10. Hanya Sampai Lahir

3.1K 517 16
                                    

10. Hanya Sampai Lahir

"Tidak."

Satu kata datar dan dingin namun terkesan tajam itu, membuat semua orang terdiam. Termasuk Lusi yang sedari tadi hanya meremas-remas ujung hoodie yang ia kenakan, sejak dua orang ini datang ke rumah Om Angkasa dan Tante Bintang—orang tua Panji. Tempat ia menenangkan diri setelah pulang dari rumah sakit beberapa hari yang lalu.

"Pak Panji, saya mohon. Tidak bisakah kita menyelesaikan ini secara kekeluargaan? Dengan menikah, anak saya bisa mempertanggungjawabkan perbuatannya."

"Saya ingin anak Anda bertanggungjawab di penjara. Tidak perlu menikahi adik saya."

"Tolong, Pak Panji, jangan. Elang masih mempunyai masa depan yang–"

"Lalu bagaimana dengan masa depan adik saya yang anak Anda hancurkan?!"

Lusi cepat-cepat menghapus setitik air mata yang meluncur dari sudut mata. Meski sejak masalah ini datang, ia jadi lebih sering melihat Panji tersulut emosi, namun ia tetap merasa takut. Lusi juga tidak menyangka akan kedatangan Elang dan ibunya yang tiba-tiba seperti ini. Bagaimana mereka tahu kalau Lusi ada di sini? Dan ... kenapa ibunya Elang memohon sebuah hal yang bahkan sama sekali tak pernah ia pikirkan sebelumnya?

"Bang." Om Angkasa angkat bicara. "Tenang dulu."

Panji menghela napas berat, lalu menurut ketika Kiara menarik lengannya agar lelaki itu duduk kembali.

"Sebelumnya, saya mau bertanya." Om Angkasa menatap tajam dua orang di depan mereka. "Apa anak Anda juga menginginkan untuk bertanggungjawab dengan menikahi Lusi? Atau ini hanya paksaan Anda?"

"Keinginan saya." Elang yang sedari tadi bungkam, kini bersuara. Tatapan matanya tertuju kepada Lusi yang langsung menunduk. "Saya sudah akan menikahi dia, bahkan seminggu setelah kejadian itu terjadi. Tapi Lusi meno—"

Tidak. Ucapan Elang menggantung begitu saja karena Panji langsung maju dan memukul rahangnya. Semua orang terkesiap, begitupun Lusi. Ibu Elang menjerit.

"Penolakan Lusi nggak seharusnya membuat kamu bersembunyi, bajingan! Dia punya keluarga, harusnya dari awal kamu mengakuinya. Dia punya keluarga!"

"Bang, sudah!" Om Angkasa menarik lengan Panji yang masih memberi pukulan bertubi-tubi kepada Elang yang sama sekali tidak melawan.

"Kak, nggak gini cara menyelesaikan masalah." Kiara mengusap-usap telapak tangan suaminya yang terkepal.

Elang bangkit dan kembali duduk di sofa, mengusap sudut bibirnya yang sobek dengan wajah datar. Tatapannya tertuju ke arah Lusi lagi. "Hanya sampai anak itu lahir." Lelaki itu menatap satu per satu orang yang ada di tempat itu, sebelum kembali menatap Lusi. "Saya akan menikahi Lusi, dan akan menceraikannya saat anak itu sudah lahir."

Lusi spontan mendongak karena tidak menyangka. Tidak beda jauh dengan semua orang.

"Maksud kamu apa, Elang?" Ibu Elang menyentuh lengan anaknya. "Jangan mempermainkan–"

"Memangnya dia mau hidup selamanya dengan saya?" Elang masih tak mengalihkan pandangan dari Lusi hingga mata mereka saling bersirobok. "Lo mau jadi istri gue selamanya, Andalusia?"

Lusi meremas perutnya yang sedikit kram. Ia merasa takut, cemas dan segalanya. Apalagi ketika tatapan semua orang kini berpusat padanya.

"Biarkan kami menikah, dan anak itu punya akte. Setelah itu saya akan menceraikan dia, dan kalian bisa memenjarakan saya. Kalian bisa bikin surat perjanjian kalau takut saya ingkar janji."

Lagi, ruangan itu hening. Ada banyak pertimbangan yang mememuni kepala mereka, termasuk Panji yang tadi menolak mentah-mentah permintaan ibunya Elang. Tetapi saat kata 'akte' terucap dari bibir Elang, mereka menjadi berpikir ulang.

"Lusi." Om Angkasa menoleh ke arah Lusi yang duduk di sebelahnya. "Lusi maunya bagaimana?"

Lusi tidak tahu. Ia memang sudah stabil dan tidak sehisteris kemarin. Namun ... ditanya seperti itu, ia tidak tahu harus menjawab apa. Ia terlalu takut, membuat keputusan yang salah.

***

Jadi gimana?

Magelang, 26 November 2021

Direpost 25 September 2023

Broken Down (REPOST)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang