20. Sayang?
Mungkin tadi Lusi begitu emosi dan dengan mudah meluapkan kekesalannya kepada laki-laki itu. Namun sekarang, ia merasa telah bersalah, karena memang tidak ada niatan mengabari Elang. Apalagi ketika Irene menelepon, menanyakan keadaannya dengan khawatir, kemudian menceritakan tentang kejadian tadi di mana ia menghilang.
Saat itu Irene yang khawatir karena ia tidak kembali, mencarinya ke toilet, lalu ke seluruh sudut gedung fakultas mereka. Tak juga menemukan Lusi, Irene akhirnya menghubungi Edwin untuk bertanya apa Lusi bersama Elang. Dan saat itulah Elang dan semua temannya panik karena Lusi menghilang. Mereka mencari ke berbagai tempat, mulai dari rumah Elang, ke toko bunga Tante Vera, dan terakhir ke panti.
Di panti, Irene bisa melihat Elang dimaki-maki oleh Ela karena tidak becus menjaga Lusi, namun laki-laki itu tidak menggubris sama sekali. Sebuah kelangkaan karena biasanya Elang akan langsung emosi jika ada yang berani kepadanya. Tapi saat itu Elang hanya membalas dengan satu pertanyaan, di mana kemungkinan terbesar Lusi pergi. Dan Ela mengatakan, di makam kedua orang tuanya. Dari situlah, akhirnya laki-laki itu datang.
"Gue nggak minta banyak karena tahu posisi gue di hidup lo itu sebagai apa. Gue nggak minta lo ajak ngobrol atau haha hihi kayak yang dengan gampangnya lo lakuin ke Edwin atau Zuco. Karena gue tahu lo nggak akan pernah lihat gue bahkan cuma sebagai manusia rendahan sekalipun."
Kalimat Elang terus terngiang di pikiran Lusi, bahkan hingga larut malam seperti ini. Yang makin menambah rasa tidak nyaman Lusi. Ya, ia tidak akan pernah melupakan jika laki-laki itu adalah orang yang telah menghancurkan kehidupannya. Ia juga memang tidak bisa berinteraksi dengan Elang, seperti halnya ia dengan Edwin atau Zuco. Tetapi kalimat laki-laki itu tadi mengusik hatinya. Apa ... ia memang sekejam itu? Menganggap Elang bahkan lebih rendah dari manusia rendahan sekalipun?
Suara dering singkat membuyarkan lamunannya. Pesan masuk, dari Ela.
emg cari mati tu monster lus. dia datengin om panji di kafe trs ngaku klo dia bkin lo nangis. ya udah om panji hajar dia. sarap tu cowok
Lusi termenung menatap deretan pesan itu. Ia menggigit bibir. Rasa tidak nyaman makin jelas menyelubungi hatinya. Pandangannya beralih ke arah layar tablet yang menampilkan gambar buatannya. Masih setengah selesai, padahal besok lusa harus segera ia kirimkan ke penerbit tempatnya bekerja. Membiarkan benda itu tetap menyala dan tergeletak di atas meja, sementara ia sendiri menghela napas sambil bangkit. Ia butuh tidur. Hari ini rasanya sangat melelahkan.
***
Lewat tengah malam, kendaraan itu baru kembali ke rumah. Hal yang belakangan jarang Elang lakukan sejak Lusi tinggal bersamanya. Namun sekarang, untuk hari ini saja, ia memang harus pulang terlambat. Setidaknya saat gadis itu sudah tertidur.
Setelah memasukkan mobil ke garasi, Elang masuk ke bagian dalam rumah. Bukan hal yang sulit, karena ia memang selalu membawa kunci cadangan. Dan ia tidak langsung naik ke lantai dua tempat kamarnya berada, namun belok ke kamar mandi belakang untuk cuci tangan dan muka.
"Sialan." Elang berdesis, lalu menekan lidah di bagian dalam pipi saat melihat lebam di bawah mata, juga robek di bibir.
Ah, ia memang tidak meragukan kemampuan memukul salah satu abang angkat Lusi itu. Bahkan tanpa memberi kesempatan sang lawan untuk bernapas, laki-laki itu akan membombardir dengan serangan berulang. Jefri bilang Elang sudah gila karena mencari mati dengan menyerahkan diri kepada seorang Panji. Ya, ia memang gila. Tapi ... itu sepadan dengan kesalahannya hari ini. Ia harus mencari seseorang yang punya kemampuan melebihi dirinya untuk menghukum.
Berdiri di depan kamar Lusi, Elang menipiskan bibir. Matanya berkedip pelan, memandangi kenop pintu itu. Dilema, mempertimbangkan keinginan hati. Namun pada akhirnya, ia menyentuh gagang pintu, memutar dan sedikit terkejut karena ternyata tak terkunci. Tanpa pikir panjang ia masuk, dengan langkah sangat pelan.
Ia membiarkan pintu setengah terbuka, lalu masuk lebih dalam. Dan tubuhnya membeku, begitu melihat sosok yang terbaring di atas ranjang. Selimut menutupi kaki hingga pinggang. Sepasang mata yang selalu memancarkan tatapan datar bercampur sendu itu, terpejam erat. Kaki Elang bergerak sendiri, mendekat ke sisi kiri ranjang, lalu berjongkok di sana.
Mata Elang berkedip pelan sekali, tercenung begitu menangkap sesuatu di tangan Lusi yang terlipat di atas perut. Selembar foto, yang langsung ia ambil. Ia pandangi lamat-lamat foto itu—sepasang suami istri dan anak kecil berumur sekitar lima tahun. Anak perempuan, yang terlihat menggemaskan dengan pipi tembam dan gigi ompong yang menyengir lebar. Tanpa bisa dicegah, sudut bibir Elang tertarik ke atas, ketika ibu jarinya mengusap wajah anak itu.
Pandangan Elang beralih ke arah wajah Lusi. Elang menggigit bibir, mengamatinya dalam diam. Kulit putih pucat itu memerah, terlihat sembap seperti sore tadi. Lamat-lamat Elang berpikir, berapa lama Lusi menangis setelah ia antar pulang? Berjam-jam?
"Ma ...,"
Elang mengerjap. Tatapannya tertuju ke arah bibir tipis yang merintih itu.
"Mama ...,"
Lagi. Dan Elang merasakan ada gumpalan memenuhi tenggorokan.
"Papa ... Ma,"
Tangan Elang terkepal. Di sudut mata Lusi, terlihat sebutir air mata lolos. Napas laki-laki itu tertahan.
"Maaa!"
Elang sontak meninggikan badan dan mendekatkan wajah. Tangan terkepalnya terangkat ragu. Pelan, ia menyentuhkan ibu jarinya dengan hati-hati. Pada sudut mata itu, menghapus bulir beningnya. Kulit gadis itu terasa dingin namun menyengat. Seperti aliran listrik yang merambat hingga ubun-ubun.
"Ssst." Elang berdesis, memindahkan ibu jarinya ke kening Lusi, memutar di sana, berusaha memudarkan kerut.
Entah berapa menit Elang melakukan itu, hingga akhirnya Lusi benar-benar berhenti merintih. Helaan napas lega Elang keluarkan. Ia menarik selimut, menutupkan kain itu hingga leher Lusi. Tanpa bisa dicegah, ibu jarinya kembali menyentuh pipi Lusi. Mengusapnya samar dan begitu hati-hati.
"Maaf." Elang berbisik lirih, mengamati gadis yang kini mulai terlelap damai itu.
Setelahnya, Elang bangkit. Ia meletakkan foto Lusi kecil beserta orang tuanya itu ke atas nakas, lalu berbalik. Dan saat itulah matanya menangkap kedipan lampu, dari sebuah tablet yang tergeletak di atas meja. Entah kenapa ia menuruti rasa penasaran, sehingga mendekat dan meraihnya.
Matanya mengerjap, karena tablet itu bisa dibuka tanpa kunci layar. Dan yang agak membuatnya terkejut, adalah layar yang tidak menampilkan home namun sebuah gambar sketsa perempuan.
lusi, jangan lupa deadline cover buat besok lusa, sayang
Itu adalah surel yang Elang baca melalui notifikasi pop up. Kedua alisnya menukik tajam. Jadi ... Lusi bekerja sebagai seorang pembuat cover? Dan ... apa barusan? Sayang?
Elang menoleh ke arah Lusi yang kini mengubah posisi menjadi miring. Bibirnya menipis. Siapa yang memanggil 'Sayang' kepada istrinya?
***
Mulai cemburu, Mas Elang? :v
Magelang, 17 Desember 2021
Direpost 16 November 2023
KAMU SEDANG MEMBACA
Broken Down (REPOST)
General Fiction#Miniseri 6 "Mengenalmu, adalah sebuah jalan untukku merasa utuh." (Erlangga Thariq) "Bertemu denganmu, adalah jalan yang tak pernah kuinginkan terjadi." (Andalusia) Lusi membenci laki-laki itu, sosok yang merusak dan menghancurkan masa depannya. Hi...