Hi,
I back.
Me again😊Miss me? No??
Ok i'll be fine.My assignment done yet, i miss Draco 🤣🤣 but miss Jimin more🤣. Sorry.
So.. Let's we get started.
~∅~
Kejujuran memang menyakitkan, tapi jauh lebih menyakitkan saat kita bahkan tidak tahu apapun tentang kebenaran itu.
Hidup bahagia memang. Tapi bodoh karena tidak peka dengan keadaan yang sebenarnya. Dan jauh lebih bodoh kalau sampai tertawa, menikmati hidup seolah semuanya berjalan normal dan baik-baik saja.
Seperti berlari diatas lapisan es yang tipis. Menutup mata seperti orang buta yang mendambakan cahaya. Menyedihkan dan menggelikan disatu waktu.
Kebahagiaan memang serapuh itu. Dan damai memang selemah itu.
Andai semuanya jelas dari awal. Mungkin Cassy takan sampai jatuh terlalu dalam. Mungkin, ia juga takan membuka hati untuk orang lain.
Undangan yang diberikan Jeo Flint tempo lalu bukanlah undangan untuk acara pernikahan sepupunya. Tetapi kedok dari pernikahan kekasihnya dengan sahabatnya.
Malam itu, tepat saat Hogwarts diguyur hujan dibulan Maret. Saat pertama kalinya Draco meminta bantuan padanya. Harusnya ia tidak perlu peduli. Segala hal yang salah dimulai disana.
Malam itu, Draco mendatangi manor atas perintah ibunya. Dan di rumahnya, semua keluarga berkumpul. Paman Nicolas, bahkan sampai River Brown, ayah dari sahabatnya, Viola Brown.
"Maaf sudah membuatmu pulang terburu tuan Malfoy."
"No. Its fine. Aku memang berencana pulang untuk mengambil beberapa barang."
Peri rumah itu langsung pergi saat langkah kaki Bellatrik terdengar. Draco menunduk sedikit, memberikan salam. Dan Bellatrik terkejut.
Seperti bukan keponakannya.
"Draco" wanita itu memanggilnya. Membuat bulu kuduk Draco merinding sebenarnya. "Kami menunggumu dibawah"
Tidak masuk akal kalau draco merasa merinding dirumahnya sendiri. Ayolah, ini adalah dimana ia lahir dan dibesarkan. Belajar mantra dasar dan sapu terbang. Masa sampai merinding bahkan bergetar?
Langkah kaki Draco terhenti tiba-tiba. Seseorang dengan tubuh kurus tegap duduk dikursi paling ujung. Memakai jubah hitam lengkap dengan penutup kepalanya. "Putramu tumbuh sangat banyak, Lucius" ucapnya.
Suara yang terdengar tenang dan rendah, tapi cukup menggetarkan hati, Draco sampai tersentak saat, "Come Draco, we have save you to sit" ucapnya.
Draco menyadari sepenuhnya siapa yang mempersilahkan dirinya duduk, dirumahnya sendiri. Ia menelan ludah dengan berat. Sama sekali tidak siap kalau ia-yang-namanya-tidak-boleh-disebut benar-benar kembali. Tubuhnya sedikit bergetar tapi kemudian menghela nafas sangat lega. Kejam sekali ia berburuk sangka pada keluarganya sendiri. Dia bukan Voldemort, melainkan suara pamannya, Nicolas Malfoy.
Draco mencoba tersenyum padanya. Ia menarik kursi ujung didekat Nicolas yang melepaskan penutup kepalanya. Pria itu adalah salah satu paman favoritenya. Ia ingat bagaimana lelaki paruh baya itu mengjarinya naik sapu sampai terbentur tiang dan menabrak pohon saat kecil.
KAMU SEDANG MEMBACA
CHOICE | ft. Hogwarts Student
Romance"Aku ingin tahu seberapa gilanya seorang Malfoy menculik putri Woods. Aku yakin kau harus sangat gila untuk melakukannya, benarkan, Mr Malfoy?" Draco mendengus, berjalan dengan angkuh mengitari kursi tempat Callista Woods diikat. "Yah, sudah sangat...