35. I Miss You

2.4K 471 30
                                    

35. I Miss You

Banyak perubahan yang terjadi selama lima tahun belakangan. Tentu saja. Janin yang dulu tumbuh di perut Lusi dan sempat tak ia terima, kini menjadi pusat dunia yang menerima luapan cinta darinya. Lala, yang kini tumbuh menjadi gadis cilik cantik dan penuh pengertian. Lusi memandangi langit yang malam ini cerah dan dihiasi ribuan bintang. Pikirannya mengawang, pada segala yang telah ia lalui bersama Lala sejauh ini. Ada haru, sesak, rindu dan rasa-rasa lain yang tumpang tindih. Terkadang ia masih tak percaya, mampu menjalani semuanya sejauh ini.

"Kenapa di luar?"

Suara itu membuat Lusi berjengit dan menoleh. Sedikit tercenung, mendapati sosok yang kini berdiri di belakang ayunan tempatnya duduk. Tatapan dingin tapi terkesan teduh itu menatapnya lekat. Di kedalaman mata itu, Lusi bisa melihat banyak kerumitan yang seperti menyedotnya untuk tenggelam. Karenanya, ia buru-buru menggeleng dan kembali menatap ke depan.

"Nggak bisa tidur," ucapnya, pelan.

Namun setelahnya tubuh Lusi sedikit menegang ketika merasakan sesuatu melingkupi tubuh atasnya. Elang menyelimutinya dengan selimut milik Lala-Lusi tahu betul karena ia yang membelinya beberapa bulan lalu. Setelahnya, laki-laki itu duduk di sebelahnya.

"Edwin sama Jef lumayan juga bikin ininya."

Lusi melirik Elang yang sedang menepuk-nepuk permukaan kayu ayunan, lalu tersenyum. "Waktu itu Lala pengin punya ayunan yang mirip punya Ren, adiknya Kak Lili."

Elang mengangguk. "Lala semangat banget pas cerita sama aku waktu itu. Katanya, 'Om Ed sama Om Jef adalah my superhero'. Aku sampai iri."

Lusi terkekeh. Ya, ayunan ini memang dibuat oleh Edwin dan Jefri beberapa bulan lalu. Berbentuk mirip dua bangku saling berhadapan lengkap dengan sandaran. Ini adalah tempat favorit Lala ketika bermain atau membaca buku cerita. Juga sering Lusi tempati ketika tidak bisa tidur seperti saat ini. Soal hubungannya dengan Jefri, juga sudah lama membaik. Interaksi mereka sudah seperti dengan teman-teman Elang yang lain.

"Dia udah tidur?"

"Hm." Elang tertawa kecil. "Kamu benar, You Are My Sunshine ditambah puk-puk punggung emang ampuh bikin dia cepet tidur."

Lagi, Lusi hanya tersenyum. Sejak kepulangan Elang tiga hari lalu, Lala memang begitu lengket dengannya. Bahkan meminta izin untuk bolos sekolah karena ingin terus bersama ayahnya. Lusi tentu paham perasaan putrinya, jadi ia mengizinkan tanpa keberatan. Toh, jarang sekali Lala tidak berangkat sekolah.

Dan setelahnya, keheningan kembali mengambil alih. Ini pertama kalinya setelah tiga hari, Lusi duduk berdua dengan Elang. Bahkan sejak kepulangan laki-laki itu, mereka belum sempat mengobrol kecuali bersama Lala atau Bunda. Kecanggungan itu masih begitu kental.

Jujur, Lusi juga tidak tahu bagaimana harus bersikap di depan Elang. Ia bingung, meski tiap melihat wajah laki-laki itu, perasaannya campur aduk dan dadanya serasa akan meledak. Lima tahun berlalu, perubahan fisik Elang jelas terlihat begitu nyata. Meski wajahnya lebih tirus, tapi ketampanan itu tak bisa disembunyikan. Bulu-bulu halus yang dibiarkan tumbuh di sekitar rahang, memperjelas kesan dewasa pada diri Elang. Melihat wajah itu melalui layar ponsel, nyatanya berbeda jauh dibanding secara langsung begini. Degup jantung yang kencang tak bisa ia hindari.

"Kamu ... apa kabar?"

Pertanyaan Elang membuat Lusi tercenung. Menautkan kedua tangan di atas pangkuan, ia terkekeh lirih. "Kakak kan selalu tahu kabarku. Seminggu sekali kita ngobrol."

Seminggu sekali. Ya, itu benar. Sejak awal Elang resmi menjadi tahanan dan hakim memutuskan lama hukuman laki-laki itu, mereka tetap bisa bertemu. Secara virtual, yaitu video call. Layanan itu memang disediakan oleh lapas untuk memudahkan para keluarga yang tidak bisa datang langsung menemui narapidana. Yah, meski sebenarnya sejak bulan pertama pun, Lusi sangat mampu untuk datang. Jika saja tidak dilarang.

Broken Down (REPOST)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang