Adimas mengangkat koper berat itu dengan wajah yang berseri, apalagi setelah mendengar kalau perceraian Dini tidak di persulit. Maafkan dia yang malah senang di atas penderitaan orang lain.
"Gibzan," Wendy menyambut riang ke hadiran bayi gembul itu.
"Ihh ketawa," Alam ikut gemas, mengunyel pipi Gibzan yang kini sudah beralih ke gendongan Wendy.
Alam semakin senang saat Wendy terlihat cerah karena anak kecil.
"Titip Gibzan ga papa? Gue mau beres-beres,"
"Ga masalah, gue bawa ke apart ya," tanpa menunggu jawaban, Wendy banting stir.
Alam menepuk bahu Adimas. "Bantuin biar cepet," setelahnya menyusul Wendy.
Dini terlihat acuh, sibuk dengan beberapa tas lalu membawanya masuk di susul Adimas.
"Mau di simpen di mana?" Adimas bertanya seraya menyeret koper berat itu masuk.
"Bentar.." Dini melarikan kakinya ke satu ruangan. "Ini kamar? Kok udah rapih?" di amati ruangan itu.
"Udah gue siapin semuanya, lo tinggal beres-beres dikit, paling baju-baju."
Dini sontak menatap Adimas dengan haru. "Makasih, tanpa lo gue ga tahu—"
"Sama-sama." Adimas mengusap pipi Dini tanpa sadar, kebiasaannya dulu seolah bangkit. Adimas menarik tangannya cepat. "So-sorry, gue refleks," gugupnya.
Dini berpaling agak salah tingkah. "Ga masalah, gue beresin dulu baju Gibzan biar ga kotor," setelahnya menuju lemari.
Adimas membantu menata, terlihat nyaman dengan kegiatannya merapihkan mainan dan beberapa sepatu mini itu.
"Ini kaki Gibzan? Astaga.." Adimas sungguh gemas.
Dini terkekeh. "Lucu bangetkan," balasnya dengan posisi memunggungi Adimas.
Adimas bergumam setuju, mengamati semuanya dengan mood yang baik. Dirinya sendiri tidak paham, kenapa dia begitu jatuh cinta pada Gibzan.
***
"Nanti kita juga gini, gendong bayi yang wanginya gemes," saking gemes Alam malah mengigit pipi Wendy sebagai peralihan.
"Ih! Udah 3 kali gigit terus, sakit, Alam!" Wendy sampai merengek karena terus di jadikan sasaran gemas.
Alam tertawa renyah, mengusap pipi Wendy seraya mencup-cup bagai membujuk anak kecil.
"Gibzan tidur, tidurin di kamar aja?" Wendy menatap Alam yang mengangguk.
"Lucu banget," gumam Wendy seraya menggendong Gibzan dengan hati-hati.
Suatu hari nanti, kalau memang rezekinya, dia akan menggendong bayinya sendiri. Pemikiran itu kini semakin membuat perasaannya menghangat.
"Lelap ya," bisik Alam pada Wendy yang kini berdiri di sampingnya, di pinggir tempat tidur.
"Hm.." Wendy menyandarkan kepalanya di dada Alam, mengamati lucunya Gibzan di tengah kasur.
"Anak kita pasti selucu, Gibzan," Alam mengusap perut Wendy yang membuncit itu.
"Hm,"
***
Adimas masih betah diam, menatap lekat Dini yang tertidur di sofa dalam keadaan duduk saking lelahnya.
"Din.."
Dini menggeliat, perlahan membuka matanya. "Aduh! Gue ketiduran ya?!" pekiknya lalu menata rambut sembari berdiri.
"Lanjut aja di kamar, Gibzan juga tidur di tempat Alam,"
Dini menggeleng. "Lanjut beres-beres aja biar— loh?!" betapa kagetnya dia saat semua sudah rapih.
"Udah gue beresin, gih tidur lagi," Adimas berdiri, mengusap kepala Dini sekilas lalu berlalu keluar apartemen.
Adimas takut jiwa bajingannya bangkit, dia ingin menyerang Dini rasanya.
Dini menghela nafas, memutuskan menuju kamar untuk melanjutkan tidur sebentar. Tubuhnya terlalu lelah apalagi hatinya.
Dini sedang mencoba menepis sebuah harapan di hatinya soal Adimas yang bisa menjadi ayah sekaligus pendampingnya.
Di tempat Alam, Adimas hanya duduk dengan pikiran kusut.
Alam mendekati Adimas yang tidak seperti biasanya itu. "Kenapa? Ada masalah?" tanyanya lalu duduk di samping Adimas.
Adimas hanya melirik sekilas. "Gue kayaknya belum move on dari Dini, gue malah seneng dia cerai, salah ga sih, Lam?" tanyanya lesu.
Alam tersenyum tipis. "Gass aja, perjuangin kalau lo masih cinta. Gibzan lucu, jangan sampe jatuh ke tangan yang salah," jawabnya.
Adimas tersenyum tipis. "Gibzan kayak gue kecil ya, Lam," binar mata Adimas berubah cerah.
"Banget, kayak jiplakan. Dini benci kali waktu hamil sama lo,"
Adimas terkekeh. "Gue ga paham, kalau emang benci kenapa sekarang dia terima keberadaan gue? Bahkan Gibzan boleh panggil gue ayah kelak," terangnya.
"Lo emang ayahnya."
Adimas melunturkan senyumnya, menatap Alam serius. Alam yang sadar keceplosan jelas panik.
***
Dini membuka matanya saat merasakan lehernya di hisap dan tubuhnya seperti di tindih sesuatu.
Apa dia sedang mengalami hal gaib? pikir Dini sebelum akhirnya melotot saat Adimas yang berada di atasnya.
"Mas! Lo ngap—mphh!"
Adimas mengulum kasar bibir yang sering berdusta itu, dia akan menghukumnya.
"Ashh.." erang Dini saat merasakan Adimas menggigit bibirnya hingga anyir menyapa lidahnya.
Adimas melepas pagutan kasarnya itu lalu melirik bibir yang berdarah itu. "Kenapa bohong? Sekali pun lo hamil anak orang, gue pasti tanggung jawab. Lo tahukan secinta apa gue sama lo?!" air mata jatuh begitu saja.
Adimas sedih sekaligus bahagia saat tahu fakta kalau Gibzan benar-benar anaknya.
Wendy menceritakan semuanya sedetail mungkin, membuat Adimas terkejut saat tahu setiap faktanya.
Dini menatap Adimas dengan mata merebak basah.
"Gue saat itu bilang ga akan tanggung jawab karena lo banyak tidur sama yang lain sebenernya ga gitu! Gue cuma mau lo berhenti dan cuma tidur sama gue.."
Dini menutup wajahnya, terisak di telapak tangannya.
"Gue cinta sama lo, Din." Adimas memeluk Dini, menangis di leher Dini. "Jangan pendem semuanya, jangan gegabah, gue ga mau kehilangan kalian," lanjutnya.
Dini semakin keras terisak, semua bebannya seolah pecah seketika.
"Kita nikah, hm?" Adimas menarik jemari yang menutupi wajah Dini.