6. Tanpa Belas Kasihan

3.6K 482 5
                                    

6. Tanpa Belas Kasihan

Warning: Mengandung sexual harassement. Tidak vulgar tapi jika ada yang kurang nyaman dengan adegan seperti ini, bisa skip ya. Thank you ♡

*

Masih tiga bulan lalu.

Erlangga Thariq atau yang Lusi tahu sebagai Elang. Siapa yang tidak tahu tentang mahasiswa semester akhir di Fakultas Teknik itu? Cucu pemilik kampus yang disegani-atau lebih tepatnya ditakuti-oleh kebanyakan mahasiswa. Cowok dengan image berandalan, mudah tersulut emosi, juga tak pandang gender untuk memberi pelajaran pada siapa pun yang mengusiknya.

Itu yang Lusi tahu, dari gosip teman-teman fakultasnya. Karena meski memiliki reputasi menyeramkan, seorang Elang selalu jadi bahan yang menyenangkan untuk diperbincangkan. Setidaknya bukan bagi Lusi. Karena Lusi tak pernah tertarik. Bahkan jika bukan karena sempat diajak Irene menemui Jefri, Lusi tak akan pernah tahu penampakan dari Elang yang terkenal itu. Hanya satu kali itu, Lusi dikenalkan pada tiga sahabat Jefri yaitu Zuco, Edwin dan tentu saja ... Elang.

Bukan berarti hanya satu kali itu Lusi melihat atau berpapasan dengan cowok itu. Cukup sering, karena entah kenapa Elang selalu berkeliaran bukan hanya di Fakultas Teknik saja. Nyaris seperti petugas yang berpatroli saja. Tapi Lusi hanya mengabaikan, toh ia tak mendapatkan alasan untuk berurusan dengan berandalan itu. Selama ini ia berusaha untuk tidak terlibat masalah, baik dengan Elang maupun orang lain yang mungkin tak se-menyeramkan Elang. Ia baru memulai masa kuliah, dan berharap empat tahun ke depan akan dilalui tanpa gangguan.

Namun malam ini, ketika mendapati dirinya terjebak di dalam ruangan yang sama dengan Elang, Lusi tidak bisa untuk tidak syok. Telapak tangannya mulai berkeringat dingin. Jantungnya berdegup liar, hingga ia seakan bisa mendengar suaranya tepat di telinga.

"M-maaf." Lusi mencicit, ketakutan karena sejak beberapa menit setelah Elang mengucapkan kata 'berisik' dengan nada dingin, mata cowok itu masih tak meninggalkannya.

"Apa lo bilang?"

Lusi mencengkeram kuat-kuat ujung kardigannya. Seiring langkah Elang yang mendekat bak predator, semakin bertambah pula rasa takutnya. Apalagi ketika pada akhirnya langkah cowok itu berhenti selangkah di depannya, lalu mencondongkan wajah ke arahnya, Lusi merasa pasokan udara di paru-paru menipis begitu saja.

"Lo ganggu gue dan berharap gue maafin?"

Lusi menahan napas, menunduk dalam-dalam. Ia makin gemetaran. Mulut Elang yang tepat di hidungnya, membuat ia bisa merasakan aroma menyengat yang menguar saat cowok itu mengembuskan napas dari bibir.

"Mendadak bisu?"

Lusi memekik saat dagunya dicengkeram dan didongakkan. Kedua pasang mata itu bertabrakan. Warna putih yang mengelilingi iris hitam legam itu terlihat memerah. Batin Lusi berteriak-teriak. Ia merasa cowok itu sedikit berbeda. Apalagi aroma menyengat itu mengingatkannya pada cairan haram yang pernah ia baui satu kali, ketika ia diganggu beberapa preman mabuk beberapa bulan lalu.

"L-lepas." Lusi kembali mencicit, meski kemudian memekik karena jepitan jemari Elang di wajahnya semakin menguat. Ia merasa tulang rahangnya seakan nyaris diremukkan.

"Lo merintah gue? Kelinci Kecil macam lo?" Elang tertawa. Sarkas dan parau. Seperti sadar namun tak sadar. Dan di telinga Lusi, itu benar-benar menakutkan. "Lo pikir lo siapa bisa merintah gue, hah? Sialan!"

Lusi memejamkan mata rapat-rapat. Air matanya meluncur begitu saja. Kepalan tangan Elang berhenti tepat di daun pintu, samping kiri telinganya.

"Lo masuk, teriak-teriak, ganggu ketenangan gue, dan sekarang mau gue lepasin?" Elang kembali tertawa, dan lebih keras dari tadi. "Are you kidding me, Baby?!"

"M-maaf." Lusi berusaha untuk tidak terisak. "Saya ... saya min-ta maaf. Saya nggak bermaksud ganggu Kakak. T-tolong ... lepasin saya."

"Sayangnya gue nggak mau. LO MAU APA HAH?!"

Lusi cuma mau lepas dari cowok mengerikan yang berteman dengan cowok gila macam Jefri ini. Ingin sekali ia menggedor-gedor pintu di belakangnya, meminta Jefri mengeluarkan ia secepatnya. Ia takut. Benar-benar takut.

"Sssh ... jangan nangis, Baby." Lusi semakin terisak saat Elang mengusap pipinya dengan kasar dan tak berperasaan. Lalu menunduk untuk menemukan mata Lusi dan berbisik, "Lo tahu kan, gue nggak akan kasihan cuma karena air mata buaya lo." Dan kepala cowok itu miring ke kanan, memperhatikan Lusi lamat-lamat. Keningnya mengerut. "Lo makin cantik kalau nangis gini."

Tidak. Pujian itu tak lantas membuat Lusi senang. Karena setelah menyeringai aneh, wajah Elang tiba-tiba maju dan menerjangnya. Lusi memberontak, ingin berteriak, namun bibirnya dibungkam oleh mulut Elang yang terasa pahit dan tidak enak. Tak mau pasrah, ia memukul-mukul dada Elang. Namun dengan sigap kedua tangannya ditahan di atas kepala dengan satu tangan sementara lengan Elang satunya digunakan untuk mendekap erat pinggang Lusi.

Lusi menangis, bibirnya dilumat dan diraup kasar hingga terasa perih. Merasa kesusahan bernapas, ia merealisasikan apa yang ada di pikirannya. Dan berhasil. Elang melepas tautan mulut mereka, hingga memperlihatkan darah yang keluar dari bibir bawah yang digigit kuat oleh Lusi tadi. Bahkan Elang mundur dua langkah. Sebuah kesalahan fatal, karena Lusi bisa melihat betapa murkanya Elang sekarang.

"Bangsat! Bajingan! Lo mau main-main sama gue, b*tch?!"

Lusi tersentak. Ia membalikkan badan, kemudian menggedor-gedor dan menendang keras pintu kamar. Berharap keajaiban sedikit saja agar pintu itu terbuka dengan usahanya.

"KAK JEFRI BUKA!"

"BUKAIN!"

"KAK JEF, TOLONG."

"T-tolong ... aku."

"Usaha yang sia-sia, Kelinci Kecil."

Lusi menegang. Seluruh tubuhnya bergetar hebat, karena bisikan di telinga serta sepasang lengan melingkari pinggangnya erat sekali.

"Lepas!"

Lusi menjerit, ketika tanpa aba-aba, tubuhnya diangkat begitu saja. Lalu ia merasa remuk di sekujur badan karena dilempar di atas ranjang. Ia hendak bangkit, tapi Elang lebih dulu menindih badannya dan kembali menyerang bibirnya. Lusi memukul-mukul ke sembarang arah, menendang udara.

"T-tolong ... jangan." Lusi memohon, terisak-isak ketika Elang merobek kardigan yang ia pakai. "Jangan hancurin saya."

Elang menyeringai sambil melepas kaus yang cowok itu pakai. "Hari ini gue udah hancur." Cowok itu menunduk, mencengkeram pipi Lusi dengan satu tangan. "Dan lo, tiba-tiba datang mengumpankan diri." Lusi memejam ketakutan saat sudut bibirnya dicium. "JADI LO HARUS IKUT HANCUR JUGA!"

Lusi tak pernah membayangkan pengalaman mengerikan seperti ini, bahkan dalam mimpi sekalipun. Ia membenci dirinya yang terlalu lemah, hingga tak kuasa melawan ketika seluruh kain yang melekat di tubuhnya ditanggalkan. Saat kehormatannya dirobek dengan kasar dan tanpa persiapan. Saat ia memohon, merintih, mengiba pada orang yang bahkan tak pernah bersinggungan ini, namun hanya dibalas dengan siksaan tanpa ampun.

Ketika kesadarannya menipis, Lusi melihat di langit—langit kamar, Pratama dan Wulandari—orang tuanya-berderai air mata. Malam ini Lusi telah kalah. Ia teringat doanya ketika di perjalanan menuju tempat ini, semoga Jefri tak merenggut kehormatan Irene. Doa itu terkabul, mungkin. Dan sebagai gantinya, ia yang dihancurkan. Tanpa belas kasihan.

***

Yeah, gitu deh. Hehe

Magelang, 18 November 2021

Direpost 28 Agustus 2023

Broken Down (REPOST)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang