10

6K 416 9
                                    

Pengar itu masih terasa, berat dan juga menyiksa. Jimin coba pejamkan mata sebentar lagi. Berharap segala rasa sakit di tubuhnya hilang.


Di tengah pejaman mata, rungunya mampu menangkap suara gelak bahagia yang membuatnya merasa lebih tenang dan sakitnya perlahan menghilang.


Bangkit dan membuka mata dengan perlahan. Mengedar pandang pada seluruh penjuru ruangan dimana ia berada. Coba sesuaikan pengelihatan dengan silaunya cahaya mentari yang menyelusup masuk.


Siluet gadis kecil sedang berlari kecil mengejar bola yang menggelinding. Itu yang pertama Jimin lihat. Suara tawa gadis kecil itu seperti sihir yang mampu menarik dirinya untuk kuat melawan segala kesakitan.


Jimin mengingat dengan baik bagaimana sebuah mobil menghantam tubuhnya. Sakit teramat ia rasakan setelah itu.


Begitu berharap yang dialaminya hanya sebuah mimpi sebagai hiburan tidur. Dan berharap pula mimpi itu tak kan terulang kembali. Rasanya terlalu sakit dan sesak. Cerita yang begitu panjang sampai ia bisa mengingatnya dengan sangat baik. Rasa seperti berjuang di ujung maut. Bahkan Jimin berpikir sekarang pun ia masih dalam sebuah mimpi.


Lalu jika itu hanya mimpi, bagaimana mungkin gadis kecil yang tertawa bahagia itu terlihat semakin nyata? Memandang kearahnya, berhambur memeluknya, dan memanggilnya ayah?


Tangannya membentang kemudian dengan erat mendekap tubuh mungil itu dengan begitu erat. Penuh syarat kerinduan di dalamnya.


Memejam mata merasakan ketenangan, kedamaian juga kehangatan yang perlahan mengalahkan rasa sakit di tubuh.


"Heejin. Sudah waktunya kau mandi!" mendengar suara itu Jimin mengurai pelukannya pada Heejin. Jimin kemudian sadar jika itu memang bukan sebuah mimpi. Tapi kenyataan. Jimin merasa jika harus merasa kesakitan lebih dulu untuk bertemu mereka Jimin tak masalah. Ia akan melewati segala kesakitan itu yang penting sekarang adalah yang di cari berada di depan mata. Tanpa perlu membayar mahal orang yang bisa mencari mereka.


Keterkejutan Hana begitu ketara. Melongo tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Pria yang sebenarnya tak ingin ia lihat, pria itu telah sadar, bahkan tengah memeluk putrinya. Nyatanya Jimin bukan pria lemah, ia masih bisa bertahan dengan kesakitan. Bisa sadar lebih cepat mengingat seberapa parahnya saat pertama kali ditemukan.


"Maafkan putriku. Mungkin dia mengganggu tidurmu." Hana coba untuk terlihat lebih santai dan biasa saja, menghapus segala keterkejutannya. Tak menyangka jika pria yang ia tolong dan hindari itu bisa sadar dalam waktu yang cepat.


"Aku merindukanmu." Bukankah itu terlalu tiba-tiba untuk dikatakan? Tapi, Jimin sudah mengatakannya begitu saja. Dengan sangat lantang.


"Apa maksudmu?" Hana mengerut dahi. Bingung atas pernyataan Jimin yang ia dengar.


"Apa pernyataanku kurang jelas?"


"Mungkin maksudmu merindukan tubuhku. Bukan begitu maksudmu, Tuan?" Wow... Berani sekali Hana bertanya seperti itu?


"Ada anak kecil diantara kita. Bagaimana bisa kau berpikir seperti itu?" Jimin lebih sadar jika ada Heejin yang mendengar mereka. Itu tidak baik bagi Heejin yang sudah mulai pandai bicara. Bisa-bisa Heejin mengikuti perkataan mereka.


"Aku akan pergi memandikannya." Hana mengambil alih Heejin. Membawanya keluar dari kamar itu dan memandikannya.


***

Tak serta merta Hana mengabaikan Jimin. Jiwa kemanusiaannya tak bisa membiarkan pria yang masih belum begitu pulih itu kelaparan. Selesai memandikan Heejin ia menyempatkan untuk berkutat di dapur, memasak bahan seadanya untuk bisa mereka santap.


"Hana. Kau baik-baik saja?" Hayeon menyadari Hana yang sedang melamun. Untunglah masakannya tak sampai hangus karena terabaikan.


"Iya. Aku baik-baik saja." Hana mengerjap.


"Sepertinya kau sedang melamun?"


"Tidak. Bukan sedang melamun. Aku hanya kepikiran bagaimana jika ketakutanku itu benar? Bagaimana jika pria itu adalah ayah Heejin?"


"Satu-satunya jalan adalah kau merahasiakan segalanya."


Tanpa keduanya menyadari. Ada sepasang kaki yang berdiri di dekat pintu dapur, menempel pada dinding untuk bisa mendengar pembicaraan antara Hana dan Hayeon.


"Hayeon. Aku takut. Aku takut pria itu akan membawa putriku." Hana bicara sedikit pelan. Tapi pelan itu mampu terdengar rungu Jimin yang berada di balik dinding.


"Dia belum tentu ayah dari Heejin. Belum tentu Hana. Jadi untuk apa kau setakut ini?"


"Tapi... Tapi segala yang aku ingat mengarah padanya. Bahkan kau lihat sendiri seberapa miripnya Heejin pada pria itu. Aku......"


"Jadi tebakanku benar? Heejin putrimu?" Jimin menampakn eksistensinya. Keluar dari persembunyian.


Tergemap, terdiam tanpa kata. Terlalu gegabah untuk membahas hal itu. Sementara pria yang dibicarakan sedang berada di bawah atap yang sama.


LOVE

Author: Ameera Limz


LIKE HEROIN [TAMAT - AKAN SEGERA CETAK]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang