8 : Kepergok

71 26 8
                                    

Hari ini, di sekolah Disya sedang ada pertandingan bola basket. Disya sebenarnya mager mau nonton. Karena jika ia menonton, maka ia harus rela berdesak-desakan dengan lautan manusia. Mana, tak jarang bau ketiak lagi. Rusak sudah mood Disya. Tapi, berhubung sekarang Bagas ikut tanding, Disya melupakan itu semua. Apa sih yang nggak buat Bagas.

Tapi, selain karena Bagas ikutan tanding, Disyapun dipaksa oleh Gege untuk menemaninya nonton Devan. Please deh, Gege tuh memang kadar akhlaknya sedikit. Sebab, dia membutuh Disya hanya saat Devan tidak ada. Selebihnya, Disya terlupakan. Beruntung, Disya rendah hati dan tidak sombong. Kalau tidak, Gege sudah Disya jual di shopee.

"Anter gue beli dulu minum buat Devan ya, Ca," ajak Gege pada Disya. Gege memang memanggil Disya dengan sebutan Caca. Katanya, panggilan kesayangan.

Disya mencibir. "Halah, budak cinta memang,"

Gege ngakak sambil nutup mulut memakai tangan kanannya. Tangan kirinya, tak lupa ia pakai untuk menabok lengan Disya. Disya melotot tak terima. Kebiasaan buruk Gege. Kalau ngakak, pasti tangannya tidak ada yang nganggur.

"Sakit, ogeb! Kebiasaan lu tiap ngakak, bawaannya pasti menganiyaya orang nggak bersalah," dramatis Disya sambil mengerucutkan bibirnya. Bukannya gemoy, jatuhnya malah seperti bebek lagi ngenes.

"Yamaap, lagian lu juga sih. Yok deh cepetan, Ca. Keburu mulai ntar," kata Gege sambil jalan duluan. Disya yang masih mengusap lengannya bekas tabokan Gege sontak berlari mengejar langkah Gege.

"Eh, Ca. Lu nggak akan beli?" tanya Gege sambil menunjuk air botol mineral. Disya menggeleng.

"Nggak deh, lagian gue beli buat siapa? Kalo buat diri gue sendiri, mending beli teh pucuk dah," jawab Disya. Gege berdecak sambil mengambil satu lagi air botol mineral.

Disya tidak menanyakan itu untuk siapa. Pikirnya, mungkin Gege beli satu untuknya, satu lagi untuk Devan. "Nih. Kali aja, lu mau ngasih buat Bagas," ucap Gege. Mendengar itu, Disya yang asalnya mau menolak, jadi urung. Wajahnya berubah sumrigah. Dia lupa, kalau bebeb-nya ikut tanding.

Tanpa mengucapkan terimakasih, Disya berjalan setengah berlari menuju lapang pertandingan. Gege menggeleng tak habis pikir. Mau marah, tapi dia merasa kasihan melihat Disya yang begitu bahagia jika mendengar soal Bagas.

Sampai disana, ternyata pertandingan sudah dimulai dan Disya bingung hendak kemana. Gila, tempat duduknya penuh semua. Keluh Disya dalam hati. Setelah melihat Gege yang duduk di pinggir lapang dekat wasit, Disyapun bergegas menghampiri.

"Gue cariin nggak ketemu, taunya udah ngadem disini," sinis Disya sambil mengipas dirinya dengan tangan. Gege yang mendengar itu mendengus keras. "Yang ninggalin gue tadi, siapa?" jawab Gege.

Disya seketika teringat dan mengeluarkan cengiran khasnya.

---

Teriakan demi teriakan memenuhi lapangan pertandingan bola basket. Disya ngeri sendiri mendengar penonton yang berteriak begitu keras menyemangati sedari tadi. Apa tidak seret suara mereka? Pita suaranya apa kabar? Karena sedari tadi, beberapa kali Disya mengusap telinganya yang sakit akibat suara melengking siswa lainnya.

Setelah melewati masa-masa yang panjang, akhirnya pertandingan pun selesai. Yang tentu saja, dimenangkan oleh tim Bagas dan Devan. Penonton semakin heboh dan membuat kerusuhan. Bahkan, beberapa dari mereka memberi minuman pada pemain yang mewakilkan kelas mereka dan berhasil memenangkannya. Dari ujung mata, Disya melihat Bagas dikelilingi oleh banyak cewek yang berlomba-lomba ingin memberinya minum. Disya memutar bola matanya malas. Bibirnya menggerutu sebal terbakar rasa cemburu. Namun, ia sadar ia tidak ada hak untu itu.

Memutuskan untuk kembali ke kelas karena pertandingan berakhir, Disyapun beranjak membawa air botol mineral yang tidak terbuka sedikitpun. Namun, sebelum melangkah, Disya dikejutkan oleh pergelangan tangannya yang ditahan oleh seseorang. Berbalik badan, Disya makin terkejut karena yang menahannya adalah Bagas.

"Mau kemana?" tanya Bagas. Tangannya masih setia bertengger dipergelangan tangan Disya. Disya salting. Jantungnya berdetak kencang.

"Eu... k-kelas," jawab Disya terbata-bata. Sial, ia merutuki dirinya sendiri karena tadi kesal sekarang gugup. Sebesar itu pengaruh Bagas padanya.

"Buru-buru amat. Eh itu minum buat gue, ya? Thanks, Sya," kata Bagas sambil mengambil minum yang berada ditangan Disya yang satunya lagi dan bergeas meminumnya. Disya bingung harus berbuat apa. Tapi, dia juga senang. Karena dari banyaknya fans Bagas yang memberinya minum, minuman Disya lah yang dipilih. Dan jangan tanyakan keadaan hati Disya sekarang. Karena sudah pasti meleleh lagi.

Melihat keringat yang bercucuran di wajah Bagas, dan rambutnya yang berantakan membuat Disya tidak tahan untuk tidak mengelapnya. Tapi, Disya masih tahu diri. Ia merasa tidak ada hak untuk berbuat nekat seperti itu.

Menahan diri untuk tidak mengelap keringat Bagas, mungkin Disya kuat. Tapi, menahan diri untuk tidak memfoto Bagas, Disya tidak bisa. Setelah selesai minum, Bagas dan Disya hanya diam tak mengobrol sepatah kata apapun. Bagas diam sambil memandangi teman-temannya dan Disya dengan sisa sisa saltingnya.

Tangannya perlahan mengambil HP yang ia simpan disaku rok abu-abunya. Disya sedang mencari moment yang tepat untuk memfoto Bagas, tapi diam-diam. Karena ia gengsi apa bila harus izin dulu pada Bagas. Akhirnya, Disya mendapat moment yang pas, saat Bagas sedang fokus menatap kearah lain.

Cekrek.

Suara potret terdengar. Dan, jangan lupakan flashnya yang menyala.

Disya melotot panik. Berusaha mengalihkan arah HP-nya kemanapun itu supaya Bagas tidak memergokinya saat HP-nya mengarah padanya. Tapi, terlambat. Bagas sudah sadar duluan.

"Lagi motoin gue ya?"

Siapapun, tolong Disya.

---

Sahabatku, Suamiku [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang