17 : Setengah Hati

30 7 0
                                    

"Minggir, Ge! Gue bener-bener harus keluar!"

"Gue nggak mau!" tekannya.

"Lo gila?! Ini gue mau ketemu sama temen lo. Dan temen lo udah sampe disana dari tadi. Sedangkan gue? Masih di rumah karena lo halang-halangin gue terus!" bentak Bagas pada Gege yang merentangkan tangannya depan pintu utama di rumahnya.

"Nggak usah keluar, gue bilang!" sergahnya. Demi apapun, Gege tak akan membiarkan Bagas keluar dari rumah ini. Apa lagi jika untuk bertemu Disya. Tak akan.

Memijit pelan pelipisnya, Bagas berusaha sabar. Sudah hampir 120 menit mereka berdebat seperti itu. Bagas tidak mengerti dengan jalan pikiran Gege. Sudah jelas-jelas Gege tahu bahwa Disya sudah menunggu dirinya di Cafe Pelangi. Tapi Gege malah melarang dirinya untuk menemui Disya. Bahkan, handphone Bagas sudah diambil Gege tanpa sepengetahuan dirinya saat ia sedang mandi.

"Minggir, Ge. Gue nggak sesabar yang lo kira. Gue bisa aja ngasarin lo kalo lo tetep diem disitu," tegas Bagas dengan nada mengancam. Tapi, jika kalian berpikir Gege takut, maka jawabannya adalah tidak. Gege tak takut sama sekali.

"Gue nggak peduli. Pokonya lo nggak boleh pergi," pungkasnya menantang. Bagas menggelengkan kepalanya. Mana mungkin ia menghajar saudaranya sendiri. Ya, meskipun saudara tiri. Kalau itu terjadi mungkin dirinya sudah di tendang dari rumah ini.

"Terus mau lo itu apa, Ge? Gue cape," keluh Bagas.

"Mau gue? Ya lo nggak usah pergi," singkatnya.

Bagas memutar otak mencari cara agar ia bisa keluar dari rumah ini. Sebenarnya kejadian seperti ini bukan yang pertama. Ia sudah duga ini akan terjadi. Salahkan ia yang salah mengambil langkah untuk mengganti baju dulu di rumah. Seharusnya ia meminjam baju Bimas saja seperti biasanya. Ah, sudahlah.

"Balikin hp gue," tuntut Bagas. Gege sontak menggeleng.

"Nggak." tuturnya yang membuat Bagas naik pitam. Ia hampir saja melayangkan kepalan tangannya kepada Gege namun ia urungkan dan kepalan tangan itupun meleset ke pintu tepat disebelah Gege. Gege memejamkan matanya takut.

"Balikin," ujar Bagas berbisik tenang. Bulu kuduk Gege merinding seketika. Tapi, ia tidak akan goyah.

"Gue balikin asal lo nggak pergi," tawarnya. Bagas menghela napas sesaat sebelum akhirnya mengangguk tanda mengiyakan. Setelah itu ia beranjak pergi naik ke atas kamarnya dan membanting pintu dengan keras. Gege lagi-lagi memejamkan matanya.

Jangan salahkan Gege atas semua ini, ia punya alasan mengapa dia seperti itu.

---

Hal yang pertama Bagas lihat saat ia menyalakan handphonenya adalah handphonenya yang diaktifi oleh mode pesawat. Bagas menggeram. Gege memang tak main-main. Sekarang, apa yang harus Bagas katakan pada Disya setelah membuat Disya menunggu nyaris 4 jam? Semua salah Gege. Karena dari beberapa jam yang lalu, Gege selalu saja mengulur-ulur waktu tentang apapun itu. Entah menyuruhnya mencuci mobil, membelikan cilor, ataupun membersihkan kandang kucingnya yang padahal kucingnya pun sudah hilang entah kemana.

Mengaktifkan datanya dengan cepat, Bagas membuka aplikasi berwarna hijau yang jarang ia buka. Pesan-pesan baru terus berdatangan dari nomor yang tidak ia kenali. Tak peduli itu semua, Bagas menyematkan pesan chat Disya agar tak tenggelam.

Bagas
| Sya, sorry banget ini gue nggak bisa kesana. Lo udah pulang kan?

Detak jantung Bagas berdetak kencang. Ia merasa bersalah pada Disya. Sudah menyuruh Disya untuk datang duluan ke Cafe Pelangi, tapi dirinya sendiripun tidak datang kesana.

Disya
| oh, okay deh gapapa. Next time aja ya, Gas.

Membaca balasan dari Disya, Bagaspun kembali mengetik untuk menanyakan keberadaan Disya dimana.

Bagas
| Tapi lo udah balik, kan?

Centang dua biru langsung terlihat. Bagas melihat keterangan typing yang kemudian keterangan tersebut hilang bersamaan dengan keterangan online Disya. Bagas menggigit jarinya risau. Disya kemana? Apa ke WC karena kelebet? Ah. Bagas tak tenang sekarang.

Bagas
| Dis?
| Sya? Lo kemana?
| Lo udah dirumah kan?
| Sya, please. Sorry
| Sya?
| Lo kenapa tibatiba jadi gaaktif, Dis?

Bagas berdecak kesal. Disya itu kemana sih? Kenapa tiba-tiba menghilang tapi tak pamit. Bahkan pesan Bagaspun belum terbalaskan. Ck, ck. Tapi, lain di mulut lain di hati. Karena kini, Bagas menggigit jarinya risau. Cukup dengan mendengar kabar dimana Disya sekarang, Bagas yakin dia akan tenang.

"Lo kemana sih, Sya?" lirih Bagas khawatir.

Sedangkan Gege yang memperhatikan itu semua dibalik pintu, menarik senyumnya. Sepertinya, rencananya berhasil. Tapi, entah mengapa Gege merasa tak begitu senang rencananya berhasil. Ada sedikit rasa bersalah yang hinggap didadanya. Ia jadi ikut berpikir, dimana Disya sekarang?

Sedetik kemudian ia menggelengkan kepalanya. Tidak. Ia tidak boleh berpikir seperti itu. Sia-sia saja rencana dirinya dari setahun yang lalu jika ia memikirkan hal ini.

Katakan Gege jahat.

Karena memang iya.

Tapi, tentu saja Gege mempunyai alasan untuk melakukan itu. Jadi, sekali lagi jangan salahkan Gege atas semua hal ini.

---

Sahabatku, Suamiku [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang