32

3.7K 276 16
                                    

Detektif Min tentu bukan orang yang bodoh, tidak mungkin ia menjadi seorang detektif jika ia tak memiliki kepandaian dalam beberapa hal.

"Ah, anak itu masih berniat mengelabuiku. Choi Jimin, apa yang sebenarnya membuatmu menjadi seperti itu?" Min Yoonki menyeruput americano ice yang ada di tangannya. Ia terus bertanya-tanya pada diri sendiri, sebenarnya apa yang menjadi alasan terbesar Choi Jimin memilih hidup sebagai orang yang di bayar untuk menghabisi nyawa orang lain. Bukankah kehidupan seperti itu terlalu keras dan berisiko besar?

Min Yoonki terkenal sebagai detektif handal yang pekerja keras, ia pantang menyerah sebelum berhasil memecahkan masalah. Meski begitu, manusia tak sepantasnya untuk menilai orang lain dari luar, orang yang terlihat hidupnya damai nan tenang, orang yang terlihat sibuk dengan pekerjaan, belum tentu dalam keadaan yang sesungguhnya merasa bahagia, pasti ada masalah yang dihadapi.

Min Yoonki mengenal baik siapa Choi Jimin, ia tahu betul bagaimana Jimin tumbuh layaknya seorang adik baginya.

Yoonki ingat betul bagaimana dulu Choi Jimin banyak merepotkannya untuk banyak hal, dan ia akan senang hati membantu Choi Jimin tanpa merasa di bebani sedikitpun.

Beberapa kali mereka bahkan pernah pergi memancing bersama, bermain golf atau justru bermain catur untuk sekedar menghabiskan waktu liburan atau membuang kepenatan.

Jujur saja, melihat Choi Jimin yang sekarang rasanya Min Yoongki hampir tak percaya, ia seperti melihat orang lain, bukan Jimin yang sebenarnya.

Sepertinya semua kenangan baik antara ia dan Choi Jimin harus ia lupakan, karena kemungkinan terbesar Choi Jimin tak akan pernah memaafkannya. Jimin kepalang kecewa padanya. Min Yoonki tak mau meperjuangkan seseorang untuknya, Min Yoongki tak ada di saat Jimin terpuruk.

***


Mungkin hari sudah bukan lagi pagi, matahari-- Sang Raja Siang itu sudah tampak tinggi pada tahtanya, bersinar dengan teriknya seolah menunjukkan kekuasaan.

Kalau bukan karena ponselnya yang berbunyi, mungkin Choi Jimin masih akan tertidur hingga sore atau justru hingga malam tiba lagi.

Pengar itu masih terasa di kepala Jimin, ia bahkan masih belum bisa menemukan letak keberadaan ponselnya yang bahkan masih di dalam saku jaket. Jimin masih tetap tertidur di lantai dekat sofa, masih di posisi semalam.

Setelah tangannya bersusah payah untuk merogoh sakunya sendiri, Jimin menemukan ponselnya yang masih menyala dan berdering, sebuah panggilan dari orang yang ia kenal.

Jimin terlalu enggan untuk menganggkat panggilan itu, seperti ia sudah tak bertenaga untuk sekedar berbicara pada orang yang mungkin sedang berharap dirinya mengangkat panggilan tersebut.

"Untuk apa dia menelponku?" decak Jimin yang kemudian melemparkan ponselnya ke atas sofa begitu saja. Ia seperti tak sudi nomor itu menghubunginya lagi.

Choi Jimin bersusah payah untuk bangun, kepalanya masih terlalu pening, bahkan untuk berdiri saja ia nyaris kembali tersungkur karena masih kehilangan kestabilan fungsi tubuh.

Jimin berjalan menuju kamar yang Hana tempati, ia tak menemukan keberadaan Hana di sana. Kalau saja Jimin tak melihat pada jam dinding hitam yang menempel indah pada dinding yang polos, mungkin Jimin masih belum sadar jika hari sudah terlampau siang. "Ah, mungkin dia sudah kembali lagi ke rumah sakit," ucapnya.

Setelah ia membersihkan diri, Jimin sempat membuat secangkir teh hangat untuk mengurangi pengar. Setelah itu ia pergi untuk menyusul ke rumah sakit. Walau bagaimanapun Jimin sudah rindu pada putrinya. Mungkin saja putri kecilnya itu sudah terbangun dan menunggunya untuk datang.

Rumah sakit siang itu tak begitu ramai, bahkan lorong di setiap lantainnya terasa sunyi, kontras sekali dengan suara derap langkah Jimin yang menggema.

Tepat di depan rauangan di mana putri mereka di rawat, Jimin bertemu Hana yang kebetulan juga akan masuk, Hana dari arah yang berlawanan dengannya.

Manik elang yang tajam itu beradu tatap pada manik hitam pekat yang bulat. Saling menunjukkan tatapan yang paling dominan di antara keduanya. Keduanya sempat saling terdiam.

Mungkin saat itu Jimin pikir Hana mampu ia dominasi dengan tatapannya. Nyatanya Hana justru yang terlalu malas untuk menatap Jimin. Parunya masih terasa teramat sesak sisah semalam, dan kemungkinan besar Jimin tak menyadari itu.

"Kau tidak kembali ke rumah pagi ini?" tangan kanan Jimin mencoba menahan lengan Hana. Wanita itu sempat menepis tangan Jimin, ingin lepas dari belenggu, dan Jimin yang justru mempererat cengkramannya. "Aku sedang bertanya padamu, Park Hana!" Jimin sedikit meninggika suaranya ketika Hana yang mencoba melepaskan diri.

Benar dugaan Hana, Jimin mabuk berat, bahkan sampai tak ingat bagaimana semalam Hana pulang dan menerima banyak sekali kalimat menyakitkan dari bibir Jimin yang sedikit sialan.

"Lepaskan aku, Tuan!" Hana tak sedikitpun menghirau pertanyaan Jimin.

"Ah, aku tahu, kau pasti tak kembali kerumah karena dokter itu, Bukan begitu?" selidik Jimin yang masih mencengkram erat lengan Hana yang tak besar, bahkan Hana agaknya menahan sakit pada lengannya, wanita itu sedikit meringis.

"Sekali lagi aku katakan, lepaskan aku Choi Jimin!" Hana tak ingin terlihat begitu lemah, atau Jimin akan lebih mendominasinya.

Setelah Jimin melepaskannya, Hana masuk lebih dulu. Jimin mengikutinya dari belakang, dan apa yang Choi Jimin lihat di ruangan itu?

Seseorang dengan kemeja biru gelap terlihat sudang duduk di sana, di sebelah bed, menghibur Heejin yang mungkin baru saja sadar. Pria dengan rambut hitam pekat itu tampak terlihat begitu akrab pada Heejin. Gadis kecil yang masih terbaring itu tampak sedikit tersenyum dengan lelucon-lelucon yang dilontarkan.

Jimin benci. Jimin benci melihat itu. Jimin bukannya cemburu melihat kedekatan putrinya pada orang lain, tetapi memang Jimin tak menyukai keberadaan pria berkemeja biru gelap tersebut.

"Choi Jimin?" pria dengan kemeja biru itu tampak tersenyum pada Jimin yang justru memperlihatkan wajah masamnya.  "Bisa kita bicara berdua saja?" tanya pria itu ragu pada Jimin.

Jimin sudah siap dengan kalimat penolakannya. "Aku tidak ter--"

"Kau harus bicara dengannya," Hana menyela lebih dulu. "Dia bilang ada beberapa hal penting yang ingin dibicarakan denganmu," Hana sebenarnya tak begitu paham hal penting apa yang akan mereka bicarakan, Hana hanya mengambil kesempatan itu agar tidak melihat Jimin di sana. Agaknya Hana butuh menguatkan hati menghadapi Jimin.

LOVE
AMEERA LIMZ




LIKE HEROIN [TAMAT - AKAN SEGERA CETAK]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang