15. Lebih Berani

2.7K 468 14
                                    

15. Lebih Berani

Lusi tidak tahu, kenapa ia menjadi seperti ini. Tidak bisa berhenti memikirkan cerita Tante Vera sejak hari itu. Bahkan ketika akan dan bangun tidur, ia masih memikirkannya. Tidak. Lusi bukannya tertarik. Ia hanya masih tidak percaya bahwa seseorang yang kasar dan tampak tidak punya belas kasihan, ternyata memiliki masa lalu yang begitu mengerikan. Dan sisi hatinya yang lain mulai agak mewajarkan sikap anti-simpati yang dimiliki lelaki itu. Tapi ... apakah lantas ia bisa memaafkan perbuatan Elang yang menghancurkan masa remajanya ini? Entahlah. Ia juga bingung.

Mengedipkan mata, Lusi mengusap lembut perutnya yang mulai menonjol. Kandungannya sudah berumur delapan belas minggu. Tentu saja sudah mulai kelihatan. Dan jujur, membuatnya kebingungan bagaimana cara agar teman-teman kampus tidak menyadari. Setiap detiknya ia selalu was-was dan takut. Rasanya belum siap jika rahasianya terbongkar dengan cepat. Tapi ia harus bagaimana? 

"Dedek Lusi kenapa diem?"

Lusi yang masih mengusap perut, menoleh ke arah Edwin yang barusan bertanya. Lalu pandangannya beralih ke arah Zuco, juga Irene yang meninggalkan sejenak perdebatan dengan Jefri demi menatapnya.

"Ada masalah, Lus?" Tatapan Irene turun ke bawah. "Perut lo sakit?"

Mengerjap, Lusi menggeleng. "Nggak apa-apa."

"Dedek," Edwin menyerongkan kursinya untuk menatap Lusi. "Kalau sakit, bilang, ya. Jangan disembunyiin. Kakak Edwin bakal siap sedia jadi bodyguard Dedek Lusi."

"Gue juga." Zuco menyengir.

Mendengar itu, Lusi tersenyum kecil. "Terima kasih."

"Jangan terima kasih." Zuco menepuk pundak Lusi. "Udah kewajiban kita."

"Harusnya sih kewajiban Kak Jef."

Gumaman Irene membuat semua menoleh. Jefri yang disebut, mengusap tengkuk sambil menatap Lusi dengan penuh rasa bersalah.

"Iya, Lus. Lo bilang sama gue kalau butuh apa-apa."

Tatapan Lusi berubah datar. "Nggak perlu."

Terdengar helaan napas berat dari Jefri, tapi Lusi mencoba untuk tidak peduli. Bukannya dendam, hanya saja ia masih tidak bisa bersikap biasa saja kepada Jefri, seperti yang ia lakukan untuk Edwin dan Zuco. Dan kepada Elang, ia juga tidak bisa. Karena ketakutan kepada laki-laki itu begitu mendominasi.

"Sebenarnya kalian tuh kenapa sih tiap gue sama Lusi ke kantin, hobinya ngintilin mulu?" Irene melanjutkan perdebatan yang terjeda tadi. "Gue males, kali, jadi pusat perhatian. Lusi juga, tuh."

Lusi hanya meringis, sambil memakan bubur ayam yang tadi dipesannya. Ya, saat ini mereka memang sedang di kantin fakultasnya. Ketiga laki-laki itu tiba-tiba datang dan bergabung dengannya dan Irene. Mereka tidak bisa mengusir, karena akan gagal seperti yang sudah-sudah. Walaupun sejujurnya Lusi merasa risih, karena mau tidak mau, ia dan Irene tiba-tiba selalu jadi pusat perhatian. Banyak yang membicarakan mereka, baik di belakang maupun terang-terangan. Ia tidak nyaman.

"Udah dibilang, kita tuh mau jadi bodyguard Dedek Lusi." Edwin menimpali. "Dan nggak ada bantahan. Percuma lo nolak, Ren, karena lo bakal berhadapan sama Elang kalau ngusir kita. Mau, lo, diapa-apain Elang?"

"Win!" Jefri menyela, ketika mendengar kalimat terakhir Edwin.

"Apaan? Kan emang bener. Elang bakal murka lho, Ren, kalau lo nolak perlindungan kita-kita buat Lusi."

"Dih dikiranya gue takut, gitu?" Irene mendengus, lalu berkata sepelan mungkin, "Sejak dia hancurin sahabat gue, dia nggak lebih dari seonggok sampah di mata gue."

Lusi mengatupkan bibir. Tidak ada yang bisa ia katakan perihal kebencian Irene kepada Elang. Karena ia juga merasakan hal yang sama kepada laki-laki itu.

"Bangsat lo!"

Seruan itu membuat Lusi menoleh. Dan ketika belum sadar apa yang terjadi, tubuhnya sudah ditarik menghindari seseorang yang tiba-tiba tersungkur hampir mengenainya. Satu orang lagi yang tak ia kenal, merenggut kerah orang yang terjatuh tepat di sebelah kakinya itu.

"Lusi nggak apa-apa?"

Lusi mengerjapkan mata, tersadar dari keterkejutan. Ia menatap Edwin yang tadi berhasil menghindarkannya dari tubrukan orang tadi. Dahinya mengernyit saat merasakan kram di perut. Spontan, ia mengusap perutnya itu sambil menggigit bibir.

"Lus, nggak apa-apa? Perutnya kenapa?"

Lusi mendongak, lalu menggeleng. "Cuma k—"

Ucapan Lusi menggantung, karena tiba-tiba saja dua orang yang sedang berkelahi tadi tersungkur jauh darinya. Dan matanya membelalak, melihat sosok yang berdiri menjulang di dekatnya. Elang—orang yang barusan menghajar dua orang tadi hingga terpelanting.

Ia membeku ketika Elang menoleh, hingga tatapan mereka bertemu. Ada api yang membara di mata laki-laki itu, dan Lusi merasakan getar pada jemarinya yang masih memegang perut, tatkala tatapan laki-laki itu turun.

"Lang." Zuco menahan lengan Elang ketika laki-laki itu ingin menghampiri dua orang yang terlihat takut oleh kedatangan cucu pemilik kampus ini. "Lo boleh hajar mereka, tapi jangan di depan Lusi dan dia. Ingat komitmen lo."

Lusi menoleh ketika namanya disebut dengan pelan sekali hingga tak banyak yang bisa mendengar. Dan ... 'dia'? 'Dia' siapa yang Zuco maksud? Bayinya?

"Sialan."

Ia mendengar Elang berdesis, sebelum laki-laki itu kembali menatapnya lalu turun ke perutnya. Ada yang aneh dari cara Elang menatap, membuat Lusi spontan memeluk perutnya itu seakan melindungi. Dan laki-laki itu membuang muka dengan rahang mengatup.

"Lo dan lo," Elang menunjuk dua orang itu. "Berani ribut di area kampus lagi, habis lo!" Lalu tatapannya menoleh ke sekeliling. "Berlaku buat kalian semua."

"Ayo, Lus." Irene menarik lengan Lusi. "Pergi aja."

Lusi mengangguk, bahkan tanpa menatap Elang lagi, ia bangkit dan berjalan bersama Irene. Tapi tak lama kemudian, keempat laki-laki itu menyusul dengan sedikit jarak di belakangnya.

"Ternyata dia masih seserem itu."

Lusi hanya meringis ketika Irene berbisik di telinganya.

"Eh, tapi lo beneran nggak apa-apa, Lus? Hampir aja tadi ketubruk orang itu, kan?" Irene menatapnya khawatir. "Perut lo gimana? Ada yang sakit?"

"Cuma kram." Lusi tersenyum setengah. "Karena kaget, kayaknya."

"Dedek Lusi, kita ke klinik aja, yuk."

Lusi menoleh ketika Edwin ternyata sudah tepat di belakangnya. Ia menggeleng. "Saya nggak apa-apa."

"Tapi—"

"Jangan bantah."

Ucapan dingin itu berasal dari Elang yang kini sudah menyusul di sebelah Edwin. Laki-laki itu menatapnya tajam.

"Ayo."

Lusi menunduk, sebelum memberanikan diri membalas tatapan Elang. Kedua tangannya terkepal.

"Saya nggak apa-apa, cuma kram." Suaranya bergetar, karena untuk pertama kalinya berani berbicara panjang kepada laki-laki. "Mau pulang aja, boleh?"

Untuk sesaat, hening menguasai mereka. Tatapan Elang melekat kepada gadis yang berstatus sebagai istrinya itu, sebelum ia membuang muka. Namun langkah kaki laki-laki itu yang berbelok menuju parkiran, membuat Lusi menyimpulkan jawaban 'iya' yang tersirat. Lusi menghela napas lega.

"Hebat, Lus. Pertahankan."

Lusi hanya meringis mendengar celetukan Zuco.

***

Nah, Lusi mulai berani tuh 🤭

Magelang, 6 Desember 2021

Direpost 23 Oktober 2023

Broken Down (REPOST)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang