27 : Denial

6 1 0
                                    

"Es campurnya enak banget, Kak! Ini sih bukan enak lagi, tapi enak banget-banget-bangettt!!" seru Thalita dengan tangannya yang sibuk terus menyantap es campur di kantin sekolah.

Es campur Mang Dodi ini memang menyandang predikat minuman terenak di sekolah mereka. Dan tentu untuk mendapatkan es campur ini perlu perjuangan tersendiri. Selain stoknya yang cepat habis, antriannyapun sungguh panjang sekali hingga tatkala di musim panas membentuk antrian sembako.

Rio terkekeh singkat melihat Thalita yang begitu menyukai es campur yang ia belikan.

"Makannya biasa aja dong. Sampe blepotan gini," ujarnya sambil mengelap ujung bibir Thalita yang dihinggapi air es campur.

Thalita sedikit menegang karena terkejut. "Makasih ya, Kak," katanya.

"Iyaaa, sama-sama Thalitaaa," jawab Rio gemas.

"Set dah, Yo! Selera lo adek kelas ya ternyata," canda Angga yang melihat kedekatan Rio dengan adek kelas yang tidak ia ketahui siapa dan kelas mana.

"Apaan sih lo, ah. Urusin noh gebetan-gebetan lo. Lama-lama antriannya nyaingin antrian es campur Mang Dodi di kantin," cibir Rio dengan nada mengejek.

Angga mendelik. "Berisik lo. Itu namanya seleksi," jelasnya.

"Halah, ta* ayam!" ledek Rio.

Anggapun melangkah meninggalkan bangku Rio menuju bangku miliknya. Di jam istirahat seperti ini, biasanya dirinya sedang berada di kantin. Entah untuk membeli makanan ataupun sekedar untuk menggoda adik kelas. Namun, sekarang Angga sedang tidak mood. Jadi, dirinya diam di kelas saja tidak kemana-mana.

"Diem-diem bae lu! Masih pagi udah asem aje tuh muka," cela Angga pada Disya yang memainkan HP-nya sok sibuk.

"Apa sih. Fans suka nggak jelas memang," decak Disya.

"Dih, fans mata lo! Lo kali yang ngefans sama gue," goda Angga.

"Nggak dulu, makasih," tolaknya santai.

"Tumbenan amat lu, jadi pendiem gini. Biasanya ngereog tiada henti. Harusnya gue abadikan nih momen lu jadi pendiem gini. Kapan lagi coba?" ujar Angga.

Disya memutar bola matanya malas.

"Berisik lo, ah! Gege masih nggak masuk, makanya gue diem," imbuhnya.

"Oalah, pantesan. Ngenes amat ya lu, temen sebangku nggak masuk, eh temen yang biasa ribut sama lo malah sekarang sibuk ngebucin," kelakar Angga.

"Dih," jawabnya singkat.

"Ya gitu deh, Ga. Makanya ada lagu yang bunyinya kaya gini, nih. Kalo sudah tiada baru terasa," timpal Melody tiba-tiba sambil menyanyikan liriknya dengan nada yang tidak jelas.

Angga tertawa keras. "Sa ae lu, Dy! Besok-besok ngikut gue dah, lu," katanya.

"Kemana?" jawab Melody.

"Ke cafe. Nyanyi disana ngiringin gue ngegombalin cewe-cewe," ujar Angga santai yang membuat Melody melotot.

"Kurang ajar!" tampiknya yang kembali membuat Angga tertawa.

Lain hal nya dengan Disya yang sama sekali tidak berniat ikut tertawa.

"Temenin, Dy nih si Disya! Kasian dari tadi gue liat ngejomblo mulu," saran Angga pada Melody.

Namun, Melody tidak menghiraukannya. "Elah. Biarin lah, biar sadar. Sadar kalo nggak selamanya dunia itu berporos ke dia doang," sosornya yang membuat Disya meliriknya.

"Wah-wah," ujar Angga tertawa singkat.

"Bener 'kan? Dunia ini berputar. Makanya, kalo dunia lagi berpusat ke kita itu kita jangan seenaknya. Kan kalo di balik, nggak enak," sindir Melody dengan makna tersirat sekaligus melirik Disya.

"Kenapa harus sambil liatin gue?" tanya Disya langsung.

"Lah, ini 'kan gue lagi ngobrol sama lo dan Angga. Wajar dong kalo gue ngomong ngeliatinnya ke kalian berdua satu-satu," kilah Melody.

"Gue dari tadi denger, Mel. Meskipun gue main HP, tapi mata gue tetep jalan. Gue sadar dari tadi tiap lo ngomong, mata lo selalu ngarah ke gue," tukas Disya.

"Waduh, gue kagak ikutan ya," celetuk Angga beranjak pergi meninggalkan Melody dan Disya berduaan.

"Yaa, kalo lo sadar bagus. Yang tadi gue omongin itu emang lagi nyindir elo," jawab Melody santai.

Kening Disya mengerut. "Maksud lo apa?" tanyanya tak mengerti.

Melody menghembuskan napasnya. "Masih aja nggak peka lo. Gini ternyata yang dirasain kakak gue," hembusnya.

Melody menarik tangan Disya untuk duduk di bangku paling belakang. Disya tidak menolak.

"Maksud lo apa, Mel? Gue nggak merasa melakukan kesalahan apa-apa ke lo," ujar Disya.

"Memang nggak," jawabnya santai sembari mengemut permen milkitanya.

"Terus? Lo apaan sih, Mel? Gue lagi nggak mood sumpah," kata Disya dengan nada yang sedikit tak bersahabat.

"Nggak mood kenapa? Gara-gara ngeliat kakak gue deket sama cewek lain ya? Apa karena ditinggalin waktu pulang sekolah kemarin?" tanya Melody dengan alisnya yang ia naikkan sebelah.

"Lo kenapa sih, Mel?" tanya Disya frustasi.

"Gue nggak kenapa-napa. Nggak usah tanya gue, karena harusnya gue yang nanya lo. Lo masih belum nyadar ya sampe sekarang?" kata Melody.

"Sadar apaan? Tiap hari juga gue sadar," sanggahnya.

"Kakak gue suka sama lo. Dari lama banget. Tentang ini lo nggak sadar 'kan?" tanya Melody.

Disya membelakakan matanya tak percaya. Rio menyukainya?

"H-hah?" jawab Disya.

"Udah gue duga. Asal lo tau ya, kakak gue udah lama mendem perasaan suka sama lo. Dia rela nunggu lo sampe lo peka. Bahkan disaat lo suka sama cowok lain, dan lo nangis karena cowok lain terus kakak gue nenangin lo, dia masih sayang sama lo. Kakak gue rela malem-malem keluar pengen ketemu sama lo padahal di luar udah mendung mau hujan. Tapi, nggak lama dia balik dengan kecewa karena liat lo malah berduaan sama cowok lain. Lo masih belum sadar, Dis? Semua yang kakak gue lakuin buat lo itu karena dia suka sama lo. Bukan karena kalian sahatan. Kakak gue memandang lo lebih dari pada itu," jelas Melody.

Disya terdiam.

"Sekarang, kalo lo sakit hati karena kakak gue ninggalin lo kemarin dan dia lebih milih sama Thalita, lo nggak usah marah. Dan nggak usah merasa kehilangan dia. Karena kakak gue udah pernah ngerasain yang lebih dari pada itu," pungkas Melody seraya beranjak meninggalkan Disya sendirian.

Bahkan, sampai Melody meninggalkan dirinya, ia masih terdiam lama.

Kemana saja Disya selama ini? Kenapa Disya sangat tidak peka?

Disya merasa sangat jahat karena seringkali membuat Rio terluka. Di saat dirinya disakiti Bagas, hanya Riolah yang selalu ada untuknya.

Melody benar. Seharusnya jika Disya hanya menganggap Rio sebagai teman, Disya tidak usah marah dan merasa kehilangan bila Rio tidak lagi berada di dekatnya.

Tapi, mengapa ia tidak rela melihat Rio dekat dengan wanita lain? Seperti ada rasa sakit yang hinggap di hatinya.

Mengangkat kepala untuk melihat Rio yang sedang berduaan dengan Thalita di bangku depan sana, hati Disya semakin sakit. Dan saat tangan Rio terangkat untuk mengusap rambut Thalita, air mata Disya perlahan jatuh.








Sahabatku, Suamiku [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang