25. Permintaan

2.5K 529 35
                                    

Panjang nih gaes

25. Permintaan

Hal yang Lusi takutkan ketika membuka mata, adalah kepergian makhluk kecil yang tumbuh di perutnya. Ia menangis histeris, mengingat darah keluar begitu banyak dari pangkal pahanya. Namun, semua orang menenangkannya. Memintanya untuk berhenti takut karena janinnya selamat.

Ternyata, semudah itu Tuhan membalikkan perasaan manusia, ya? Dulu saat tahu tengah hamil, ia sempat menolak kehadiran bayi ini. Ia berdoa agar anaknya menghilang dari perut. Namun sekarang, ia begitu ketakutan jika makhluk kecil itu meninggalkannya. Ia rasa, hidup akan benar-benar berakhir jika ia gagal menjaga nyawa tak bersalah ini. Bahkan tanpa ragu, Lusi mengakui bahwa ia mencintai calon putrinya. Meskipun harus hadir di waktu dan sebab yang tak tepat.

"Makasih." Dengan mata berkaca, Lusi mengelus perutnya. Ia kembali berbisik, "Makasih udah mau bertahan di sini. Maaf, karena Bunda hampir gagal jaga kamu. Maafin Bunda."

Dengan punggung tangan yang tak terpasang infus, ia menghapus air mata yang meluncur makin deras. Kamar rawat inapnya sedang sepi. Mertua maupun para saudaranya yang tadi berkumpul, kini sedang keluar untuk makan di kantin. Ela yang memilih tinggal, baru saja masuk kamar mandi. Karena itu ia bisa leluasa menumpahkan perasaan yang sejak sadar, ia tahan kuat-kuat.

Sambil terisak, ia kembali mengingat kejadian tadi. Saat ia bertengkar dengan Galuh, juga keributan yang membuatnya terjatuh. Ketika darah keluar, hatinya begitu cemas. Rasa sakit yang amat sangat di perut, bercampur dengan ketakutan, membuat Lusi kacau. Hanya kondisi sang bayi yang memenuhi kepalanya, bahkan hingga ia kehilangan kesadaran.

"Lus?"

Mengusap kasar pipinya, Lusi menoleh. Ia melihat Ela mendekat dengan wajah panik.

"Lo kenapa?" Saudaranya itu memegang bahu Lusi. "Ada yang sakit? Perut lo sakit? Gue panggilin dokter, ya."

Menggeleng, Lusi menahan tangan Ela. "Gue nggak apa-apa."

Ela urung pergi, dan kini berdiri di samping brankar Lusi. "Terus kenapa lo nangis? Lo keinget cewek yang bully lo?"

Lusi menggeleng. Air matanya mengalir lagi. Matanya memanas saat ia menatap Ela. "La, boleh ... peluk gue?"

Ela mengerjap, lalu membungkuk dan membawa Lusi ke dalam pelukan. Sedetik kemudian tangis Lusi pecah. Gadis itu tak lagi menahan beban hatinya. Bukan hanya takut kehilangan bayinya, tapi juga terbongkarnya rahasia yang ia simpan, pada seluruh mahasiswa kampus. Bohong jika ia tidak cemas. Rasanya campur aduk, hingga lehernya seolah tercekik.

"Gue takut, La." Lusi berbisik, setelah berusaha meredakan isak tangis. "Gue takut dia kenapa-napa."

"Gue ngerti." Ela menepuk-nepuk lembut punggungnya. "Tapi dia baik-baik aja sekarang. Lo dan dia, kalian baik-baik aja. Kalian aman. Okay?"

Lusi mengangguk berkali-kali di sela-sela tangis. "Gue nggak akan maafin diri gue sendiri kalau dia sampai pergi. Gue ... sayang dia, La."

"Gue tahu." Ela terdiam sebentar. "Dia nggak akan kenapa-napa, Lus. Karena ... lo tahu? Dia punya ibu yang hebat kayak lo. Dia nggak akan kenapa-napa."

Lusi mengangguk. "Gue nggak akan gagal jaga dia lagi. Gue janji."

"Ini baru Lusi yang gue kenal." Ela melepas pelukan, lalu tersenyum. "Lo nggak usah khawatir, Lus. Lo nggak sendiri. Banyak yang sayang sama lo, sama si baby juga. Kejadian kayak gini nggak akan terjadi lagi."

Lusi tersenyum kecil sambil mengusap perutnya. Ya, ia memang mempunyai banyak orang yang peduli. Entah para abang, keluarga panti, atau bahkan Irene dan teman-teman Elang.

Broken Down (REPOST)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang