08 | Tangis

25 9 4
                                    

Air mata bukanlah tanda seseorang lemah, tetapi arti betapa sakit hatinya yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Air mata bukanlah tanda seseorang lemah, tetapi arti betapa sakit hatinya yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata.

🕓🕓

Memasak mungkin menjadi hal paling sulit untuk beberapa perempuan. Lain dengan Vita, memasak sudah menjadi pekerjaan yang paling dia sukai. Setelah dua jam dia berkutat dengan alat-alat dapur, semua menu yang direncanakan pun siap di meja makan. Gadis itu tersenyum puas sambil menatap masakannya satu-persatu. Mulai dari seafood, sayur, hingga makanan pencuci mulut.

"Nih, Bi. Cobain dulu, terus sebutin kurangnya apa," ucap Vita sambil menyodorkan sepotong kue keju.

Bi Inah menerima suapan Vita lalu mengunyah dengan ekspresi berpikir. "Enggak ada kurang sama sekali, Non. Masakan Non Vita semuanya enak!"

Kedua mata Vita berbinar. Bi Inah adalah orang kedua setelah papa tirinya yang memuji masakannya. Bukan tanpa alasan dia membuat kue keju, itu adalah salah satu makanan kesukaan Davin. Alma dan Letta? mereka hanya bisa berkomentar. Vita membuka celemeknya lalu menuju ke dapur, mencuci tangan dan kembali ke meja makan.

"Bi, tolong panggil Pak Deni ya. Aku panggil Raga," pinta Vita sambil menuang air putih ke dalam gelas dan meminumnya. Memasak membuat tenggorokannya kering.

Bi Inah menggeleng cepat lalu berdiri dari kursi itu. "Enggak usah, Non. Kita makan di belakang aja. Saya sudah enggak enak biarin Non Vita masak sendiri, masa saya sama bapak ikut makan di sini?"

Vita meraih tangan Bi Inah dan menggenggamnya erat. Dia menatap wanita itu sambil menyunggingkan senyumnya. "Bi, emangnya kenapa? Bibi kan jadi keluargaku sekarang, lagian Vita lagi pengen masakin Raga."

"Non Vita mirip banget sama Nyonya Diana, kalian sama-sama baik. Padahal kita cuma pembantu, tapi sudah dianggap seperti keluarga sendiri." Bi Inah tersenyum haru hingga tak sadar meneteskan air matanya. Dia merindukan sosok Diana dan semua sikap baiknya.

Setelah adegan mengharukan itu selesai, mereka memulai acara makan malam bersama. Hanya terdengar dentingan sendok dan pujian Pak Deni juga Bi Inah untuk masakan Vita. Raga terlihat sangat menyukai masakan adiknya, terbukti karena laki-laki itu makan dengan sangat lahap. Bi Inah tersenyum haru merasakan kehangatan di rumah ini, setelah belasan tahun hanya makan bertiga bersama Diana.

"Ga, kamu enggak lupa kan besok kita harus ke tempat makan Nenek?" tanya Vita saat makan malam selesai.

"Iya," jawab Raga singkat lalu meneguk air minumnya.

"Aku udah hubungin salah satu pelayan resto itu, besok pagi mereka bersih-bersih. Siangnya, kita dekor ulang sama ubah tata letak," jelas Vita.

"Perlu saya bantu, Non?" tanya Pak Deni.

"Boleh, besok Bapak anterin aku sama Raga." Vita menyodorkan sepiring kue keju buatannya pada Raga. "Cobain, Ga."

"Enggak suka," jawab Raga membuat Vita mendesah pelan. "Gue ke atas dulu."

Detak-Detik [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang