4 : Cuma Sahabat

88 33 3
                                    

Hening.

Disya menatap kosong ke arah jalanan didepannya. Rambutnya terbang kesana kemari seolah mengikuti arah angin. Melamun. Begitu banyak yang Disya pikirkan saat ini. Selama ini, mungkin banyak yang berfikir bahwa orang sepertinya yang mudah tertawa itu hidupnya lurus-lurus saja. Tidak memiliki masalah. Padahal, setiap orang pasti memiliki masalahnya sendiri bukan?

Sibuk dengan pikirannya sendiri, Disya tak menyadari bahwa ada seseorang yang duduk disebelahnya.

"Ngelamun aje, lu! Kerasukan tau rasa!" ujar Rio. Rio memang mengikuti Disya sejak Disya keluar kelas. Dan sebenarnya, Rio sudah duduk di belakang Disya sedari tadi. Hanya saja, dirinya tidak langsung mendatangi Disya.

Tak sadar ada seseorang di sebelahnya, Disya masih tenggelam dalam pikirannya sendiri. Matanya tak berkedip sama sekali membuat Rio yang di sebelahnya menghela napas. Ia menatap Disya yang jika sedang dalam mode santai seperti ini sangatlah cantik. Disya memang cantik, ia akui itu. Tapi, Rio tidak mau mengungkapkannya pada Disya. Bisa-bisa besar kepala Disya!

"Dis?" panggil Rio sambil memegang pundak Disya pelan. Disya terkejut. Ia dengan cepat menggeplak kepala Rio. Rio tak kalah terkejut.

"Aw! Sakit, woy! Lo kenapa sih suka banget kayanya mukul-mukulin gue," sebal Rio. Disya mengembungkan pipinya. Rio yang di sebelahnya sekuat tenaga menahan diri untuk tidak mencubit pipi Disya.

"Nggak usah manyun-manyun gitu. Bukannya keliatan lucu, malah jatohnya kaya bocil di Indomaret yang pengen kinderjoy tapi nggak dibolehin sama mamahnya," kata Rio berusaha mencairkan suasana. Bohong. Rio bohong. Tapi, Disya kembali melamun setelahnya. Bahkan sekarang ia benar-benar tak menoleh sama sekali. Padahal Rio sudah nyolek-nyolek Disya dari tadi.

Berdecak malas. Rio pun berusaha mengajak berbicara beberapa benda disekitarnya. Mulai dari ember yang berisi bekas cat, botol, dan beberapa sampah lainnya. Tapi Disya masih sama sekali tak merasa terganggu. Menyerah, akhirnya Riopun menghampiri Disya kembali.

"Kenapa sih, hm?" tanya Rio pelan. Disya menoleh, lalu setetes air mata jatuh dari pelupuknya. Rio panik. Ditanya kenapa, kok malah jadi nangis?!

"Eh, eh, kok nangis?," panik Rio. Ia bingung harus melakukan apa sekarang. Biasa melihat Disya ketawa-ketiwi, sekarang nangis. Memutar otak, akhirnya Rio pun nekat untuk menarik Disya kedalam pelukannya. Jauh dari ekspetasi, Disya membalas pelukan Rio dan membuat Rio melotot. Iapun berusaha mengendalikan detak jantungnya yang menggila. Ia hanya bisa berdoa semoga Disya tidak mendengarkannya.

Mengelus punggung Disya lembut. Rio berusaha menenangkan Disya. Tapi bukannya mereda, isak tangis gadis itu malah semakin keras. Kurang lebih 20 menit, mereka masih setia bertahan dalam posisi seperti itu.

"Udah?" tanya Rio lembut. Disya diam. "Mau cerita sama gue?" tanya Rio lagi. Tangannya mengusap kepala Disya. Perlahan, Disya mulai melepaskan pelukannya lalu kembali menatap kearah jalanan.

"Gue capek," ujar Disya. "Gue nggak ngerti sama Gege. Sebenernya apa sih alesan dia buat larang-larang gue sama Bagas? Padahal, selama ini gue nggak ada tuh ngelarang dia sama siapapun itu," lanjut Disya sambil menghapus air matanya yang kembali jatuh.

Jika dihitung-hitung, sedari awal masuk SMA, Disya sudah menyukai Bagas. Dan selama itu pula, Gege selalu menyuruh Disya untuk melupakan perasaannya. Tapi, Disya juga bersikeras untuk tidak mau menuruti Gege. Semua itu sebab Bagas itu cinta pertamanya. Jangan suruh Disya untuk memilih antara Gege dan Bagas. Karena Disya tidak akan bisa menjawabnya.

"Selama ini, gue nggak marah kalo Gege nyamperin gue cuma pas lagi ada masalah sama Devan. Nggak. Gue nggak marah sama sekali. Tapi, kenapa dia nggak suka kalo gue berhasil nemuin kebahagiaan gue?" lirih Disya. Rio diam. Ia bingung harus menjawab omongan Disya seperti apa.

"Gue juga nggak ngerti, Sya. Tapi, yang pasti, gue yakin Gege punya alesan kenapa dia bisa kaya gitu ke lo," yakin Rio. "Gue emang nggak bisa bantu apa-apa. Tapi, lo harus tau kalo lo kenapa-napa, gue bisa jadi orang yang paling khawatirin lo. Yang penting, lo jangan pernah ngerasa sendirian,"ucap Rio sambil mengelus bahu Disya.

Disya perlahan mengangguk. Rio tersenyum menenangkan. Sebelum akhirnya senyumannya pudar karena Disya mengelap ingusnya menggunakan baju seragam putih miliknya. Mendadak ia menyesal karena kurang dari semenit sebelumnya ia sudah berusaha cosplay menjadi Mario Teguh untuk menasehati Disya. Lihatlah, bahkan di kondisi seperti ini pun, Disya bisa merusak suasana oleh tingkahnya yang ajaib.

Melihat raut wajah Rio yang berubah drastis, Disya nyengir tak berdosa. Rio menggelengkan kepalanya sebal. "Makasih banyak, Yo. Ternyata bener apa kata lo. Gege nggak mungkin ngelakuin itu semua kalo nggak ada alesannya. Jadi, tugas gue sekarang adalah mencari alasan dibalik sikap nggak sukanya Gege ke Bagas," kata Disya.

Rio mengangguk sebagai jawaban. "Sekali lagi, makasih, Yo. Lo emang sahabat gue yang paliiing ngertiin gue," kata Disya lagi sambil memeluk lengan Rio manja sekaligus menyenderkan kepalanya.

Sahabat ya?

Rio tersenyum tipis.

---

Sahabatku, Suamiku [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang