12 | Kenyataan

11 8 0
                                    

Meski diri tak menerima, tetap saja tak dapat dirubah

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Meski diri tak menerima, tetap saja tak dapat dirubah. Semuanya nyata, bukan kebohongan yang patut diragukan logika.

🕓🕓

Jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam, Vita masih berjaga di ruang keluarga menunggu kedatangan Raga. Gadis itu duduk bersandar di sofa, ditemani teh hangat yang mulai mendingin. Kantuk sudah menyerangnya sejak tiga jam yang lalu, juga penat setelah acara peresmian cafe.  Untuk mengurangi rasa itu, Vita berjalan-jalan sambil mengintip ke luar jendela.

"Non ... ini sudah larut malam, lebih baik Non Vita tidur. Nanti saya bangunkan kalau Den Raga pulang," ujar Bi Inah sambil mengelus lengan Vita pelan.

"Enggak, Bi. Bibi tidur duluan aja," sahut Vita sambil mendudukkan dirinya di sofa panjang berwarna putih. "Aku mau nungguin Raga."

Bi Inah menghela napas lelah lalu menjawab, "Ya sudah, Non. Bibi istirahat dulu. Nanti kalau butuh sesuatu, jangan sungkan panggil Bibi."

Vita mengangguk dengan senyum tipisnya. Dia melirik jarum jam yang terus berputar. Entah pukul ke berapa Kakaknya pulang, yang jelas dia yakin kalau laki-laki itu pasti datang. Tak lama kemudian, dia mendengar deru motor Raga. Segera dia membuka pintu yang sudah dikunci oleh Bi Inah.

"Raga!" Vita menghampiri laki-laki itu, berhambur ke dalam pelukannya. Meski dia tak membalasnya, tetapi Vita bisa merasakan hangatnya pelukan keluarga. "Ga, ini bau apa? Seperti bau darah?"

Deg

Kedua mata Raga membola. Vita pasti mencium bau anyir yang berasal dari bajunya. Dia baru saja membantai nyawa dan membunuhnya dengan brutal. "Lo ngapain belum tidur?" tanya Raga sambil melirik wajah Vita yang bersembunyi pada dada bidangnya.

"Aku nungguin kamu," jawab Vita dengan suara bergetar. "Kita harus bicara, Kak."

Raga mendorong pelan bahu Vita, menjauhkannya dari tubuh berbau besi. Dia menggiring gadis itu untuk duduk di sofa panjang. Melihat adanya secangkir teh, dia menyerahkannya pada Vita. Mungkin setelah minum, gadis itu akan sedikit tenang.

"Ceritain semuanya."

"Tujuh belas tahun aku tinggal sama Mama, tapi belum sekali pun aku ngerasain kasih sayangnya. Malah Papa Davin yang peduli dan sayang sama aku. Tapi sejak ada Letta, Mama semakin berubah. Dia enggak mau kasih sayang Papa terbagi, dia menghasut Letta buat benci sama aku. Dari semua masalahku itu, aku enggak bisa cerita sama siapa pun. Aku enggak punya temen karena Letta, juga karena kebodohanku sendiri.

Aku butuh pelampiasan, tapi aku enggak bisa marah ke mereka. Aku cuma bisa marah ke diri aku sendiri karena semua kebodohan itu. Luka ini, dia yang ngalihin semua kemarahanku. Mungkin kamu bakal anggap aku hilang akal, tapi memang itu adanya. Aku enggak normal," jelas Vita sambil menunduk dalam. Dia tak memiliki keberanian untuk menatap mata Raga.

Detak-Detik [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang