9 : Cuma Sahabat.2

65 23 3
                                    

Jamkos.

Surganya seorang murid. Padahal yang dilakukan saat jamkos adalah hal-hal yang unfaedah. Entah itu mengadakan konser dadakan, mabar game online, bergosip ria, ataupun mungkin membuat vlog. Seperti yang dilakukan Sarah CS diujung kelas itu. Mereka membuat vlog dengan semangat yang membara. Padahal, subscriber di akun Youtube-nya hanyalah sebatas teman-teman sekelasnya. Itupun karena mendapat paksaan dan mendapat imbalan di traktir es kelapa di pengkolan sekolah. Kan lumayan.

Tetapi, tidak dengan Disya yang sedang menyembunyikan kepalanya di lipatan tangannya. Sedari tadi, perutnya mendadak tidak enak. Padahal, perasaannya ia tak ada salah makan sesuatu. Karena beruntung perutnya tidak pernah menolak apapun itu yang masuk. Di beri rendang biawak pun sepertinya tidak akan menolak.

"Sakit banget, woi. Apa jangan-jangan gue lagi dapet ya? Duh gawat kalo iya, mana gue nggak ada persiapan bawa roti jepang lagi," monolog Disya sembari meringis menahan sakit.

Rio yang sedari tadi memperhatikan Disya dari bangku belakang menahan khawatir karena melihat Disya yang memegang perutnya seperti sedang menahan sesuatu. Rio jadi kepikiran, Disya sedang lapar kah?

"Lo kenapa, Dis? Lo kalo lapar mending bilang sama gue. Jangan nahan-nahan kek begitu, nggak tega gue liatnya," lontar Rio dibumbui rasa khawatir. Menurutnya, dari pada menebak-nebak apa yang sedang terjadi dengan Disya, lebih baik ia tanyakan pada Disya langsung.

"Sembarangan! Gue nggak ada lapar ya. Gue juga nggak ngerti kenapa perut gue sakit ini," decak Disya tak bertenaga.

Rio menempelkan telapak tangannya di dahi Disya. Jarak mereka cukup dekat sekarang. Dari jarak sedekat ini, Disya bisa melihat raut wajah khawatir keseriusan seorang Rio. Entah kenapa, aura ke-sengklekan Rio mendadak hilang sekejap.

"A-apa sih lu ah. Gue nggak demam," pungkas Disya sambil berdeham canggung. Kenapa? Kenapa? Kenapa dia jadi salting sekarang?!

"Mau gue anterin balik?" tawar Rio tanpa menjawab pertanyaan Disya tadi. Disya menggeleng tanda menolak.

"Nggak, gue nggak kenapa-napa. Dahlah, gue mau ke WC dulu, bye!" imbuh Disya sambil berdiri melangkahkan kakinya keluar kelas. Tapi baru saja melewati Rio, mata Rio membola seketika. Dengan gerakan cepat, ia berusaha menutupi rok abu-abu Disya dari berbagai pasang mata. Dia juga berusaha mengimbangi langkah Disya yang berjalan cepat. Tapi karena merasa diikuti, Disyapun menoleh kebelakang dan terheran-heran melihat Rio sedang cengengesan sembari menggaruk kepalanya yang tak gatal.

"Ngapain lo ikutin gue?" tanya Disya memutar bola matanya malas. Rio yang ditanya seperti itu mendadak bingung mau menjawab apa.

"I-itu, Dis. Anu... Anu lu itu, hehe," gugup Rio haha-hehe tidak jelas. Disya makin dibuat heran. Padahal belum genap satu jam yang lalu, Disya memuji Rio yang kalau serius itu ganteng. Tapi, sekarang aura sengkleknya kembali lagi. Rasanya, pujian yang sempat hadir dalam benaknya ingin ia cancel saja.

"Apa sih? Yang jelas, Semprul! Mau sampe kapan lu haha-hehe haha-hehe disitu?!" ngegas Disya.

"Anu, Dis. Rok lo ada darahnya," cicit Rio hampir tidak terdengar. Disya melotot. "Lo jangan main-main!" desis Disya sembari berusaha menutupi bercak merah yang hinggap diroknya. Meskipun ia sendiripun tidak tau letak persisnya dimana.

Dikala Disya masih sibuk dengan acara menutupi bercak merah diroknya, Rio berlari menuju kelas kembali dan tangannya sibuk mencari sesuatu didalam tasnya. Satu yang ia cari, jaketnya.

Setelah mendapat apa yang ia cari, ia pun bergegas menghampiri Disya kembali. Beruntung, Disya masih ada disana. Tanpa babibu lagi, Rio jongkok dan segera melilitkan jaketnya ke pinggang Disya dengan telaten. Disya yang mendapat perlakuan seperti itu menganga dan berusaha menetralkan detak jantungnya yang sedang jedag-jedug dibawah sana.

"Mending lo sekarang ke WC cepetan! Ntar gue susul kesana," desak Rio sembari menarik tangan Disya menuju WC siswi di sekolah. Disya yang ditarik-tarik seperti itu pasrah-pasrah saja. Dirinya mendadak amnesia seketika.

Setelah menunggu hampir 20 menit, Disya yang masih setia bengong di kejutkan dengan kresek hitam yang terpampang di depan matanya. Mengucap istighfar dalam hati, Disya bersiap untuk menyemburkan amarahnya pada siapapun yang berhasil mengusik pikirannya.

"Apa? Mau marah?" tanya Rio santai sembari menaikkan kedua alisnya menggoda. Disya yang ditatap seperti itu mengurungkan niatnya untuk memarahi Rio.

"Nih! Cepetan lo ganti. Semoga gue nggak salah pilih," kata Rio sambil mengasongkan kresek hitamnya. Tetapi, Disya tak berkutik apa-apa. Rio jadi heran. Kenapa Disya jadi loading gini?

Melihat Disya yang masih diam tak berbuat apa-apa. Riopun menuntun Disya masuk kedalam salah satu bilik WC disana. Bahkan Rio rela menahan malu karena ia telah memasuki kawasan yang hanya boleh dimasuki oleh kaum wanita. Tapi, untuk sang pujaan hati iapun merelakannya.

"Gue tunggu diluar," singkat Rio melangkahkan kakinya keluar dari sana. Disya menghembuskan nafasnya lega. Akhirnya Rio pergi dari hadapannya. Entahlah, ia pun tidak mengerti kenapa dia bisa seperti ini.

"Kadal mesir bawain apaan yak?" monolog Disya saat kesadarannya kembali sembari berusaha melihat apa yang ada didalam kresek pemberian Rio. Setelah melihat apa isinya, mata Disya melotot seketika. Pipinya memerah dan bibirnya perlahan membentuk senyuman. Sejak kapan sahabatnya itu menjadi boyfriend-able seperti ini?!

Percayalah, ternyata tadi Rio buru-buru keluar itu untuk membelikan Disya pembalut. Lengkap dengan antek-anteknya. Disya jadi kepikiran, apa kah saat membeli tadi Rio tidak malu? Karena sekarang, Disya yang dibelikannya pun malu setengah mampus.

"Demi apa dia beliin ini semua untuk gue?! Dasar belut sawah! Nggak boleh baper, nggak boleh baper," batin Disya sembari melafalkan kalimat agar dirinya tidak baper oleh Rio.

Sebab, tidak mungkin apa bila ia baper dengan sahabatnya sendiri, bukan?

---






Sahabatku, Suamiku [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang