"Heh! Kadal mesir, ngapain lu gelantungan disitu?" teriak Disya disertai dengan tertawa kencang khas-nya.
"Bantuin gue, Woy! Gue mau nyolong nih mangga tapi gue nggak bisa turunnya! Mana banyak semut lagi, sial memang gue," gerutu Rio sambil menggaruk-garuk tangannya yang mulai memerah. Disya sebenarnya prihatin melihat betapa nelangsanya eskpresi Rio sekarang, tapi ditahan. Rasa kasihan dalam dirinya mulai muncul di relung hati Disya yang paling dalam. Tapi, berhubung rasa ngakak lebih mendominasi, Disya lebih memilih untuk ngakak lagi.
"Lagian lu ngapa sih pake acara nyolong segala! Holkay yang tidak mau rugi memang. Kena karma kan lu," cetus Disya memegangi perutnya yang mulai terasa keram karena kebanyakan ngakak.
"Ah lu, niat nolong nggak sih sebenernya? Bawain tangga kek, ntar balik sekolah gue anterin balik lah," tawar Rio. Seketika Disya berpikir keras, tawaran yang cukup menggiurkan. Tapi, ets, tambah seblak nggak masalah kali yak. Seketika, otak licik Disyapun mulai bekerja.
"Elah! Sekedar dianterin balik mah, gue juga banyak kali yang mau tebengin! Kecuali, kalo lu mau sekalian traktir gue seblak, bisa dipertimbangkan," celetuk Disya. Rio cengo. Nih anak memang di kasih hati minta paru-paru. Tapi berhubung Rio sudah tidak tahan dengan ulah semut di pohon mangga tersebut, ia pun mengiyakan dengan malas.
"Iye, iye. Buruan sih! Gue udah nggak tahan ini," kesal Rio karena melihat Disya masih diam di bawah dan menaruh telunjuk dibibirnya seolah sedang berpikir. Dan jangan lupakan dengan keningnya yang sesekali mengerut. Rio mulai was-was. Karena ia tahu betul, pikiran Disya sangat tidak tertebak. Saat-saat seperti ini, yang Rio khawatirkan ialah dompetnya. Sepertinya, dompetnya dalam keadaan bahaya sekarang.
"Tapi gue sekalian mau mie ayam, thai tea, batagor, coklat sama teh pucuk," cengir Disya dengan wajah tanpa dosanya. Rio pun mendesah berat. Asumsinya tidak pernah salah, memang Disya tidak ada akhlak.
"LU MAU NOLONG GUE APA MAU NGERAMPOK GUE SIH SEBENERNYA?" teriak Rio frustasi. Disya pun sok-sokan tersenyum devil.
"Gue nggak maksa sih, ya. Kalo lo nggak mau, yaudah gue cabut ke kelas duluan aja. Biar lo kena marah sama Bu Nurma yang lo tau sendiri kalo marah gimana. Bye!" lontar Disya sudah beracang-ancang untuk pergi, tetapi teriakan Rio mengurungkan niatnya untuk pura-pura kabur.
"IYE, IYE! BURUAN AH," jawab Rio pasrah. Sepertinya, untuk saat ini mengiyakan lebih baik ketimbang dirinya tetap setia namplok di atas pohon mangga. Kan nggak aesthethic kalo tiba-tiba ada fans nya yang lewat sini. Bisa-bisa hancur image Rio sebagai cowok terganteng disekolah. Huek.
"Oke, tungguin gue!" kata Disya lalu lari dengan wajah sumrigah. Rio menggeleng tak habis pikir melihat Disya yang gila makanan.
"Noh, tangganya. Cepetan, berat nih!" asong Disya pada Rio setengah tak niat.
"Yang bener, Panjul! Gimana caranya bisa gue turun kalo lu naro tuh tangga disitu," dengus Rio sebal. Disya cengengesan. Ia pun membenarkan letak tangga untuk memudahkan Rio untuk turun.
"Huft, akhirnya. Nggak mau lagi deh gue nyolong mangga disini. Gue curiga, kayaknya nih pohon udah diguna-guna sama Bah Yeye. Perasaan gue tiap naik turun pohon mangga, lancar-lancar aja tuh. Wah, nggak bener ini," gerutunya sembari melanjutkan kegiatan mengusap lengannya yang sudah agak tidak memerah.
Disya memutar bola mata malas. "Halah! Belum pro aja itu lu namanya. Pake segala berprasangka buruk ke Bah Yeye lagi. Lagian tuh galah dibawah meja nggak keliatan apa?" kata Disya. Disua heran, fungsi galah disimpan di bawah meja untuk apa selain untuk mengambil mangga di atas sana.
Rio cengo. Galah? Dimana galah? Matanya perlahan mulai menyapu seluruh penjuru dan seketika matanya membola. Tak lupa dengan mulutnya yang membuka dan sumber air di dalam mulutnya sudah bersiap diri untuk keluar. Ewh, isian perut Disya mendadak ingin keluar.
"LAH TUH ADA GALAH, DIS! LU GABUT BANGET KAYANYA SUSAH-SUSAH NAEKIN NIH POHON!" teriak Rio nggak ada akhlak. Disya menutup telinganya dengan malas. Lalu Rio pun mendekati galah itu dan memarahinya seolah galah itu akan mengerti Rio berbicara apa.
Disya menggeleng prihatin. "Cepet waras ya, Yo." lirih Disya sembari menghapus ujung air mata dengan jarinya yang padahal nggak ada airnya.
Dari pada menonton Rio yang begonya nggak ketulungan, Disyapun bergegas pergi meninggalkan Rio dengan sejuta kemarahan yang ia luapkan ke galah yang tidak berdosa itu. Miris sekali nasibnya. Tak lupa, sebelum pergi ia mengingatkan kembali janji Rio untuk membelikan seblak, mie ayam, coklat, thai tea, batagor dan teh pucuk untuknya.
Rio, begonya mengalir sampai jauh.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sahabatku, Suamiku [END]
HumorCover by: Pinterest. [Sebelum membaca, alangkah lebih indahnya kalau difollow dulu. Berteman itu indah, bro.] Berbicara tentang cinta, Disya sebenarnya nggak tau definisi cinta yang benar itu seperti apa. Disya nggak pernah jatuh cinta. Sekalinya ja...