9. Dia Hamil

3.3K 533 19
                                    

9. Dia Hamil

Ketika manusia sedang berada di titik terendah, saat itulah ia merasa hidup tak lagi berarti.

Lusi mengalaminya dua kali. Dulu sekali, saat ia pulang sekolah dan melihat jasad kedua orang tuanya yang terbujur kaku, sedang didoakan oleh para tetangga. Hari itu di tangan Lusi masih tergenggam sebuah piala, hasil juara dua lomba menggambar. Ia berniat memberi kejutan, namun takdir telah lebih dulu mengejutkannya dengan kejam. Orang tuanya yang pagi harinya masih sehat dan bercanda kepadanya, siangnya tiba-tiba tak bernyawa karena peristiwa nahas. Saat melihat tubuh orang tuanya dimasukkan ke liang kubur, saat itulah Lusi merasa kehidupan telah meninggalkannya.

Butuh bertahun-tahun untuknya bisa 'sembuh'. Karena meski memiliki Ibu dan saudara-saudara di panti yang merangkulnya seperti keluarga, ia tetap merasakan kehampaan. Sakit sekali, saat raga masih bernyawa, namun ia kehilangan keinginan untuk hidup. Lalu perlahan, dengan bantuan semua orang, ia mulai berani membuka mata. Perlahan menatap kepingan-kepingan masa depan yang ia angankan. Lalu ia mulai menyusunnya satu per satu, untuk kemudian disatukan hingga jadi tujuannya hidup.

Lalu sekarang, ketika melihat kekecewaan Ibu Panti dan semua orang, Lusi kembali merasa tak ingin bernapas. Ia tak ingin hidup, dengan mengemban beban berupa makhluk kecil yang 'menumpang' di dalam perutnya. Ia tak bisa. Sama sekali tak bisa. Harapan dari kalimat 'semua akan kembali baik-baik saja' yang ia jadikan mantra setelah malam mengerikan itu terjadi, kini lenyap tak bersisa. Lusi bingung. Lusi ingin bangun dari mimpi buruk ini, namun 'keadaan normal' yang ia inginkan tak kunjung datang. Ia dipaksa sadar bahwa semua ini nyata. Teramat nyata hingga semua permohonannya ditolak tanpa perasaan oleh sang takdir.

"Boleh, ya?"

Lusi yang duduk memeluk lutut, hanya menggelengkan kepala saat suara lembut Kiara membelai telinganya.

"Kalau Lusi nggak bolehin Om Gio proses tuntutannya, orang jahat itu nggak akan dapat hukuman."

Setetes air keluar dari sudut matanya, mengalir hingga membentuk garis di pipi pucatnya. Ia biarkan Kiara memberi pelukan hangat, mengusap-usap rambutnya dengan lembut.

"Lusi kan, harus dapat keadilan."

Lusi langsung menoleh kepada Kiara, menatapnya dengan mata berkaca. Dengan serak, ia berkata, "Lusi mau keadilan."

Kiara mengangguk. "Karena itu, orang yang jahatin Lusi harus dipenjara."

Lusi menggeleng pelan. "Bukan itu."

"Lalu?"

"Lusi cuma mau keadilan, dengan dia yang nggak ada di sini," lirihnya, sambil meletakkan kepalan tangan di perut.

Tak kuat menahan tangis, Kiara memeluk Lusi kuat-kuat. Istri Panji itu terisak, membuat Lusi juga terisak. Mereka larut dengan dada yang sesak.

"Jangan, Sayang. Nggak boleh." Kiara berucap setelah tangisnya reda. "Dia nggak salah. Bayinya nggak salah."

Lusi sesenggukan. Makhluk kecil itu memang tak bersalah. Tapi Lusi harus bagaimana? Menuntut orang jahat itu hanya akan membuatnya makin terpuruk. Ketika orang-orang luar tahu apa yang terjadi kepadanya, aib besar itu akan menggelayuti pundaknya tanpa henti. Ia tak sanggup jika harus disalahkan dengan asumsi-asumsi buruk. Ia tidak ingin menambah kekecewaan semua orang. Tapi ... adakah yang benar-benar bisa mengerti ketakutannya?

***

Kondisi kamar itu sudah tak berbentuk. Buku-buku berserakan di lantai. Laptop telah tergeletak dengan keadaan terbelah dua. Kepingan beling dari cermin yang terpecah, menambah kekacauan. Dan di sudut kamar itu, Elang terduduk lemas. Dengan punggung jari berlumuran darah kental, dan wajah babak belur.

"Sialan!" Ia mengumpat pelan sekali, sambil meremas satu keping beling yang ia ambil tadi. Darah merembes dari telapak tangannya.

Masih teringat jelas bagaimana pukulan demi pukulan ia terima di ruang rawat Lusi, juga parkiran rumah sakit tadi. Ya, karena setelah diusir oleh seseorang bernama Panji, ia kembali dihadang di parkiran rumah sakit oleh orang berbeda yang dipanggil 'Bi'. Dan Elang sama sekali tak melawan.

"Lo bilang lo nggak bakal hamil! Lo bilang hari itu bukan masa subur lo. Lo bilang nggak bakal hamil, sialan. TAPI KENAPA SEKARANG HAMIL, HAH?!"

Elang mempererat genggaman pada beling ketika kalimat yang keluar dari mulutnya, kembali terngiang di telinga. Wajah terluka dan tangis histeris gadis itu masih tercetak jelas di benak, membuatnya kembali merasa tercabik. Darah itu mengucur hingga membasahi lantai. Tapi ia tak merasa sakit. Matanya berkedip, sambil menekan pipi dalam dengan ujung lidah.

"Lo emang bangsat, Lang. Gimana kalau Lusi gugurin bayi itu? Gimana kalau karena ucapan lo, Lusi bertindak gegabah?!"

Teriakan Edwin menghantam gendang telinganya. Elang menatap nyalang pada telapak tangannya yang telah sobek dalam. Napasnya memburu. Tiga bulan. Janin itu telah berumur tiga bulan di perut Lusi. Dan dia adalah anaknya, hasil perbuatan bejatnya. Umurnya baru dua puluh satu tahun, dan kini ia menjadi calon ayah. Ayah. Ia akan mempunyai seorang anak.

"ASTAGA, ELANG!"

Elang menoleh, menemukan sang bunda tengah berdiri di ambang pintu dengan wajah syok. Wanita itu bergegas mendekat, memberondongnya dengan pertanyaan-pertanyaan penuh kepanikan yang tidak bisa tertangkap telinga Elang dengan jelas. Ia hanya mengedipkan mata, kemudian bersuara datar,

"Bun." Ia tatap wanita yang tiga bulan ini tidak ia acuhkan. Lalu mulutnya berbisik, "Dia hamil."

***

Sedikit aja, ya😜

Magelang, 24 November 2021

Direpost 20 September 2023

Broken Down (REPOST)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang