11. Hidup BaruMemangnya apa yang bisa Lusi putuskan? Ia tidak punya pilihan, meski ribuan kali berpikir ulang. Karena apa pun keinginannya, kini kalah dengan kepentingan makhluk kecil yang sempat ia tak terima kehadirannya. Pada akhirnya Lusi membuat pilihan, yang jujur teramat berat dan kurang disetujui oleh para abang juga keluarga panti. Tetapi Lusi hanya tidak ingin makin merepotkan dan menambah beban mereka, baik keluarga Tante Bintang maupun keluarga panti.
Jarum pendek jam sudah menunjuk ke angka tujuh, namun Lusi masih tak berniat keluar. Bahkan ia masih duduk di tepi ranjang, dengan rambut panjangnya yang basah karena keramas pagi tadi. Pandangannya mengedar ke seluruh sudut kamar yanh ditempati sejak semalam ini. Ruangan yang sama luasnya dengan kamar di panti, namun di sini ia tempati sendiri.
Menoleh ke arah kanan, Lusi terpaku. Lalu ia bangkit berdiri dan melangkahkan kaki mendekati jendela kaca yang tertutupi gorden putih. Di bawah jendela, ada sebuah sofa warna hijau pastel dilengkapi dua buah bantal. Lusi duduk di sana, membuka gorden itu, dan membuat sinar matahari pagi langsung menelusup masuk. Dari kaca jendela yang tertutup paten, ia bisa melihat langsung halaman samping rumah. Dinding luar kamar ini dirambati pohon mawar yang sedang berbunga. Cukup asri.
Dering ponsel sedikit menyadarkan Lusi. Ia segera mendekati nakas, mengambil benda itu dan tersenyum tipis ketika melihat nama Kiara tertera di layar.
"Selamat pagi, adik Kak Kia."
Senyum Lusi melebar. Ia mendudukkan diri di sofa kembali. "Selamat pagi."
"Lusi baik-baik aja? Gimana tidurnya semalam? Nyenyak?"
Lusi menggeleng, namun mulutnya mengatakan 'iya' agar tidak menimbulkan khawatir di hati Kiara.
"Lusi sudah sarapan?"
"Belum."
"Kenapa belum?"
Mendengar ada suara lain di seberang sana, Lusi meringis.
"Kamu baik-baik saja? Mereka tidak memperlakukan kamu dengan baik? Tunggu, Kak Panji jemput kamu sekarang."
"Kak." Lusi buru-buru menyergah. "Aku baik-baik saja. Kak Panji sama Kak Kia nggak usah khawatir."
"Tapi Lusi belum sarapan." Kiara kembali bersuara, setelah sebelumnya diinterupsi sang suami.
"Kan masih pagi." Lusi tersenyum kecil.
"Tapi ... Lusi beneran diperlakukan dengan baik kan, sama mereka? Mereka nggak apa-apain Lusi kan?"
"Enggak, Kak."
"Syukurlah. Tapi ... jangan pernah ragu ya buat telepon Kak Panji, Kak Kia atau para abang yang lain, kalau Lusi lagi butuh bantuan. Janji ya?"
"Iya," lirih Lusi.
"Nanti siang Kak Kia sama Kak Bita ke sana. Kita ke dokter kandungan bareng. Okay?"
"Iya."
"Ya udah, Lusi sarapan dulu. Jangan sedih-sedih terus ya. See you."
"See you too."
Telepon tertutup. Lusi menunduk, mengusap perutnya yang mulai terasa keras. Pandangannya menyendu. Ya, Lusi memang tidak lagi tinggal di rumah Panji maupun Om Angkasa, terhitung sejak kemarin sore. Ini berhubungan dengan keputusan yang ia ambil seminggu lalu, yang tentu mengubah hidupnya secara drastis. Lusi ... memutuskan untuk menerima permintaan Elang dan ibunya—Tante Vera, yang diutarakan seminggu lalu.
Ya, kemarin sore mereka menikah. Secara sah di mata agama maupun negara. Namun tanpa perayaan apa pun, hanya ijab qabul yang disaksikan oleh keluarga mereka. Tidak ada orang luar. Lusi sudah memikirkan ini matang-matang. Seperti kata Kia, anak dalam kandungannya sama sekali tak bersalah. Meski membenci Elang, namun dengan berat hati Lusi mengakui bahwa ia butuh laki-laki itu untuk akte anaknya nanti.
Dan Lusi memutuskan bukan tanpa syarat. Karena meski sudah menjadi istri sah laki-laki itu, Lusi tak mau menempati kamar yang sama dengan Elang. Ia juga tidak mau melayani nafkah batin Elang. Pun, meski dalam kondisi hamil, ia tetap ingin kuliah seperti biasa. Dan meminta agar hubungan mereka tidak diketahui siapa pun di kampus.
Ketukan pintu membuat Lusi menoleh. Sesaat kemudian, daun pintu terbuka sedikit dan memunculkan sosok Tante Vera.
"Selamat pagi, Lusi," sapa Tante Vera dengan ramah. "Bunda boleh masuk?"
Tersenyum canggung, Lusi mengangguk. "B-boleh, Tante."
Tante Vera tersenyum lebar, melangkah masuk. "Kok 'Tante'? Panggil 'Bunda', Sayang."
Lusi hanya tersenyum kikuk. Bagaimana bisa ia memanggil wanita itu begitu, sementara ia tak menganggapnya orang tua?
"Tadi Bunda kira Lusi masih tidur, ternyata udah mandi ya?"
Lusi mengangguk kaku.
"Kalau gitu, kenapa nggak keluar? Sarapan sudah siap, lho."
Lagi, Lusi hanya tersenyum canggung. "B-baru ngeringin rambut."
Tante Vera mengangguk, mengusap kepala Lusi. "Lusi ada keluhan, pagi ini? Mual, pusing atau apa?"
Lusi menggeleng. Satu hal yang cukup disyukurinya, adalah ia yang sama sekali tak mengalami morning sickness. Jadi ia tidak perlu merepotkan orang lain, juga bisa menjalani rutinitas di kampus seperti biasa, nantinya.
"Nanti siang kita ke dokter kandungan, ya. Sama Bunda."
"I-itu ... nanti ... Kak Kia sama Tante Bita yang mau anter ke dokter." Lusi menatap Tante Vera, tak enak.
"Oh ya sudah, nanti Bunda ikut. Boleh kan?"
"B-boleh."
"Ya sudah, sekarang keluar yuk. Kita sarapan bareng."
Tanpa penolakan, Lusi menurut. Mengikuti langkah Tante Vera keluar dari kamar. Namun hal yang tak terduga terjadi, ketika akan memasuki ruang makan, seseorang datang dari arah berlawanan. Langkah Lusi terhenti. Kakinya terpaku di lantai, sementara matanya membola pada sosok Elang yang juga berhenti di depan Tante Vera. Ketika mata mereka bersirobok, Lusi tersentak. Detak jantungnya berpacu cepat, keringat dingin mulai membasahi pelipis.
"Oh, Elang. Ayo sarapan dulu, sebelum berangkat kuliah."
Lusi cepat-cepat menunduk karena Elang meliriknya. Ia meremas tepian dress ketika laki-laki itu bersuara datar,
"Aku sarapan di kampus."
"Cuma sebentar, Elang. Sebelum ini Bunda nggak pernah maksa kalau kamu nggak mau makan di rumah, tapi sekarang ada istri kamu. Jadi Bunda mohon, cuma sebentar. Kita sarapan bertiga. Ya?"
Ingin sekali Lusi meminta Tante Vera membiarkan Elang pergi. Tapi tentu ia tak berani. Jadi yang bisa ia lakukan hanya diam, sambil berdoa agar lelaki itu tidak menuruti keinginan ibunya.
"Lain kali."
Dan Lusi spontan menghela napas lega ketika Elang menjawab begitu. Namun saat menangkap basah Elang meliriknya lagi, ia buru-buru menunduk.
"Masih keras kepala." Tante Vera menggerutu. "Ya sudah. Tapi nanti bisa pulang agak awal? Bunda sama Lusi mau check up ke dokter kandungan. Kamu ikut ya?"
Lagi, Lusi ingin menyela. Karena ia sama sekali tidak ingin Elang ikut memeriksakan kandungan. Buat apa?
"Aku berangkat."
Lusi mengerjap, tanpa sadar tatapannya mengikuti punggung Elang yang sudah menjauh, lalu menghilang di balik pintu. Dan ketika menoleh ke arah Tante Vera, ia menahan untuk tidak meringis. Raut wajah ibu Elang itu terlihat sangat sendu, dan Lusi sangat paham. Memangnya, orang tua mana yang tidak sedih jika disikapi dengan begitu dingin oleh anak kandung sendiri?
"Maaf ya, Sayang. Jangan diambil hati, sikap Elang."
Lusi hanya bisa mengangguk. Ia mengusap pelan perutnya. Semoga anaknya tidak menuruni sifat ayahnya yang jahat itu.
***
Ada yang kecewa?
Magelang, 27 November 2021
Direpost 07 Oktober 2023
KAMU SEDANG MEMBACA
Broken Down (REPOST)
General Fiction#Miniseri 6 "Mengenalmu, adalah sebuah jalan untukku merasa utuh." (Erlangga Thariq) "Bertemu denganmu, adalah jalan yang tak pernah kuinginkan terjadi." (Andalusia) Lusi membenci laki-laki itu, sosok yang merusak dan menghancurkan masa depannya. Hi...