22 : Begitu Dingin

7 1 0
                                    


"Anak-anak jalanan yang suka nongki di lampu merah nangis Dek, lihat makanan bukannya di makan malah dimainin aja," tegur Arkan pada Disya yang tangannya tak berhenti mengacak-acak makanan di piringnya tanpa berminat untuk memakannya.

Disya tak megindahkan ucapan Arkan. Mood-nya sedang turun drastis sekarang.

Arkan mendengus. "Makan, Dek. Kenapa sih diem aja? Tumben banget," kata Arkan.

"Gue lagi galau, Bang. Mendingan Abang diem aja, sebelum garpu ini meluncur nancep di kepala Abang," jawab Disya tak bersemangat.

Arkan merinding. "Yaelah, galau mulu! Kira-kira hal apaan nih yang berhasil bikin lu yang dasarnya nggak bisa diem, jadi pendiem gini?" kata Arkan dengan tanggannya yang mengusap dagunya, tak lupa di dukung oleh matanya yang bergulir ke atas seolah menambah kesan penasaran.

"Kepo. Urusan cewek nggak usah mau tau. Dahlah, berangkat aja gue. Gue duluan, Bang," pamit Disya. Walaupun mood-nya sedang tidak baik, bukan berarti ia lupa untuk pamit pada Abangnya.

Arkan menggelengkan kepalanya melihat adik satu-satunya itu. "Hati-hati," singkatnya.

---

Berjalan di koridor sendirian, membuat Disya merindukan sosok Gege. Rasanya, sudah lama ia dan sohibnya itu tidak bertukar pesan. Bahkan, Disya belum menceritakan kejadian tak mengenakkan saat di Cafe Pelangi kemarin. Belum lagi, Disya menceritakan insiden saat Bagas mencium dirinya. Ah, rasanya tak sabar ia menceritakannya dengan semangat kepada Gege.

"Gege udah dateng apa belum, ya," kata Disya berbicara sendiri.

"Dis!" panggil lelaki dari kelas yang Disya lewati menghentikan langkah Disya. Perlahan, ia menoleh ke belakang untuk melihat siapa yang memanggilnya tadi.

"Siapa ya, yang manggil tadi? Perasaan nggak ada yang gue kenal orang-orang yang ada disitu," monolog Disya memincingkan matanya berusaha untuk melihat lebih jelas dan meng-absen setiap muka yang ada disana.

Setelah memastikan berulang kali bahwa tidak ada muka yang ia kenal di sana, Disya berniat untuk melanjutkan langkahnya yang sempat berhenti karena mendengar ada seseorang yang memanggil namanya. Mungkin bukan memanggil dirinya, pikir Disya dalam hati.

Belum sempat berjalan, pundak Disya di pukul pelan oleh seseorang dari belakang. "Wet! Sombong, lu! Gue panggil-panggil nggak di bales," ujar Fabian.

Fabian merupakan teman Disya sedari keduanya duduk di bangku Sekolah Dasar Sekolah Menengah Pertama, hingga sekarang Sekolah Menengah Atas. Hanya saja, saat di SMA sekarang, mereka tidak sekelas. Namun, mereka masih berhubungan baik.

"Ohh, elu orangnya! Tapi tadi gue nggak liat muka lo jelas, Fab! Makanya nggak gue bales," kata Disya membela dirinya sendiri.

Fabian mendengus. "Minus kali mata lu. Mubadzir banget kalo mata lo minus, ntar lo nggak bisa melihat kegantengan gue dengan sempurna," sahut Fabian dengan kadar percaya dirinya yang sudah berada di atas awan.

Mendengarnya, Disya menahan untuk tidak mengeluarkan cairan yang berada di dalam perutnya. Alias, ingin muntah.

"Eoh. Gue kira kadar PD lo udah membaik sekarang, nggak taunya makin-makin," celetuk Disya.

Fabian nyengir lebar. "Hehehe," kekehnya. "Dis, Ody masih available kan?" lanjutnya.

Kening Disya mengerut. "Available apaan, dah?" tanyanya tak mengerti.

"Ya, gituuu. Hehehe, masih 'kan?" tanya Fabian lagi.

"Apasih, kampret! Yang jelas kalau ngomong. Available apaan lagi," sungut Disya.

Fabian memutar bola matanya malas. "Maksudnya Melody masih jomblo kan?" tanyanya lagi.

Disya mengangguk-anggukan kepalanya tanda mengerti sekaligus mulutnya ber-oh ria. "Ohh. Gue kira apaan tadi. Lagian, available available, gaya amat lu! Masih, Ody belum punya pacar," jawab Disya setengah ngegas.

Fabian merekahkan senyumnya. "Syukurlah," katanya.

"Lu kalau suka sama orang ya kejar, lah. Ini mah kerjaan nanyain mulu Ody jomblo nggak, Ody belum punya pacar kan, dari dulu sampe sekarang. Dideketin kaga," sindir Disya yang membuat Fabian malu.

"Ya, sabar lah! Gue juga 'kan nanyain mulu itu berarti ada progress! Tunggu aja, tanggal mainnya," akunya.

Disya mendengus kasar. "Yeee, tokek sawah memang. Sok-sok-an tunggu tanggal mainnya. Ntar kalo NT gue ketawaiin juga lo!" ejek Disya.

"Ah lu mah parah! Eh gue jadi inget, lu waktu itu kayak pernah ngomong, Dis. Apa tuh, Melody punya saudara kembar, ya? Yang mana sih? Gue kok kayak nggak nemu ya yang mirip kaya Ody," tutur Fabian dengan kening yang mengerut.

"Iya, memang ada. Rio namanya. Menurut gue, lo bisa aja deh minta bantuan ke kembarannya. Itung-itung minta restu," ujar Disya disertai tertawaan kecil yang membuat pipi Fabian sedikit memerah.

"Pinter juga, lu. Yaudah, gue minta kontak--"

"Nah! Itu orangnya!" seru Disya heboh memotong ucapan Fabian sambil menunjuk Rio yang baru saja memasuki sekolah.

"Yooo!" panggil Disya keras. "Siniii!" lanjutnya lagi.

Rio menghentikan langkahnya mendengar seruan Disya di ujung sana. Sejujurnya, ia masih belum mau untuk bertemu Disya saat ini. Terlebih, rasa sakit pada hatinya karena malam kemarin melihat Disya berpelukkan dengan Bagas. Dan sialnya, ia melihatnya dengan mata kepalanya sendiri.

"Iya kenapa, Dis?" tanya Rio sesudah menghampiri Disya yang sedang bersama dengan lelaki kelas sebelah yang ia tidak kenal.

"Ini, gue mau ngenalin lo sama cowo ini. Yang mungkin nanti bakal jadi adik ipar lo," kekeh Disya.

Fabian melotot, sedangkan Rio mengerutkan keningnya bingung.

"Ehm, gue Fabian. Anak kelas sebelah. Lo Rio 'kan?" tanyanya sembari mengajak Rio tos ala laki-laki.

"Yoi, gue Rio," jawab Rio singkat.

Setelahnya, suasana mendadak canggung seketika. Karena setelah Rio dan Fabian berkenalan, belum ada yang membuka mulut di antara keduanya. Hingga suara Disyalah yang memecah keheningan.

"Rio ini sahabat gue, Fab. Gue yakin kalian bakal nyambung karena kita sifatnya nggak jauh beda. Iya 'kan, Yo?" tanya Disya meminta persetujuan pada Rio. Tangannya ia rangkulkan pada pundak Rio seolah teman sejati yang sudah lama tak bertemu.

"Iya," singkatnya tak berekspresi. "Gue duluan, Dis, Fab. Ada urusan," lanjutnya yang membuat Disya menurunkan tangannya dengan canggung. Dan Riopun berlalu.

"Oh, siap bro!" jawab Fabian sok akrab hingga akhirnya saat punggung Rio mulai menghilang, ia lanjut bicara. "Dia memang agak cuek gitu ya, Dis? Bukannya kata lo dia receh juga kayak lo?" ujarnya bingung.

Bukannya mendapat jawaban, yang Fabian dapatkan ialah wajah bengong Disya.

"Harusnya gitu. Tapi, gue juga nggak tau kenapa dia kaya tadi," kata Disya pelan yang membuat Fabian menggaruk kepalanya tak mengerti.

Belum sempat Fabian menjawab, Disya sudah berlalu meninggalkannya seorang diri.

Saat ini, yang ada dipikiran Disya hanya satu.

Kenapa Rio bersikap begitu dingin padanya?

Sahabatku, Suamiku [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang