18. Nggak Apa-apa

2.5K 455 9
                                    


Selamat membaca 🥰

18. Nggak Apa-apa

Mata itu terbuka, lalu nyalang ia menatap langit-langit di keremangan cahaya. Napasnya memburu, dan ia butuh untuk duduk, lalu memukul-mukul dada hingga sesak itu hilang. Elang, laki-laki itu meremas selimut yang menutupi kaki. Matanya memejam sesaat, untuk mengurangi beban emosi yang tadi menggumuli ruang hatinya berkat mimpi buruk itu.

Ketika tak sengaja menoleh ke sebuah foto berbingkai di atas nakas, tatapannya melembut. Itu foto Dara, adiknya yang telah pergi dan menyisakan segenap rasa sesal yang tak pernah sedikit pun hilang dari kehidupannya. Sesal yang berubah jadi mimpi buruk penghias tidurnya sepanjang malam. Selama bertahun-tahun, setidaknya sampai mimpi lain datang dan menggantikan. Mimpi tentang ... kebejatannya kepada Lusi.

Elang turun dari tempat tidurnya, lalu beranjak keluar. Menuruni tangga dari lantai dua, lalu berhenti di sebuah kamar di lantai satu. Kamar yang tiap malam ia sambangi, hanya untuk menyempurnakan sesak yang memenuhi dadanya. Seperti saat ini, di mana ia duduk bersandar di pintu tertutup itu, dengan satu kaki lurus ke depan dan kaki lainnya tertekuk.

Suara rintihan dan isakan tertahan dari dalam sana, memenuhi pendengaran Elang, seperti biasa. Laki-laki itu memejamkan mata rapat-rapat, menikmati rasa perih yang kini tumpang tindih menjejali seluruh sudut hatinya. Selalu seperti ini. Sakit, namun Elang yang memilih untuk rutin mendengarkannya. Karena ini adalah secuil dari caranya menghukum diri.

"Andalusia." Elang membisikkan nama itu, masih dengan mata terpejam rapat.

Elang tidak ingat, sejak kapan ia jadi terbiasa menyebut nama gadis itu diam-diam. Mungkin sejak ia 'menemani' gadis itu melewati mimpi buruk? Atau sejak ia tiba-tiba merasa khawatir dengan intensitas yang makin tinggi setiap harinya? Atau sejak ia mengakui timbulnya iri, setiap melihat Lusi bisa berinteraksi santai dengan Edwin dan Zuco? Atau justru ... saat diam-diam hatinya menghangat ketika pertama kali Lusi memberanikan diri memanggilnya 'Kakak'?

Entahlah. Elang tidak tahu persis. Hanya saja, nama Lusi kini seolah mulai mencandui hatinya. Ia juga tidak paham sebagai bentuk penyesalan, atau memang rasa tertarik? Tiba-tiba saja semua tumbuh tanpa dicegah, rasa obsesif yang harus ia tekan dalam-dalam agar tak diketahui siapa pun. Karena bagaimanapun isi hatinya, di babak akhir, ia tetap harus melepaskan gadis itu. Sesuai perjanjian.

***

Musim penghujan memang sudah datang. Tiada hari tanpa langit meneteskan jutaan butir air ke bumi. Seperti pagi ini, di mana Lusi dan Elang akan berangkat kuliah.

"Lusi, jaketnya dipakai, Sayang. Terus itu botol minumannya jangan lupa taruh tas, ya. Itu tahan anget sampai nanti siang."

Lusi yang baru selesai meneguk susunya, mengangguk. "Terima kasih, Bunda."

"Sama-sama, Sayang." Lalu Tante Vera menoleh ke arah Elang yang sedang menyeruput kopinya. "Elang, ambil payung, ya. Biar kalian nggak basah ke mobilnya."

Lusi bisa melihat senyum lebar Tante Vera saat Elang menurut meski tanpa melirik atau berbicara sepatah kata pun. Pasti ibu mertuanya itu bahagia, merasakan perubahan anaknya itu.

Ya, Elang memang mulai berubah. Laki-laki itu mau memakan masakan ibunya saat sarapan maupun makan malam. Bahkan kini jarang pergi sampai larut malam, karena lebih sering berkumpul dengan ketiga temannya di rumah ini. Pun, Elang juga kini jarang berkata tajam kepada Tante Vera meski tidak banyak bicara juga. Tapi perubahannya sangat terlihat.

"Ayo."

Lusi mengangguk. Ia ingin mencangklong tasnya, tapi tiba-tiba Elang sudah merebut benda itu. Lusi mengerjap, namun Elang membuang muka.

"Buruan."

Lusi buru-buru mencium punggung tangan Tante Vera yang sedari tadi mengulum senyum, lalu menyusul Elang yang sudah berjalan keluar tanpa berpamitan kepada ibunya. Yeah, itu yang tidak berubah dari Elang.

Sampai di beranda, Lusi menunggu Elang yang sedang membuka satu dari dua payung yang diambil laki-laki itu dari gudang, sementara satu lainnya sudah terbuka. Keningnya berkerut saat payung itu tak juga terbuka. Raut wajah Elang kelihatan mulai jengkel, tapi tidak menyerah. Dan entah di percobaan ke berapa, benda itu akhirnya terbuka. Namun dalam posisi terbalik ke atas, alias rusak. Tiba-tiba Lusi ingin menyengir karena merasa lucu.

"Sialan, berengsek!"

Lusi spontan mendekap perutnya begitu Elang mengumpat. Ia menunduk saat laki-laki meliriknya.

Elang berdeham sambil menatap perutnya, lalu bergumam, "Sorry."

Lusi mengerjap, lalu mengangguk pelan.

"Lho, kok belum berangkat?"

Lusi menoleh ketika Tante Vera muncul dari dalam. "Payungnya rusak, Bunda."

Mulut Tante Vera membulat. "Yah, di rumah cuma ada dua payung itu."

Lusi kembali mengerjapkan mata. Ia melirik Elang yang terdiam sebentar, sebelum menatapnya dan mengisyaratkan agar berjalan keluar.

"T-tapi ...,"

"Keburu telat!" tukas Elang yang mengangsurkan tas Lusi kepada pemiliknya.

Lusi menerima dan mendekap tas itu sambilmenggigit bibir. Ia mengangguk pelan kepada Tante Vera, sebelum melangkah keluar. Dan seperti malam itu ketika keluar dari panti, Elang merelakan tubuhnya basah kuyup. Itu membuat Lusi menghentikan langkah.

"Apa?!" Elang mendelik.

Lusi menggigit bibir. "Kakak ... payungan."

Kedua alis Elang mengerut. "Jangan aneh-aneh. Jalan."

Lusi tetap diam. "Nggak apa-apa."

"Buru!" sentak Elang.

"Kakak payungan." Kali ini, Lusi mengatakannya dengan lancar.

Sebelah alis Elang terangkat. Wajah laki-laki itu sudah basah oleh air hujan. "Berani bantah?"

Lusi tetap diam sambil mendekap tas yang memang tak ia cangklong. Elang berdecak keras namun pada akhirnya tetap bergabung dengan Lusi di bawah payung yang sama.

"Puas?"

Lusi menahan untuk tidak tersenyum. Entahlah, meski langka, namun hatinya menghangat tiap kali Elang menurut kepadanya.

Ketika sampai mobil, Elang menunggunya masuk ke bangku belakang dengan nyaman, sebelum laki-laki itu berlari menuju bangku kemudi. Dan Lusi mengernyit saat Elang melepas jaket.

"Basah!" seru Elang, padahal Lusi tidak mengatakan apa-apa.

Lusi menggeleng kecil sambil membuang muka ke luar jendela. Aroma parfum dari jaket yang Elang sampirkan di sandaran bangku di depannya, memenuhi indera penciuman Lusi. Dan gadis itu tak terganggu sama sekali.

Karena entah kenapa, sejak genggaman yang tak sengaja hari itu, Lusi merasa bahwa berdekatan dengan Elang tidak semenakutkan itu.

***

Magelang, 12 Desember 2021

Direpost 04 November 2023

Broken Down (REPOST)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang