26 : Terasa Sesak

9 1 0
                                    

Sehari setelah kemarin Disya pulang dari rumah sakit dengan berbagai macam tanda tanya di kepalanya, Disya kembali masuk sekolah seperti biasanya.

Namun, hal yang tidak biasanya ialah tidak adanya Gege di bangku sebelahnya. Biasanya, meskipun kadang ada atau tidaknya Gege serasa sama saja, karena meskipun ada, seringnya Gege hanya bermain HP untuk bucin bersama Devan. Tetapi, tetap saja bila bangku sebelahnya kosong terasa ada yang hilang.

"Nak-anak. Hari ini guru-guru ada rapat--"

"Yeaaaay!!" seruan murid-murid di kelas memotong pembicaraan Pak Endang, guru matematika peminatan di kelas Disya.

"Dengerin dulu! Tidak sopan memotong pembicaraan guru! Ingat, kalian sudah bukan anak SD lagi!" marah Pak Endang yang seketika membuat hening seisi kelas.

"Hari ini guru-guru ada rapat mengenai penyambutan kepala sekolah baru. Tapi kalian jangan khawatir, rapatnya hanya di jam pelajaran pertama hingga ke empat. Jadi, pelajaran akan di mulai sesudah istirahat pertama. Paham?" tanya Pak Endang.

"Paham, Pak," jawab murid-murid sedikit tenang.

"Bagus. Sebelum Bapak keluar, Bapak mau absen dulu. Apdal, hari ini siapa yang nggak masuk?" tanya Pak Endang pada Apdal sebagai ketua murid.

"Gilang, Pak. Sakit," jawab Apdal.

"Selain Gilang, ada lagi?" tanya Pak Endang.

"Gemintang, Pak!" kata Apdal lagi.

"Kenapa dia?" tanya Pak Endang.

"Izin, Pak. Mamanya sakit di rawat di rumah sakit," jawab Apdal yang membuat Disya yang sedang melamun menjadi menoleh.

Sebentar, Mama Gege sakit?

"Oke. Bapak keluar dulu, kalian jangan ribut, ya! Apdal, Bapak titip kelas ini sama kamu ya," pesan Pak Endang sebelum akhirnya meninggalkan kelas.

"Dal!" panggil Disya pada Apdal yang sedang bersiap menyambungkan Bluetooth HP-nya dengan speaker di kelas.

"Euy," jawab Apdal yang masih sibuk mengotak-atik speaker yang berada digenggamannya.

"Kurang ajar memang. Baru tadi Pak Endang keluar nitipin kelas sama lo. Tapi, sekarang lo malah mau nyambungin Bluetooth ke speaker," cibir Disya yang membuat Apdal meringis.

"Hehehe," cengirnya. "Lo manggil ada apaan? Kangen lu ya sama gue?" pede Apdal melanjutkan.

"Sembarangan! Sumur belakang sekolah gue sedot noh, kalo beneran gue kangen!" cemooh Disya.

Apdal melotot tak terima. "Yaudah, apaan?" tanyanya.

"Barusan lo bilang Gege nggak masuk karena Mamanya sakit masuk rumah sakit?" tanya Disya.

"Iyaa. Semalem Gege chat gue," katanya.

"Lo tau nggak dirawatnya di rumah sakit mana?" tanya Disya.

"Aduh, lupa gue. Memang kenapa, dah? Lo kan sahabatnya, kenapa malah lo nanya ke gue?" heran Apdal.

Disya mendengus kesal. "Ihhh. Intinya lo tau apa nggak?" tanya Disya dengan nada memaksa.

"Gue lupa namanya. Tapi, gue memang sempet nanya di rumah sakit mana. Barangkali kita sekelas bakal jenguk gitu. Tapi, dimana ya?" tanya Apdal pada dirinya sendiri.

"Dal, lo tadi bilang, Gege chat lo semalem. Berarti lo tinggal liat chat'-nya 'kan di HP lo?" kata Disya.

Seketika raut wajah Apdal cerah. Seolah mendapatkan jackpot di siang bolong.

"Pinter juga lu," pujinya. Disya yang mendengarnya memutar bola matanya malas.

Membuka aplikasi WhatsApp di HP-nya, Apdal bergumam sampai akhirnya jawaban tentang di mana letak rumah sakit Mama Gege di rawat, membuatnya terkejut.

"Nahh, di Rumah Sakit Pelita Harapan, Dis," ujar Apdal.

Rumah Sakit Pelita Harapan.

Nama rumah sakit yang kemarin dirinya dan Bagas datangi. Dimana Mama Bagas juga di rawat di sana. Mengapa lokasinya bisa sama?

Apakah ini suatu kebetulan?

Namun, jika ini suatu kebetulan, mengapa orang yang diajak masuk oleh Bagas pertama kali ialah Gege?

---

"Ayolah, Bang! Jemput gueee!" rengek Disya.

"Gue ada kumpul sama kating, Dek. Ini penting banget. Abang nggak bisa tinggalin," jawab Arkan

"Terus maksudnya gue nggak penting gitu?!" sungut Disya kesal.

"Bukan gituu, Dek. Untuk sekarang, minta anter temenmu atau naik ojek online dulu ya," saran Arkan menenangkan.

Disya berdecak sebal. "Hm, ye ye ye. Bye!" jawab Disya dengan nada mencibir mengakhiri telepon dirinya dengan Abangnya yang sangat tidak menyanyanyinya.

"Biasanya, kalo nggak ada yang anterin pulang kaya gini, gue sama Rio---eh Rio, dia kemana dah," cetus Disya berbicara sendiri.

Disya mengingat-ngingat kapan terakhir ia bertemu dengan Rio. Seketika, ia mengingat bahwa terakhir ia bertemu dengan Rio itu pada saat Rio menyaksikan dirinya dan Bagas sedang berpelukkan. Biasanya, Disya akan cepat-cepat menceritakan tentang apa pun itu pada Rio. Tapi, entah mengapa Rio terlihat seperti menjauhi dirinya.

"Eh, itu dia orangnya. Gue samperin aja kali ya," kata Disya melihat Rio sedang duduk di atas jok motornya sambil memainkan HP-nya.

"Yo!" panggil Disya.

Rio mengangkat kepalanya dari HP-nya itu. "Eh, lo Dis," jawabnya.

"Kemana aje luu, sombong ngamat," sindir Disya.

"Gue mah kaga kemana-mana perasaan. Lo kali yang ngilang," kilah Rio menanggapi sindiran Disya.

"Apaan, kaga jugaa!" sembur Disya. "Btw, anterin gue balik dong, Yo. Nebeng yak, hehe," cengirnya sambil menaiki jok belakang motor Rio.

"Eh-eh. Nggak bisa, Dis," tolak Rio cepat yang secara tidak langsung mengusir Disya untuk bangun kembali.

"Apa sih? Nggak bisa apaan? Biasanya juga gue langsung naik, dan berangkat 'kan?" gerutunya.

"Kali ini nggak bisa, gue ada janji ke---"

"Eh, ada Kak Disya juga ya? Kakak, Kak Disya 'kan?" ucap seseorang menghentikan perdebatan mereka.

"Hah? Oh, iya. Gue Disya, kenapa ya?" jawab Disya dengan masih setia duduk di belakang Rio.

"Kak Rio pulang sama Kak Disya?" tanyanya tanpa menghindarkan Disya.

"Nggak kok, Tha. Gue sama lo. Dis, sorry lo bisa turun? Gue udah ada janji sama Thalita soalnya," pinta Rio hati-hati.

"Oh, bentar. Sorry ya," kata Disya.

"Kak Rio kok gitu? Kak Rio nggak papa kok kalau mau anterin Kak Disya dulu. Nanti aku tunggu di sini, Kak," ujar Thalita yang membuat Rio dan Disya saling melirik.

"Eh, nggak usah. Gue bisa sendiri kok," tolak Disya.

"Nggak, Kak. Aku jadi nggak enak. Udah, mending Kak Rio anter dulu. Kak Rio juga pasti nggak apa-apa 'kan?" kata Thalita.

"Nggak usah-nggak usah. Kalian bisa lanjut pergi sekarang. Sorry ya, gue nggak tau soalnya," tutur Disya seraya berpamit meninggalkan Rio bersama dengan wanita yang tidak ia ketahui itu siapa.

Jika di lihat dari badge yang berada di sisi kanan seragamnya, sepertinya wanita itu adik kelasnya. Namun, Disya tetap tak mengenalnya meskipun wanita itu tahu akan nama dirinya.

Disyapun beranjak untuk berjalan singkat meninggalkan parkiran sekolah.

Sungguh, seharusnya ia tak perlu merasakan seperti ini. Tapi, ia tak bisa mengelak jika hatinya terasa sakit melihat Rio meninggalkan dirinya demi wanita lain.





Sahabatku, Suamiku [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang