38. Orang Yang Tepat
Satu yang membuat Elang berterimakasih kepada Lusi adalah gadis itu tak pernah melupakannya atas perkembangan Lala. Gadis itu menyimpan banyak sekali video mulai dari Lala berumur beberapa bulan hingga lima tahun. Semua perkembangan, dari mengoceh, tengkurap, merangkak, berjalan, hingga belajar bicara, direkam oleh Lusi.
"Aiiyaah!"
Meski sudah memutar video satu ini berulang-ulang, Elang tetap merasa matanya memanas. Rasa senang menyeruak tiap kali mendengar Lala memanggilnya untuk pertama kali. Kata Lusi, dulu Lala dengan mudah memanggil 'Ayah' setiap melihat foto Elang. Bagaimana ia tidak terharu?
"Masih video itu?"
Mendengar pertanyaan itu, Elang menoleh. Ia tersenyum kecil menemukan Lusi yang kini duduk di sebelahnya, lalu mengulurkan secangkir teh hangat.
"Ini video favorit aku," jawab Elang, yang memancing tawa Lusi. "Makasih, udah bikin aku tetap dikenal Lala." Ia tersenyum tipis. "Walaupun aku ninggalin kalian."
"Jangan bahas lagi."
Senyum Elang melebar begitu melihat kerutan tak suka di wajah Lusi. Sejak beberapa bulan ini Lusi memang sering terlihat kesal setiap kali Elang membahas tentang kepergiannya dulu. Gadis itu akan mengalihkan pembicaraan, atau bahkan meninggalkan ruangan jika Elang masih bersikeras.
Sementara Elang memang tak bisa jika tak membahas. Karena tidak seperti dugaannya dulu, ternyata pilihan untuk menjalani hukuman pun masih tetap berimbas menyakiti Lusi. Tujuannya dulu untuk menebus rasa bersalah serta memenuhi kewajiban sebagai warga negara, pun keputusan menjatuhkan talak agar Lusi terbebas darinya, justru membuat gadis itu terluka.
Contohnya kejadian beberapa hari lalu di sekolah Lala di mana mereka mengantar gadis cilik itu. Elang sama sekali tidak menyangka jika Lusi akan dipandang sebelah mata hanya karena Lala selalu diantar teman-teman Elang, atau para abang. Beberapa orang menganggap Lusi gadis tidak benar hanya karena status Lusi sebagai ibu tunggal, pun ayah Lala yang tak pernah muncul.
Padahal dulu niat Elang berpisah agar bisa memberi kesempatan Lusi untuk mendapatkan laki-laki yang jauh lebih baik darinya. Namun nyatanya salah. Elang kini tetap dirundung rasa bersalah, oleh masalah yang lain.
"Gimana kerjaan baru Kakak?"
Elang yang baru selesai menyeruput teh, menoleh begitu Lusi menanyakan itu. Ia tersenyum tipis. "Harus adaptasi, sih. Belajar dari nol."
"Capek?"
Elang mengangguk jujur. "Banget. Berasa kayak anak magang, soalnya Ayah merintah semua orang buat nggak memperlakukan aku secara khusus."
"Emang harus gitu, kan?" Lusi menyengir. "Semua harus dipandang sama."
"Iya, Bunda."
"Kakak."
Elang terkekeh. Memanggil Lusi dengan sebutan 'Bunda' sepertinya akan jadi hobi mulai sekarang? Bagaimana lagi? Elang selalu suka ketika melihat wajah Lusi merona tiap kali ia melakukan itu.
"Kamu nggak ada rencana mau jadi cover designer tetap di penerbitan tantenya Lili?" Elang balik bertanya.
Lusi menggeleng. "Mau jadi freelancer terus aja, biar bisa kerja dari rumah."
"Biar full ada waktu sama keluarga?"
"Iya."
Elang mengerling jenaka. "Baiknya, Bunda."
"Kakaak."
Elang tertawa kecil. Menyenangkan sekali menggoda gadis keriting yang malam ini terlihat imut dengan piyama tidur bermotif Hello Kitty ini. Jika Lusi keluar, wajar sekali jika mungkin banyak yang menyangka gadis itu belum menikah apalagi punya anak. Ia bersyukur bisa begitu dekat dengan gadis cantik ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Broken Down (REPOST)
Ficción General#Miniseri 6 "Mengenalmu, adalah sebuah jalan untukku merasa utuh." (Erlangga Thariq) "Bertemu denganmu, adalah jalan yang tak pernah kuinginkan terjadi." (Andalusia) Lusi membenci laki-laki itu, sosok yang merusak dan menghancurkan masa depannya. Hi...