🔞Bijak memilah bacaan, bab ini little bit mature🔞
**************
"Hayeon. Coba kau buka maskernya. Periksa juga apakah ada luka yang lainnya atau tidak! Aku akan pergi ke apotek sebentar, untuk membeli obat. Aku titip Heejin juga. Jangan sampai ia menghilang lagi."
Hana bergegas mengambil mantelnya kemudian masker yang akan menyembunyikan wajah seperti biasanya. Akan kembali keluar demi membeli obat untuk orang yang sedang mereka tolong.
"Hana. Kau yakin?"
"Tidak akan terjadi apa-apa pada kalian. Dia bahkan hampir sekarat." Hana pun bergegas keluar rumah.
Mungkin Hayeon harus menjadi orang baik seperti Hana malam ini. Ditengah kekhawatiran dan ketakutan, ia coba mendudukkan Heejin pada tempat tidur dimana orang yang mereka tolong sedang terbaring tak sadar.
"Heejin-ah. Kau duduk disini saja ya sayang!"
"Heem." Gadis kecil itu mengangguk patuh.
"Siapa sebenarnya orang ini?" Hayeon bertanya-tanya sendiri. Rasa penasaran menuntun ia perlahan menggerakkan telapak tangan untuk membuka masker yang menutupi wajah pria yang terbaring tak berdaya itu.
Membelalak tak percaya kala mendapati siapa yang telah mereka tolong. Kenapa dunia jadi sesempit ini bagi mereka?
"Ayah?" Heejin kecil yang turut memperhatikan, seketika Heejin tampak ceria melihat pria yang sedang sekarat itu adalah Choi Jimin. Anak kecil itu masih tak mengerti dengan keadaan Jimin yang sekarat. Yang gadis kecil itu tahu adalah pria itu Jimin. Hanya itu.
***
Langkah Hana tergesah-gesah, menyusuri gang sempit di tengah malam yang dingin. Tangannya menenteng kantung plastik yang berisi obat.Membuka pintu rumah dengan pelan dan menemukan Hayeon yang justru sedang duduk melamun pada kursi sofa di ruang tamu bersama Heejin yang ada di pangkuan.
"Hayeon. Ada apa? Kenapa kau terdiam seperti itu? Bagaimana dengan pria tersebut? Apakah ia mendapatkan banyak luka di tubuhnya? Apa sudah sadar?"
"Kau lihat sendiri!" Hayeon bingung harus berkata apa. Akan lebih baik jika Hana yang melihatnya langsung.
Hana melangkahkan kaki menuju kamar dimana Jimin berada. Ia bahkan masih sebatas ambang pintu. Langkahnya terhenti. Barang yang ia bawa terjatuh begitu saja, tangannya seperti kehabisan tenaga, dan kaki pun sama halnya.
Satu detik.
Dua detik.
Tiga detik.
Tetap saja sama.
Hana bingung samapai melamun. Segala kenangan malam itu kembali berputar di otaknya ketika melihat wajah itu, seperti sebuah bagian dari film yang berkesan hingga terus terbayang.
"Kita pindah ke tempat ini salah satunya untuk menghindarinya. Tapi, malam ini kita malah menolongnya dan membawanya kerumah. Apa kau masih akan membantunya?" Hayeon yang kini berdiri tepat di belakang Hana, menyadari jika Hana tengah terkejut luar biasa.
Hana tersadar dari lamunanya ketika Hayeon menepuk pundaknya dengan pelan.
"Ah. Aku akan tetap merawatnya. Semoga saja semua ketakutanku tak menjadi kenyataan." Jemari lentik Hana memungut kantung plastik yang ia jatuhkan. Berjalan lebih dekat menuju tempat tidur.
***
Endorfin itu pecah dalam tubuh. Menimbulkan efek bahagia luar biasa ketika berada pada puncaknya. Meletup, melebur bersamaan dalam satu kawah.Napas keduanya tersengal dengan peluh yang membanjir di tubuh. Titik-titik peluh yang besar jadi berkilau di terpa cahaya lampu utama yang sedikit temaram. Bahkan aromaterapi pada ruangan seolah memancing gairah. Torso tanpa fabrik keduanya saling menempel dalam lengketnya peluh.
Choi Jimin coba mengosongkan dirinya pada Hana sementara waktu, beriringan dengan suara geraman halus yang sedikit tertahan. Tak selang lama lelaki perkasa itu kembali tersulut api gairah, merasa pusat tubuhnya kembali seperti di remat dengan hebat. Bergerak tanpa permisi lebih dulu.
Alunan suara desah kembali mengisi ruang kamar yang kedap suara. Pergerakan yang menggila, membuat Hana kewalahan luar bisa, merasa jijik sekaligus bahagia.
Jimin suka segalanya. Suka Hana yang bergerak seirama dengannya. Suka Hana yang melengguh di bawah kuasanya. Suka Hana yang terkadang merintih karena ulahnya, dan paling gilanya adalah suka Hana yang meremat bagian inti tubuhnya. Jimin gila. Sangat gila. Baru kali ini merasa begitu candu pada tubuh wanita setelah pegalaman pertama kali kala itu. Seolah Hana seperti Heroin yang membuatnya selalu menginginkannya. Lagi dan Lagi.
Kuku-kuku panjang Hana yang berhias kutek merah muda itu sesekali meremat kain pelapis ranjang, menyebabkan berantahkan. Terkadang kuku itu di tancapkan pada lengan kekar yang ada di sisi tubuhnya. Sesekali juga menancap pada punggung pria yang ada diatasnya kala titik sensitif di tubuhnya di hantam begitu hebat. Jimin tak masalah untuk itu. Rasa sakit dari tancapan dan cakaran kuku pada tubuhnya kalah dengan rasa remang bahagia yang membuatnya panas terbakar gairah.
Jemari lentik Hana terkadang meraba pada punggung telanjang itu. Bisa merasakan adanya bekas luka yang cukup besar di bagian punggung atas sebelah kanan. Sama seperti yang bisa ia rasakan ketika kegadisannya di renggut untuk pertama kali.
Bahkan di tengah kegilaan keduanya, Hana seolah kembali mendengar suara yang persis seperti dua tahun lalu. Suara erangan dan bisikan hangat yang menerpa wajah dan rungunya. Serta bau parfume dan Red Wine yang sama seperti dulu. Apa mungkin semua itu hanya sebuah Dejavu?
Agaknya malam semakin larut. Hayeon sudah tertidur bersama Heejin di kamar lain. Sementara Hana yang tadi sudah mengobati Choi Jimin, ia tertidur di sisi ranjang. Duduk melantai dengan kepala yang bersender pada tepi ranjang.
Baru saja Hana terbangun ketika ia bermimpi tentang kejadian di malam Jimin membayarnya. Dan Hana juga sebenarnya bingung. Apa yang selalu ia alami itu apakah sekedar mimpi atau Dejavu? Itu sering kali terjadi.
Sekilas menatap pada tubuh Choi Jimin yang masih tak sadar.
"Apa benar itu kau? Aku sangat berharap jika yang aku pikirkan ini salah. Tapi semuanya justru memberi kode seolah pria bejad itu adalah dirimu." Hana menggumam pelan. Sangat pelan agar tak di dengar. Kemudian pergi dari kamar dimana Jimin berada.
Berakhir dengan membasahi tubuh di bawah kucuran air dari shower. Hana membasuh habis tubuhnya dengan banyak sabun. Menggosok dengan kasar. Merasa jijik pada diri sendiri, berharap rasa jijiknya itu pergi bersama aliran air yang terbuang. Hana ingin melupakan segalanya. Tapi tak bisa karena kembali bertemu dengan wajah itu. Itu sangat menyiksa dan mengganggu ketenangan. Belum lagi membayangkan Jimin akan membawa putrinya jika benar pria itu adalah ayah biologis Heejin. Bisa gila Hana membayangkan semuanya.
LOVE
Author: Ameera Limz
KAMU SEDANG MEMBACA
LIKE HEROIN [TAMAT - AKAN SEGERA CETAK]
Romance"Bagaimana kalau aku mengatakan bahwa aku menginginkan dirimu menari di atas tubuhku? Ride me and take mine." Choi Jimin