22 | Emosi

32 9 15
                                    

Sebuah rasa yang harus dikesampingkan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sebuah rasa yang harus dikesampingkan. Dipendam ataupun diluapkan tak ada beda, sama-sama membahayakan.

🕓🕓

Marah karena seseorang bisa diluapkan, dan bukan hanya ke manusia. Seperti saat ini, Raga meluapkan emosinya pada buah-buahan. Dia membuat segala macam bentuk sesuai keinginan pelanggan. Tangannya telaten menggerakkan pisau kecil itu hingga senyuman puas terbit di bibirnya.

"Siap," ucap Raga sambil meletakkan semangkuk kecil berisi es krim dengan buah naga berbentuk beruang di atasnya.

"Wah ... Mas Raga keren bisa buat ginian," puji seorang barista yang bernama Tio.

"Keren banget lah, susah loh bikin kaya gini," tambah Vera, menager cafe yang dipercaya oleh Diana untuk mengelola tempat ini.

Raga hanya tersenyum tipis menanggapi mereka. Pikirannya tertuju pada Vita. Hingga saat ini dia belum datang, seharusnya pulang sekolah langsung ke cafe. Tiba-tiba saja Raga merasa perasaannya tak enak, dia mencemaskan gadis itu. Segera dia menelpon Pak Deni untuk menanyakan keberadaan adiknya. Namun giginya gemertak saat mendengar jawabannya.

"Gue pergi dulu, mau nyusulin Vita," ucap Raga dan diangguki oleh Vera dan juga Tio.

Secepat mungkin dia melajukan motornya menuju rumah Saga. Beruntung dia pernah mengunjungi rumah itu, jadi dia tak perlu mencari alamatnya terlebih dahulu. Sesampainya di sana, dia langsung memasuki rumah setelah diizinkan oleh satpam. Namun kedua matanya membelalak mendengar perdebatan di dalam sana.

"Pergi kamu! Jangan dekati anak saya lagi!" bentak Mark pada Vita yang sedang menahan isak tangisnya.

Saga memeluk Vita, menyembunyikan gadis itu pada dada bidangnya. "Pi ... Saga mohon, kali ini aja."

Mark mengangkat tangan kanannya, bermaksud menghentikan ucapan Saga. "Pergi dari rumah saya sekarang, jangan pernah dekati Saga."

"Apa-apaan ini? Berani sekali Anda membentak adik saya seperti itu," ucap Raga sambil menarik tubuh Vita dari Saga.

"Oh, dia adik kamu. Bawa dia pergi dari sini, saya tidak merestui hubungan anak saya dengan gadis itu."

Raga mengangguk mantap, dia menunjukkan jari telunjuknya sambil menggertakkan gigi hingga berbunyi gemelatuk. "Saya juga tidak menyukai anak Bapak berhubungan dengan adik saya. Satu yang harus Anda ingat, kalian akan menyesal karena sudah memperlakukan adik saya seperti ini. Camkan itu!"

Pandangan Raga beralih pada Saga yang tengah menatapnya penuh harap, dia hendak memukul laki-laki itu tetapi Vita berhasil menahan tangannya. "Lo enggak ada hubungan lagi sama Vita. Jangan pernah nunjukin muka lo itu di depan gue lagi."

Mark hanya diam, tak menyahuti ucapan Raga yang cukup membuat emosinya memuncak. Dia menahan tubuh Saga ketika laki-laki itu hendak mengejar Vita. Bukan hanya Saga, Mita pun ikut hancur melihat keadaan anaknya seperti itu. Namun dia tak bisa melakukan apapun, yang dilakukan suaminya sudah benar. Dia yang salah karena sudah mendukung Saga.

"Pi ... kenapa?" pekik Saga dengan kaki melemas, tubuhnya ambruk ke lantai. "Kenapa nasib Saga kaya gini?"

"Maafin Papi, Nak. Semua ini untuk kebaikan gadis itu. Seharusnya kamu tidak mendekati dia, cukup pantau dia dari jauh kalo kamu beneran sayang sama dia." Mark memeluk putranya yang kehilangan kebahagiaannya.

"Saga ...." Mita mengulurkan tangannya untuk mengusap surai putra semata wayangnya. Detik berikutnya, dia berteriak saat Saga kehilangan kesadarannya.

🕓🕓

"Lihat, lihat yang mereka lakuin sama lo! Gue udah bilang 'kan. Jauhin Saga." Raga melempar tas kecil yang berisi ponsel untuk Vita. Dia sudah membeli benda itu sepulang sekolah, itulah sebabnya dia tidak menemani Vita hingga Pak Deni menjemputnya.

Vita mendudukkan dirinya di sofa, meratapi semua nasibnya yang sudah puluhan kali dihancurkan oleh orang lain. Dia tak habis pikir, juga tak mengerti mengapa Papinya Saga tak menyukainya. Apalagi Mita, wanita itu terlihat mendukung sebelumnya. Akan tetapi, dia tak menghentikan Mark yang bersikap seperti itu padanya.

Raga hanya memejamkan matanya, menahan seluruh hasrat yang muncul ketika dia marah. Dia segera berlari ke kamarnya, membuka nakas yang sudah dikunci agar dia tak membukanya kembali. Namun sekarang dia membutuhkan benda itu. Digoreskan ujung benda itu pada tangan kirinya.

"Kak, cukup!" teriak Vita sambil berusaha mengambil alih benda tajam itu dari tangan Raga.

"Enggak, pergi! Tinggalin gue sendiri!"

Usaha Vita berhasil, dia memegang pisau lipat yang sudah berlumuran darah Raga. Laki-laki itu memejamkan matanya sambil bersandar di tempat tidur. Sedikit berbeda sensasi menyakiti dirinya sendiri. Raga tak biasa melakukan itu.

Vita membawa pisau itu ke kamar mandi di kamar Raga. Menyalakan shower dan menyayat lengannya yang sudah lama tak tersentuh oleh benda tajam. Darah segar mengalir, bercampur dengan air hingga bersimbah ke mana-mana. Luka yang sudah mengering kembali terkoyak, bahkan luka baru ini lebih dalam dari sebelumnya.

"Harusnya aku enggak pernah jatuh cinta," lirih Vita sambil mendudukkan dirinya di lantai.

"Vita, buka pintunya!" teriak Raga sambil menggedor-gedor pintu kamar mandi.

Vita membawa pisau lipat milik Raga, pisau yang sangat tajam dan tidak sesuai untuk penderita self harm untuk melancarkan aksinya. Tak mendengar jawaban, dia mendobrak pintu itu. Pintu itu cukup kuat, tiga kali dobrakan tak mampu merobohkannya. Hingga usaha terakhir, Raga berhasil membuka pintu itu.

"Siniin pisaunya!" ucap Raga sambil berusaha mengambil benda itu.

"Kak .... bunuh Vita. Kakak butuh seseorang 'kan buat lampiasin hasrat itu? Ayo, lukain Vita. Tubuh Vita butuh dilukai."

Raga terdiam beberapa saat. Logika dan hatinya berperang. Mengambil pisau itu lalu pergi, atau mengambil dan menggoreskannya pada tubuh Vita. Hatinya tak pernah menang melawan logika, dia adalah pembunuh yang tak memiliki rasa kasihan ataupun peduli. Diambilnya pisau itu dan menusukkannya pada paha Vita.

"Arrrgggghhh," pekik Vita dan Raga bersamaan sambil memejamkan kedua matanya.

Ketika sang psikopat dan penderita self harm bersama, mereka saling melengkapi. Vita butuh dilukai untuk pengalihan rasa sakit, dan Raga butuh tubuh seseorang untuk meredam hasrat membunuhnya. Namun kali ini sedikit berbeda, Vita ingin mengakhiri hidupnya. Dia tidak pernah memiliki keberanian dan niatan untuk itu, dan mungkin sekarang adalah waktunya.

Perlahan kesadaran Vita menghilang, darah segar terus mengalir dari tubuhnya. Saat itu pula, Raga tersadar dari perbuatannya. Dia membelalakkan kedua matanya saat melihat tubuh Vita yang sudah tidak baik-baik saja. Saat itu pula, air mata menetes dari pelupuk matanya.

"Bi ... Bi Inah!" teriak Raga sambil memeluk tubuh Vita.

"Non Vita? Non Vita kenapa, Den?" tanya Bi Inah saat melihat tubuh Vita dan juga Raga yang bersimbuh darah.

"Bantu bawa dia ke rumah sakit, panggil Pak Deni. Cepetan Bi!" perintah Raga sambil menepuk pipi Vita berkali-kali. "Ta, sadar! Gue mohon, bangun!"

Perlahan kelopak mata Vita terbuka, dia mengerjap pelan. "Kak ... maafin Vita."

"Enggak. Gue enggak akan pernah maafin lo, kalo lo berani tutup mata!" ucap Raga dengan kedua mata memerah.

Tidak bisa, Vita kembali memejamkan matanya membuat Raga berteriak histeris. Laki-laki itu melirik pisau lipat yang tergeletak di lantai, diambilnya benda itu dan dilempar ke luar kamar mandi. Benda itu ... dia yang sudah menyakiti Vita. Gadis yang begitu disayanginya kini berada di ambang kematian karena dia.

🕓
🕓

See you♡

Detak-Detik [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang