Tubuh kekar Jimin ambruk tepat disamping Hana. Keduanya tengah memandangi langit-langit kamar dengan paru dan jantung yang memonpa kencang. Mencoba menghirup udara sebanyak mungkin, setelah tadi seperti tertahan.

Maka Hana menyampingkan tubuhnya. Membelakangi Jimin yang tersenyum penuh kepuasan. Menggelung tubuhnya dengan kain selimut serapat yang ia bisa.

"Aku rasa setelah ini kau bisa memberikan Heejin saudara." Ucap Jimin pelan dan sedikit terkekeh, Jimin seolah tak takut Hana marah dengan apa yang ia katakan.

"Aku rasa tidak." Sahut Hana.

"Kenapa?" Jimin ikut memiringkan tubuh. Sedikit merapat pada Hana.

"Karena aku tidak akan membiarkan Heejin memiliki saudara yang akan terlahir sama sepertinya. Aku tak ingin anak-anakku terlahir tanpa status."

"Jadi kau telah memikirkan segalanya. Apa kau mengkonsumsi obat pencegah?" Tanya Jimin sedikit retorik.

"Aku harus seperti itu." Hana menjawabnya dengan santai.

"Kalau begitu, mari kita menikah." Apa Jimin serius dengan ucapannya? Sebegitu yakinnya untuk menikahi Hana? Apa benar ada cinta? Atau hanya untuk kepuasan semata?

Hana diam. Membiarkan Jimin menunggu jawaban darinya. Jimin juga tidak memaksa, Jimin akan menunggu jawaban yang akan Hana berikan. Lama, sangat lama. Hana tak kunjung menjawab. Diam dalam pikirannya. Sampai pada akhirnya Hana mendengar nafas Jimin yang ada di belakangnya perlahan menjadi teratur, sedikit terdengar dengkuran halus pula. Jimin tertidur.

"Maafkan aku. Maaf. Kau menjadi seperti ini. Pasti sangat sulit bagimu untuk menjalani hidup. Aku berjanji, aku akan mengubahmu menjadi lebih baik. Kita akan berubah bersama. Aku janji." Hana melirih terlampau pelan.

Sebenarnya Hana tak yakin ia akan bisa. Apalagi jika nanti Jimin tahu siapa dirinya. Mungkin saja Jimin akan benar membunuh, menghabisi nyawanya. Tapi ia akan mencoba, karena ia telah bersumpah pada diri sendiri. Apapun akan ia terima sebagai risikonya.

LOVE
Author: Ameera Limz

LIKE HEROIN [TAMAT - AKAN SEGERA CETAK]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang