36. Suapan

2.1K 425 23
                                    


36. Suapan

"Bikin sarapan apa, Sayang?"

Lusi yang sedang memotong sosis, menoleh ke arah pintu dapur. "Roti isi sama omelet, Bun. Lala semalam minta dibikinin ini."

Bunda mengangguk. "Bekalnya?"

"Lala minta bento." Lusi sedikit tertawa, membuat Bunda ikut tertular.

"Ya udah, Bunda bantu apa ini?"

"Mm ... ini aku lagi mau goreng omelet-nya."

"Mana, Bunda aja. Kamu bikin rotinya."

"Iya, Bun."

Menatap punggung Bunda untuk sesaat, Lusi tersenyum kecil. Ia bersyukur memiliki wanita ini dalam hidupnya. Beliau sudah selayaknya pengganti Mama, bahkan meski ia sudah bukan lagi menantunya. Hubungan mereka memang jauh lebih dekat, karena lima tahun ini ia tetap tinggal di rumah ini. Menemani Bunda yang tak pernah berniat mencari pengganti ayahnya Elang. Bukan karena belum merelakan, tapi Bunda hanya ingin menikmati masa tuanya bersama anak dan cucunya saja.

"Aku bangunin Lala dulu, ya, Bun."

"Iya. Itu ayahnya belum keluar, pasti ikut tidur lagi."

Lusi tertawa kecil sambil berjalan keluar dari dapur. Setelah membuka pintu kamar yang sejak dulu ia tempati dan kini jadi kamar tidurnya bersama Lala, Lusi membenarkan ucapan Bunda. Elang memang tidur lagi, masih memakai sarung dan baju koko yang dikenakan saat salat Subuh tadi. Dengan satu lengan jadi bantal Lala, dan satu lengan lainnya memeluk badan putrinya. Lala sendiri melingkari leher ayahnya erat sekali.

Melihatnya, Lusi menggeleng sambil tersenyum geli. Ia melangkah ke jendela di atas sofa, dan membuka gordennya yang masih tertutup. Cahaya matahari menelusup masuk. Setelahnya, Lusi mendekati ranjang dan duduk di tepi.

"Lala," panggilnya lembut sembari mengusap kepala gadis cilik itu. "Bangun, yuk, Sayang."

Namun tidak ada pergerakan, baik si putri maupun ayahnya. Lusi menghela napas, membungkuk untuk menciumi pipi Lala dari belakang.

"Udah pagi, Sayang. Bangun, yuk?"

Lala hanya menggeliat, makin erat memeluk leher ayahnya. Dan Elang membalas hal yang sama. Lusi terkekeh. Hampir sebulan bertemu langsung dengan Elang, Lala benar-benar dekat dengan ayahnya. Menempel dan tidak tahan untuk jauh-jauh. Bahkan seperti tak masalah bermalam-malam tidak tidur bersama bundanya. Karena Lusi mengungsi di bekas kamar Elang dulu. Namun Lusi tidak merasa cemburu, karena ia paham perasaan putrinya.

"Sevilla, Sayang." Lusi beralih mencium pundak Lala. "Bangun, yuk. Udah siang, lho. Nanti telat ke sekolahnya."

Kali ini ada respons. Namun itu dari Elang, yang perlahan menggerakkan kelopak matanya. Laki-laki itu memicing, kemudian mengedip berulang-ulang. Setelah mereka bertatapan, barulah Elang menyunggingkan senyum tipis.

"Pagi, Bunda."

Lusi merengut, meski pipinya terasa memanas. Mantan suaminya ini benar-benar! "Ini udah hampir siang."

"Oh ya?" Elang menutup mulutnya yang menguap, kemudian tersenyum lebar menatap Lala. Satu kecupan disematkan di pipi putrinya sebelum beralih ke Lusi lagi. "Tadi niatnya mau liatin Lala, malah ketiduran."

Lusi berdecak geli. "Lala-nya dibangunin, Kak. Nanti telat ke sekolahnya."

Elang mengerutkan kening. "Kasihan, masih nyenyak."

"Kakak."

Elang menghela napas, kemudian melepas pelukan kepada sang putri. Laki-laki itu bangkit duduk, tapi tetap menundukkan badan untuk menciumi seluruh wajah Lala. Ajaibnya, gadis cilik itu langsung bangun.

"Ayaah."

"Iya, Sayang." Elang mencium ujung hidung Lala. "Bangun, yuk. Nanti diomelin Bunda."

Lusi merengut ketika Elang meliriknya jenaka. Sementara Lala memeluk leher Elang ketika sang ayah mengangkat badan dan memangkunya.

"Bunda nggak pernah ngomel, Ayah."

Jawaban Lala membuat Elang terkekeh, sementara Lusi tersenyum tipis. "Oh iya, Bunda itu paling baik sedunia, ya?"

"Iya. Baiiik banget." Lala mencium pipi ayahnya. "Lala sayang Bunda."

"Sayang Bunda, kok yang dicium Ayah?"

Lala langsung menoleh begitu Lusi berbicara begitu. Gadis itu menyengir. Masih bertahan di pangkuan Elang, Lala mencondongkan tubuh untuk mencium pipi Lusi. "Pagi, Bunda."

"Pagi, Sayang." Lusi balas mencium keningnya. "Mandi, yuk, siap-siap. Nanti telat ke sekolahnya."

Lala mengangguk. "Bunda nggak lupa sama bento, kan?"

"Enggak, Bunda baru mau bikin."

"Roti isi sama omelet?"

"Udah jadi."

"Yeaay!" Lala tersenyum lebar. "Makasih, Bunda."

"Sama-sama. Sekarang, ayo mandi."

"Sama Ayah aja." Elang menginterupsi sambil menatap Lusi. "Kamu lanjut masak."

"Nggak apa-apa?"

"Sangat nggak apa-apa."

"Tapi,"

"Lala mau dibantu mandi sama Ayah, Nda. Lala kan belum pernah. Ya, Nda?"

Mendengarnya, baik Lusi maupun Elang tertegun. Lusi tersenyum. "Oke."

Lagipula Lala hanya dibantu saja. Anak itu sudah bisa menyabuni badannya sendiri. Jadi sepertinya tidak masalah.

Setelahnya, Lusi keluar dan membiarkan Elang membantu Lala bersiap-siap. Ia kembali ke dapur untuk memasak bersama Bunda. Sembari melakukan itu, mereka berdua saling senyum mendengar tawa sepasang ayah dan anak itu.

Ketika semua makanan sudah siap, barulah Lala keluar bersama Elang. Gadis cilik itu sudah mengenakan seragam TK-nya, lengkap dengan kaus kaki. Tas dan sepatunya dibawa oleh Elang. Hanya saja, rambut sepunggung yang keritingnya menurun dari Lusi itu, masih tergerai.

"Pagi, Uti."

Bunda mendekat dan mencium kening Lala. "Pagi, Cantik. Ini kenapa rambutnya masih gini?"

"Ayah nggak bisa kuncirnya, Uti. Tadi udah dicoba tapi jadinya miring-miring." Lala terkikik sementara Elang menyengir.

Lusi tertawa kecil. "Ya udah, sini sama Bunda."

Setelah Lala duduk di pangkuannya, Lusi langsung menyisir rambut gadis itu. "Mau dikuncir apa?"

"Kuncir jala, Bunda. Yang atasnya dikuncir terus bawahnya kuncir lagi. Lala janjian sama Lav kemarin."

"Siap, Tuan Putri."

Lala terkikik mendengar panggilan dari Lusi. Lusi segera melakukan sesuai mau Lala. Ngomong-ngomong, Lav atau Lavender adalah teman Lala di sekolah. Gadis itu merupakan putri Lili dan Tomi. Ada satu lagi teman dekat Lala, yaitu Ren. Namun anak laki-laki itu sudah duduk di kelas satu SD. Ren sendiri merupakan adik Lili sekaligus anak dari psikiater Lusi, Dokter Fira.

"Sambil makan, ya." Elang duduk di depan Lusi sambil membawa piring berisi beberapa tangkup roti isi. "Sini, Ayah suapin."

Lala dengan senang hati menerimanya. Gadis itu makan dengan lahap, sambil sesekali bercerita tentang banyak hal. Tentang tugas sekolah, guru-guru, atau film favoritnya. Cerita yang sebenarnya diulang-ulang tapi tak pernah membuat bosan untuk mendengarnya lagi.

"Ayah, Bunda nggak disuapin juga?"

Pertanyaan polos Lala membuat Lusi mengerjapkan mata. Sementara Elang berdeham. Spontan mereka bertatapan. Pipi Lusi menghangat.

"Ayah?"

"Oh ... iya." Elang mengambil setangkup dan mengarahkan ke mulut Lusi. Laki-laki itu tersenyum tipis. "Ayo, Bunda."

Dengan pipi makin memanas, Lusi menerima suapan itu. Degup jantungnya sedikit di atas normal. Ia merasa gugup.

***

Cieeee disuapin wkwkwk

Magelang, 23 Januari 2022

Direpost 25 April 2024

Broken Down (REPOST)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang