Lentera mulai memadam, secercah harapan pun lenyap ditelan gelapnya malam.
🕓🕓
Angin kencang datang bersamaan dengan gulungan ombak. Hanya sekejap, pergi membawa bebatuan kecil hingga tenggelam. Ciri khas pantai dengan hamparan air yang begitu luas, juga pasir berwarna putih. Satu lagi yang tak boleh ketinggalan, pohon kelapa dengan daun yang menari-nari.
"Regan, aku udah basah semua. Rasain ini!" Sofia menyiratkan air laut saat ombak datang menenggelamkan kakinya.
Regan dan Sofia, mereka tertawa lepas menikmati waktu sorenya. Hampir seluruh pakaiannya basah, tetapi mereka masih enggan untuk menghentikan kegiatannya. Tanpa sadar, seseorang mengamati mereka dengan senyum masamnya.
Ombak besar datang, Regan langsung memeluk Sofia untuk menahan gadis itu agar tak terbawa arus. "Sofia, awas!" Benar saja, air laut menenggelamkan seluruh kaki mereka.
"Wah modus nih," ucap Sofia sambil mendongakkan kepalanya.
"Biarin aja. Lagian kalo aku enggak meluk kamu, pasti udah hanyut tuh dimakan hiu," sahut Regan sambil menumpukan dagunya di kepala Sofia.
"Enggak lah, hiunya enggak mau makan aku. Katanya kasian, nanti pacarnya nangis." Sofia melepaskan diri dari pelukan Regan, berlari menuju pohon kelapa dan duduk di bawahnya.
"Jelas nangislah, masa Tuan Putrinya hilang diem aja." Regan berjalan menghampiri gadisnya.
"Cengeng."
Regan mengangkat tangannya hendak melempar bola-bola pasir. Namun kedua matanya membelalak melihat buah kelapa berwarna kecoklatan hendak jatuh tepat di atas kepala Sofia. Dia segera berlari dan berdiri di depan gadis itu sambil memeluk pohon. Alhasil, punggungnya yang tertimpa oleh buah kelapa itu.
"Regan? Kamu enggak apa-apa?"
"Enggak apa-apa gimana? Ketimpa buah rambutan aja sakit. Lah ini kelapa, Bro."
"Aduh ... kamu kenapa enggak teriak aja sih nyuruh aku ngehindar." Sofia memeriksa punggung Regan yang sedikit kemerahan. "Dikasih apa biar mendingan?"
"Dipeluk pasti hilang tuh sakitnya," sahut Regan sambil menaik turunkan kedua alisnya.
Sofia memukul punggung Regan, membuat sang empu mengaduh kesakitan. Reflek dia langsung berpindah, berdiri di depan laki-laki itu dan memeluknya. "Makasih ya, Sayang."
Regan membalas pelukan Sofia dengan senyuman lebar. "Iya, sama-sama. Udah jadi tugasku buat jagain kamu."
Seseorang yang melihat mereka pun menitikkan air matanya. Laki-laki yang dia suka sedang berpelukan dengan sahabatnya. Mungkin ini karma baginya yang memilih diam dan memendam seluruh perasaan. Dia berbalik, tak tahan melihat pemandangan itu.
"Sakit, ya?"
Elsa mengusap air matanya kasar sambil mengedipkan kedua matanya berkali-kali. "Apaan sih lo?"
Leo meletakkan kedua tangannya di bahu Elsa sambil berkata, "Udahlah, Sa. Berhenti suka sama dia, perasaan itu cuma bikin lo sakit hati."
"Kenapa gue bisa suka sama dia sih, Le? Kenapa gue enggak bisa lupain dia?" Elsa menatap Leo sebentar, lalu dia menutup matanya. Seketika air matanya mengalir deras dan langsung dihapus oleh ibu jari Leo.
"Sa, lupain seseorang emang bukan hal mudah. Tapi bukan berarti enggak bisa. Kalo lo berusaha, perlahan lo pasti bisa lupain dia."
Elsa membuka kedua matanya, tentu langsung berkontak dengan Leo. Tatapan laki-laki itu melembut, seakan menghipnotis Elsa dan membuatnya mengangguk. Gadis itu menubruk dada bidangnya, masuk ke dalam dekapan Leo. Hati Leo ikut teriris melihat air mata Elsa untuk laki-laki lain. Namun dia tak bisa berharap banyak, dia bukan tak memiliki tempat di hati gadis itu.
"Cie ... ada yang kasmaran nih," teriak Regan membuat kedua sejoli yang sedang berpelukan itu salah tingkah.
"Apaan sih lo. Udah ah gue mau pulang," timpal Elsa lalu berlari menuju parkiran. Dia mengedarkan pandangannya saat tak mendapati mobil Saga dan juga motor milik Raga.
"Kenapa, Sa?" tanya Sofia sambil menghampiri gadis itu.
"Mereka udah pada pulang?"
"Bentar, gue telfon Saga dulu." Leo merogoh saku celananya, mencari kebrradaan ponsel miliknya. "Ternyata dia udah chat gue, katanya balik duluan."
"Oh ... yaudah deh kalo gitu."
🕓🕓
Sesampainya di rumah, Raga langsung menarik tangan Vita untuk masuk ke dalam rumah. Gadis itu menangis, takut melihat Kakaknya yang dalam mode marah seperti ini. Bagimana tidak takut? Raga bukanlah manusia normal yang jika sedang marah akan meluapkan dengan omelan.
"Duduk!" Raga menunjuk sofa putih yang berada di samping Vita. "Hapus air mata lo."
Meski sedang marah, dia masih tidak bisa melihat Vita dalam kondisi seperti ini. Dia mengulurkan sekotak tisu dan segera diterima oleh gadis itu. Dengan tangan gemetar, Vita menghapus air matanya. Tangis itu tak sepenuhnya hilang, suara sesenggukan masih terdengar jelas di telinga Raga.
"Kenapa lo bantuin dia buat deket sama gue?"
Vita mengatur napasnya sambil mengelap air mata yang terus mengalir tiada henti. "Aku enggak tega mau nolak permintannya. Anna itu temen pertamaku, Kak ...."
Raga memejamkan matanya sejenak, lalu duduk di samping Vita. "Lo tau 'kan gue bukan manusia normal? Gue bisa aja nyakitin lo, apalagi Anna yang enggak ada hubungan darah sama gue."
"Iya, aku tau. Tapi aku bener-bener bingung harus gimana," jawab Vita di sela-sela tangisnya. Kepalanya menunduk, tak berani menatap wjaah Raga.
Raga membawa tubuh Vita ke dalam dekapannya. Dia memejamkan kedua matanya kembali, menahan perihnya belati yang menusuk ulu hati saat melihat air mata gadis itu. Vita benar, dia pasti berada di posisi yang sulit antara sahabat dan juga kakaknya.
"Maafin Kakak ...." Raga melepas pelukannya lalu mengangkat dagu Vita agar dia membalas tatapannya.
Vita merasa lega saat mendapati tatapan Raga berubah melembut seperti biasanya. Bukan biasa, hanya kepada dirinya. "Aku yang harusnya minta maaf. Maafin Vita karena udah lancang ngelakuin itu."
Raga mengangguk, tangannya terulur mengusap air mata Vita yang hampir mengering. "Gue minta sesuatu sama lo, bisa?"
"Apa?"
"Jauhin Saga."
Deg
Dunia Vita berasa runtuh seketika. Saga adalah kekasih pertamanya, seseorang yang begitu dia cintai, dan sekarang apa? dia harus menjauhinya? Sepertinya tidak mungkin. Akan tetapi, ini adalah permintaan pertama Raga. Jika dia menolak, banyak kemungkinan buruk yang akan terjadi.
"Kak-"
Raga membekap mulut Vita dengan tangan kanannya, tak ingin mendengar sesuatu dari mulut kecil itu. "Gue udah tau jawabannya."
"Maaf ...." Vita menundukkan kepalanya kembali.
"Princess enggak boleh nunduk, nanti mahkotanya jatuh." Tangan Raga terulur mengangkat dagu Vita. "Enggak boleh nangis, nanti cantiknya hilang."
"Kakak enggak marah?" tanya Vita dan dibalas anggukan oleh Raga.
"Marahlah. Tapi gue enggak mau liat lo nangis lagi, gue cuma mau liat lo senyum."
Perlahan, Vita menarik kedua ujung bibirnya ke atas. Tanpa sadar air matanya menetes, sontak langsung dihapus oleh jemari Raga. Dia menghambur ke dalam pelukan kakaknya. Menumpahkan semua perasaannya dalam kehangatan itu. Raganya berubah, hanya untuk melihatnya tersenyum.
🕓🕓
See you♡
KAMU SEDANG MEMBACA
Detak-Detik [END]
Teen FictionHidup dalam kematian, seperti manusia kehilangan nyawa. Ya, itulah arti vita tanpa jiwa, raga, alam dan kisah. Akankah vita tetap ada tanpa mereka? Atau melanjutkan hidup dalam penantian? *** Start : 02 Juni Finish : 28 Juli -Lumajang, 2021