17. Payung

2.4K 448 11
                                    

17. Payung

Pulang kuliah, Lusi dijemput oleh Rena untuk diajak ke panti. Bahkan kakaknya itu yang memintakan izin sendiri kepada Elang. Dan entah kenapa laki-laki itu terlihat tidak berkutik di depan Rena.

"Kak Lusi!"

Teriakan itu membuat Lusi yang baru memasuki gerbang, tersenyum kecil. Ia terkekeh ringan saat Zia memelankan lari setelah melihat perutnya yang sedikit membuncit.

"Nggak apa-apa kalau Zia peluk Kak Lusi?"

Lusi berpandangan dengan Rena yang ada di sebelahnya, lalu tertawa. "Nggak apa-apa, dong."

"Adik bayinya nggak sakit?"

Menipiskan senyum, Lusi menggeleng. "Adik bayinya kan mau ketemu sama Kak Zia."

"Wah!" Mata Zia berbinar. "Zia mau elus-elus, boleh?"

"Boleh."

Lusi tersenyum geli melihat bagaimana hati-hatinya Zia mengusap perutnya. Hatinya menghangat ketika adiknya itu memeluk serta mengungkapkan kerinduan. Tak hanya sampai di situ, adik-adiknya yang lain juga berhamburan keluar untuk menyambutnya. Mereka mengutarakan kehilangan karena Lusi tak lagi tinggal bersama mereka.

"Lusi, Sayang."

Dan ketika memasuki halaman belakang panti, Lusi langsung disambut oleh dua orang yang memiliki kepedulian besar kepadanya. Kia menariknya duduk di sebelah perempuan itu, kemudian memberinya pelukan.

"Gimana kabar Lusi?"

"Baik." Lusi tersenyum kecil. "Kakak sama Om Panji, baik?"

"Baik." Panji yang menjawab. "Bayinya sehat? Kamu rutin check up, kan?"

Lusi mengangguk. "Iya, rutin. Adik bayinya alhamdulillah sehat."

"Syukurlah." Panji tersenyum tipis.

"Lusi di sana nggak sedih, kan? Mereka baik?"

Lusi menatap Kia, lalu mengangguk. "Baik semua, Kak. Kakak sama Om nggak usah khawatir, kalau Lusi butuh bantuan, pasti Lusi akan ngabarin."

"Itu memang harus."

Dan begitulah, hari itu dihabiskan Lusi dengan bercengkerama bersama keluarganya. Apalagi tak lama kemudian abang-abang yang lain ikut datang dan meramaikan suasana. Di sana, Lusi bisa tertawa lebar tanpa takut oleh apa pun. Tanpa merasa gelisah, juga terlingkupi keasingan.

Sampai akhirnya malam datang dan waktu Lusi habis, ketika Elang mengirim pesan jika laki-laki itu menunggunya di depan panti. Lusi harus kembali ke dunia barunya, meski rasanya ingin sekali tetap berada di sini, bersama keluarganya.

"Nginep aja ya, Lus? Nggak kangen apa sama gue?"

Lusi tersenyum kecil. "Gue bisa ke sini lagi kapan-kapan, kan?"

Ela mencebikkan bibir. "Emang dibolehin sama si bereng—"

"La."

Ela meringis menatap Panji yang melirik anak-anak kecil di sana, sebelum kembali ke arah Lusi. "Maksud gue, 'dia' nggak ngelarang kalau lo ke sini sewaktu-waktu?"

Lusi menggeleng, bukan karena Elang memang tidak melarangnya, namun ia yang tidak tahu. Tapi ia tidak ingin keluarganya makin khawatir.

"Lusi."

Lusi menoleh ke arah Panji. "Iya?"

"Jangan pernah ragu buat bilang sama kami, kalau butuh bantuan. Lusi harus ingat itu."

"Iya, kalau perlu nomor abang-abang di-setting jadi panggilan cepat," timpal Kevin.

Lusi mengangguk. "Makasih."

Broken Down (REPOST)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang