02 | Hukuman

74 25 95
                                    

Bukan kesialan, tetapi penderitaan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Bukan kesialan, tetapi penderitaan. Mungkin manusia akan memilih tak dilahirkan dari pada menjalani hukuman tanpa kesalahan.

🕓🕓

Seorang pria berkemeja putih polos ditutupi jas hitam, dengan dasi yang berwarna senada cukup membuatnya tampak lebih tampan. Keningnya mengkerut saat mendapati istri dan putri keduanya duduk berhadapan. Ekor matanya mencari seorang gadis yang berstatus anak tirinya. Biasanya, dia orang pertama yang menyapanya.

"Selamat pagi, istriku." Pria itu mendudukkan dirinya tepat pada kursi di samping istrinya.

Alma tersipu malu mendengarnya, sontak kedua ujung bibir ranumnya tertarik membentuk senyuman. "Selamat pagi juga, suamiku."

Violetta Sevilla, putri kedua pasangan suami istri itu merucutkan bibirnya sebal. Dia sengaja membanting sendoknya membuat pasangan suami istri itu menoleh ke arahnya. Letta segera menunduk, menatap makanannya untuk mengindari kontak mata dengan Davin.

Melihat putrinya merajuk, Davin terkekeh pelan lalu berkata, "Selamat pagi, Letta putriku."

Letta membalas tatapan Davin. Kini bibir gadis melengkung lebar sembari meraih sendoknya kembali. "Pagi juga, Papaku yang paling tampan."

Davin semakin terkekeh dibuatnya. Putri keduanya itu memang unik, dia selalu cemburu melihat kemesraan orang tuanya sendiri. Bukan cemburu tanda mencintai Davin sebagai pria, tetapi cemburu saat tak mendapatkan perhatian lebih darinya. Bukan hanya Letta, semua gadis pasti menginginkan itu dari sang papa.

"Letta," panggil Davin membuat si pemilik nama menatapnya. "Kakakmu mana?"

Letta memutar kedua bola matanya jengah. Tak menjawab pertanyaan Davin, dia malah masukkan sesendok nasi goreng ke dalam mulutnya. Melihat itu, Davin mengulang pertanyaannya membuat Letta mendengus sebal. Tetap tidak ada jawaban, Letta tetap bungkam.

"Udah lah, Pa ... palingan anak itu lagi enak-enakan tidur. Pasti mau bolos tuh," sahut Alma sambil meletakkan sepiring nasi goreng beserta ayam goreng di depan Davin.

Davin berdiri sembari mendorong kursinya ke belakang. Pria itu menaiki anak tangga satu persatu diiringi decakan Letta dan Alma. Sesampainya di depan pintu kamar bercat putih dengan tulisan Renza's room, Davin membukanya tanpa mengetuk terlebih dahulu. Segera dia mencari seseorang yang berhasil membuatnya gelisah.

Terlihat seorang gadis yang masih terlelap di bawah selimut tebalnya. Sangat nyenyak, hingga dia tak menyadari keberadaan seseorang yang duduk di sampingnya. Tangan Davin terulur membelai kepala gadis itu dengan lembut. Lenguhan pelan keluar dari bibir kecilnya saat mendengar namanya dipanggil.

"Renza ... bangun, Sayang."

Perlahan, kelopak mata itu terbuka menampilkan sepasang manik berwarna biru laut yang meneduhkan. Melihat Davin sudah siap dengan setelan jasnya, Renza segera bangun lalu mengecek jam kecil di atas nakas yang menunjukkan pukul enam lebih lima belas menit.

Detak-Detik [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang