34. Welcome BackSosok tegap yang duduk di kursi itu tengah fokus menandatangani beberapa dokumen. Dua orang lainnya memperhatikan dengan saksama. Tidak ada perbincangan. Hanya bunyi jarum jam yang bergerak tiap detiknya, memecah keheningan. Hingga akhirnya tanda tangan selesai dibubuhkan di semua tempat yang seharusnya, barulah helaan napas lega terdengar.
"Selamat, Bapak Erlangga. Anda resmi bebas."
Elang ikut berdiri, kemudian membalas jabat tangan itu. Senyum tipis terulas di bibir. "Terima kasih."
Setelah mendapat beberapa wejangan dan nasihat, akhirnya Elang benar-benar bisa menghirup udara bebas di luar. Diikuti oleh satu orang kepercayaan kakeknya, ia keluar dari lapas itu.
Ya, hari ini adalah hari kebebasannya setelah menghabiskan lima tahun menjalani hukuman. Senyum terus saja tersungging di bibir laki-laki berusia dua puluh tujuh tahun itu. Bahagia? Sangat. Apalagi bayangan di mana sebentar lagi ia akan bisa bertatap muka dengan sang malaikat kecil kesayangannya. Secara langsung, bukan melalui video call seperti yang selama ini mereka lakukan. Elang ingin memeluknya, mencium kedua pipinya yang berisi, juga mendengarkan celotehannya yang tak pernah habis. Ia begitu rindu hingga dadanya terasa hampir meledak.
"Mas Elang, kita mampir ke pusat perbelanjaan dulu."
Mendengar itu, kedua alis Elang bertaut. Dari bangku belakang, ia menatap Edi yang duduk di sebelah Pak Wawan-supir kakeknya. "Kenapa?"
"Kata Tuan Besar, Mas Elang harus membelikan oleh-oleh untuk Dek Lala." Edi menoleh ke arah Elang yang masih terdiam menunggu lanjutan ucapannya. "Tuan melarang saya membelinya dari jauh-jauh hari. Kata beliau, harus Mas Elang langsung yang membelikan agar feel-nya lebih terasa."
Mendengarnya, Elang berdecak geli. Kakeknya itu ... makin tua makin aneh saja! "Ya udah, kita mampir dulu."
Toh, Kakek ada benarnya. Elang juga akan lebih puas jika bisa membelikan oleh-oleh untuk Lala, dengan pilihan tangannya sendiri, bukan melalui orang lain. Jadi setelah tiba di pusat perbelanjaan tepatnya di bagian pernak-pernik dan mainan anak, ia mengambil banyak barang.
Lala hobi menggambar, persis seperti bundanya. Karena itu Elang mengambil perlengkapan menggambar seperti pensil, buku gambar, pensil warna, dan barang-barang kecil lainnya. Bukan hanya itu, ia juga membeli boneka, pakaian anak perempuan dan berbagai macam olahan cokelat dengan jumlah yang mampu membuat Edi melongo. Namun Elang tak memedulikannya, karena sebenarnya semua barang itu bukan untuk Lala saja, tapi juga akan ia berikan kepada kedua teman yang sering Lala ceritakan.
Selesai membeli semuanya dan menyuruh Edi untuk meminta tolong petugas toko agar membantu membawa ke mobil, Elang menyempatkan diri membeli pakaian untuk dirinya sendiri. Ia perlu ganti baju, agar terlihat lebih baru dan bagus dibanding baju yang ia pakai dari lapas. Tentu semua belanjaan itu ia bayar menggunakan kartu kredit yang diberikan Kakek melalui Edi.
Sepanjang perjalanan menuju rumah, Elang tak berhenti merasa gugup. Jantungnya berdetak begitu kencang. Telapak tangannya hingga berkeringat. Terakhir ia melihat Lala ketika malaikatnya baru berumur empat puluh hari. Setelahnya, mereka hanya bertemu dan berinteraksi melalui video call yang tersedia di ruang kunjung lapas. Bertatap muka langsung dengan Lala adalah hal yang sangat ia nanti-nantikan, tapi tak urung kegugupan itu menyerangnya.
"Sudah sampai, Mas."
Fokus Elang tertarik kembali. Kepalanya tertoleh ke arah luar, di mana rumah yang ia tinggalkan selama lima tahun, kini terpampang di depan mata. Rumah di mana ia tumbuh sejak bayi, hingga berumur dua puluh dua tahun. Rumah di mana segala kenangan tentang ia dan Lusi tercipta. Rumah yang perlahan kembali berwarna sejak kedatangan gadis yang ia sakiti itu. Setidaknya itu dulu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Broken Down (REPOST)
General Fiction#Miniseri 6 "Mengenalmu, adalah sebuah jalan untukku merasa utuh." (Erlangga Thariq) "Bertemu denganmu, adalah jalan yang tak pernah kuinginkan terjadi." (Andalusia) Lusi membenci laki-laki itu, sosok yang merusak dan menghancurkan masa depannya. Hi...