Bukan kehilangan, tapi proses pergantian. Tak benar-benar pergi, yang ditakdirkan akan kembali.
🕓🕓
Pagi, saat semua keluarga berkumpul di meja makan sambil menikmati menu sarapan. Namun, hal itu tidak berlaku di rumah si kembar. Vita duduk sendiri di meja makan dengan pandangan kosong. Gadis itu merindukan keluarganya, keluarga yang tak pernah menganggapnya ada. Bersama mereka membuatnya sakit, tetapi berpisah membuatnya merasa kehilangan.
Vita menyesal pernah berniat pergi dari rumah, akhirnya sekarang Tuhan mengabulkan keinginannya. Dia benar-benar sendirian, bersama orang asing yang katanya satu darah. Sulit bagi gadis itu menerima kejutan ini. Tentu sedikit aneh tinggal bersama laki-laki seumurannya meski terikat saudara, tetap saja mereka baru kenal.
"Non, kenapa belum makan?" tanya Bi Inah membuat Vita tersadar dari lamunannya.
"Eum ... iya, Bi." Vita mengambil selembar roti dan mengolesinya dengan selai coklat. "Kakak kok belum turun, ya?"
"Katanya terbiasa enggak sarapan, Non."
Vita mengangguk kecil sambil menikmati rotinya. Ekor matanya melirik ke arah tangga saat mendengar derap langkah seseorang. Raga sudah siap dengan seragam sekolahnya, tentu seragan yang sama seperti miliknya. Vita merasa sedikit beruntung bisa tinggal bersama kedua saudaranya meski bergantian. Sekarang dia mengerti, takdirnya adalah tinggal bersama Raga, bukan dengan Letta.
"Kak, sarapan dulu."
Raga menghentikan langkahnya, lalu menoleh ke arah Vita dengan tatapan dinginnya. "Enggak perlu."
Vita menghembuskan napasnya lalu tersenyum tipis. "Makan aja meskipun sedikit, biar perutmu enggak kosong dan berpikir lancar."
"Maksud lo ... gue lemot?" tanya Raga dengan tatapan datar.
"Enggak gitu, Kak-"
"Ah udah lah, gue duluan. Oh iya satu lagi, panggil nama aja enggak usah pake embel-embel Kakak." Raga melangkahkan kakinya meninggalkan Vita yang masih mencerna kata-katanya.
"Astaga, dia ninggalin aku ... aku kan enggak paham daerah sini." Vita meraih tasnya lalu berlari mengejar Raga. Sepertinya dia beruntung, karena laki-laki itu masih ada di halaman rumah. "Raga, aku bareng dong."
"Dih, gue enggak minat!" protes Raga lalu mengenakan pelindung kepalanya.
"Terus aku gimana?" gumam Vita dengan raut memohon.
Raga mengedarkan pandangannya dan berhenti pada pria paruh baya yang sedang menyiram tanaman. "Pak, bisa anterin dia ke sekolah?"
Pak Deni mengangguk dan segera menghampiri majikannya. Dia adalah suami Bi Inah, satpam sekaligus tukang kebun di rumah ini. "Bisa, Den. Saya biasa nganter nyonya pergi kok. Mari, Non."
KAMU SEDANG MEMBACA
Detak-Detik [END]
Roman pour AdolescentsHidup dalam kematian, seperti manusia kehilangan nyawa. Ya, itulah arti vita tanpa jiwa, raga, alam dan kisah. Akankah vita tetap ada tanpa mereka? Atau melanjutkan hidup dalam penantian? *** Start : 02 Juni Finish : 28 Juli -Lumajang, 2021