Pergi bukanlah solusi, hanya mengistirahatkan diri dari segala hal yang menyakiti hati.
🕓🕓
Sinar matahari tak begitu terik, langit berwarna abu sedikit menghitam. Meski begitu, hujan tak segera datang. Tiupan angin yang menyejukkan mengubah suasana siang yang biasanya panas seperti menjelang malam. Saat-saat inilah yang membuat para manusia betah untuk sekedar merebahkan tubuhnya di balik selimut tebal.
Pyar
Suara pecahan yang berasal dari dapur cukup membangunkan ibu dan anak yang sedari tadi tertidur pulas di kamar masing-masing. Seorang gadis berdiri di dekat rak piring tengah membelalakkan kedua matanya. Setumpuk piring yang dibawanya sudah hancur tak terbentuk di lantai, pecahannya berserakan di mana-mana.
"Aduh, gimana ini?" gumam gadis itu sambil memunguti pecahan piring dengan sangat hati-hati. Dia menghentikan gerakan tangannya saat mendengar langkah kaki mendekat ke arahnya.
Seorang wanita menatap tajam pecahan piring dan si gadis bergantian. "Astaga ... benar-benar anak ini. Kamu itu gimana sih, masa nyuci piring aja enggak becus?"
"Maafin Renza, Ma ... tadi tanganku tiba-tiba kram, jadi enggak sengaja jatuhin piringnya." Gadis itu menunduk dalam sambil memejamkan kedua matanya.
"Saya enggak terima alasan apapun, kamu memang anak enggak berguna. Saya menyesal sudah membiarkan kamu tumbuh di rahim saya, dan jangan pernah panggil saya mama! Letta anakku satu-satunya!"
"Kenapa Mama enggak bunuh aku aja?" jerit Renza dalam hati.
Meski kelopaknya tertutup, air matanya lolos mengalir deras tanpa permisi. Kalimat itu yang paling Renza benci, dan kalimat itu juga yang selalu keluar dari bibir Alma. Tanpa orang tua sadari, perkataan mereka-lah yang paling ampuh mematahkan hati anaknya. Terlalu sering dipatahkan, kini hati Renza sudah hancur berantakan.
"Ada apa sih, Ma?" tanya Letta sambil membenarkan letak rambutnya.
Tatapan Alma melembut, dia tersenyum ke arah Letta lalu merangkul gadis itu. "Enggak ada apa-apa, Sayang ... ayok kita tidur lagi."
Setelah kepergian mereka, Renza mengusap air matanya dengan kasar lalu berlari menuju kamarnya. Tujuannya saat ini adalah kamar mandi. Setelah mengunci pintu, dia meraih sebuah cutter di tempat penyimpanan sikat gigi. Pelan tapi pasti, ujung cutter itu menyayat kulit lengan kanannya.
Cutter itu tak akan berhenti sampai Renza merasakan sakit yang dapat mengalihkan rasa sakit dalam hatinya. Dia ingin marah, ingin menangis, ingin teriak sekencang-kencangnya. Namun, semua itu hanya angan belaka, yang dia bisa hanya melukai dirinya sebagai pelampiasan. Tak ada tempat bercerita, hanya kamar mandi yang menjadi saksi bisu pahitnya kehidupan gadis itu.
Sebuah ide terlintas di kepalanya, dia segera membilas luka-lukanya yang mengeluarkan banyak darah. Segera dia memasukkan beberapa pakaian, dompet dan ponsel ke dalam tasnya dan bergegas pergi lewat pintu belakang. Entah ke berapa kalinya dia melakukan ini dan selalu gagal, dia berharap kali ini akan berhasil.
KAMU SEDANG MEMBACA
Detak-Detik [END]
Ficção AdolescenteHidup dalam kematian, seperti manusia kehilangan nyawa. Ya, itulah arti vita tanpa jiwa, raga, alam dan kisah. Akankah vita tetap ada tanpa mereka? Atau melanjutkan hidup dalam penantian? *** Start : 02 Juni Finish : 28 Juli -Lumajang, 2021