Wendy Queenza, perempuan yang kini memasuki usia 29 tahun. Perempuan kolot yang sangat percaya semua mitos dan petuah nenek moyang. di antara teman-temannya yang bebas, dia yang paling cupu.
Bagi Wendy, pacaran itu hanya pegangan tangan. Tidak boleh lebih. Tak heran dia banyak di tinggalkan oleh mantan-mantannya terdahulu karena kekolotannya di zaman yang sebebas sekarang ini.
"Kali ini alesan putusnya apa?" Dini terlihat sudah malas bertanya seperti itu.
Hampir dari 6 mantan Wendy pasti putus dengan alasan tidak cocok dengan segala pantangan Wendy yang memuakan.
"Ya gitu, minta ciuman tapi gue tolak. Dari awalkan udah bilang kalau gue pacaran cuma mau pegangan tangan, pacaran aja dilarang apalagi minta lebih," Wendy terlihat acuh, seolah sudah kebal dengan yang namanya patah hati.
Dini menghela nafas panjang. "Kalo gini caranya, lo terima deh soal perjodohan yang bokap lo rencanain. Lo maunya di grepe pas udah marriedkan?" wajah Dini terlihat malas, kesal pokoknya campur aduk.
Dini tahu, perbuatan Wendy sungguh mulia. Temannya dari zaman ingusan itu sungguh menghindari dosa-dosa dengan baik.
Tapi, zaman sudah berbeda di tambah lingkungan yang mereka tempati pun berbeda.
Pacaran cuma pegangan tangan bonus pelukan bisa di bilang mustahil di zaman sekarang. Paling kalau ciuman sih masih ada.
Ini Wendy? Dia hanya ingin pegangan tangan tidak lebih. Jelas banyak yang kabur atau selingkuh.
"Ga! Gue mau tentuin sendiri." ekspresi batu dari Wendy membuat Dini rasanya ingin mencakar wajah itu.
"Dengan kekolotan dan kecupuan lo itu? Ga akan berhasil, lo hubungan paling lama bertahan setahun, Wen. Mau sampe kapan? Anak gue bahkan udah mau keluar ini." di usapnya perut yang buncit itu.
Wendy terlihat acuh dengan fokus ke beberapa lembar kertas hasil pekerjaannya hari ini.
Wendy melirik jam tangan yang melingkar di lengannya. Tinggal 30 menit lagi, dia akan pulang.
"Tugas lo udah beres? Mau di setor ke atasan bentar lagi." Wendy melirik Dini sekilas, mengabaikan celotehan bumil itu.
Dini yang ingat itu kelabakan di mejanya, dia belum menyentuhnya sama sekali.
***
Bergelung di perusahaan besar penerbit majalah kadang membuat Wendy jenuh. Gosip-gosip para artis yang pacaran, menikah dan bercerai menjadi topik yang sering dicari dan dikerjakan.
Percintaannya saja rumit, ini harus memikirkan percintaan orang lain. Sungguh beban, namun gajinya yang lumayan membuat Wendy enggan menyerah.
Hidup di tengah perkotaan yang serba modern membuatnya harus serajin mungkin mengumpulkan uang. Mengandalkan uang orang tua pasti tidak akan cukup.
"Wen, ayo masuk." teriak Dini di dalam mobil milik suaminya.
Wendy yang tengah menunggu bus di halte jelas saja tidak akan melewatkan tawaran tumpangan dari Dini.
"Gue mau ke apartemen lo dulu ambil yang semalem." alis Dini naik turun dengan senyum menyebalkan.
Wendy hampir melupakan soal paket yang datang dan mengejutkannya itu. Bayangkan saja, dia itu baru putus kemarin dan tiba-tiba datang paket dengan isi alat-alat bantu seks.
Dia tidak semiris itu untuk memuaskan diri dengan barang-barang aneh itu.
"Lo emang parah ya, Raz!" Wendy terlihat marah pada Razi yang kebetulan sahabatnya dari SMA yang kini menjadi suami Dini. "Istri lo lagi hamil dan lo beli alat cambuk buat seks kalian? Gila lo!" semprotnya.