24. Cobaan Pernikahan

94.1K 5.3K 28
                                    

      Dini tersenyum ke arah Agista— mertuanya. Agista hanya mesem, masih belum merespon baik Dini. Menurut Agista, Dini terlalu biasa untuk anaknya. Apalagi saat tahu kalau Dini sempat menikah.

"Mamah mau coba gendong?" tawar Adimas dengan masih menimang Gibzan.

Agista melirik lalu menggeleng. "Kalian istirahat, mamah duluan." pamitnya menaiki tangga menuju kamar.

Dini menghela nafas pelan, dia harus sabar dan terus berusaha mengambil hati mertuanya.

Adimas meraih pipi Dini, mengecup keningnya sekilas. "Maafin mamah, suatu hari pasti mamah terima keadaan kita," yakinnya.

Dini mengangguk dengan senyum tipis. "Jadi, sementara kita tinggal di sini?" tanyanya.

Adimas mengangguk. "Ga papakan? Aku mau kamu sama mamah kenalan, bagus kalau deket," harapnya.

"Ga papa, aku emang harus berjuang," Dini mengusap pipi Adimas sekilas. "Abis berjuang di sini, kita berjuang ke rumah orang tua aku," lanjutnya.

Adimas mengangguk. "Kita harus di uji kayak gini dulu, biar kita kuat," senyum tulus terbit.

***

Dini menyiapkan piyama untuk Adimas, setelah itu beralih pada Gibzan yang menangis karena haus.

Dini duduk di ujung kasur, membiarkan Gibzan fokus dengan miminya.

Pintu kamar mandi terbuka, Adimas keluar dengan sibuk mengeringkan rambut.

"Ini piyamanya." tunjuk Dini.

Adimas mengulum senyum melihatnya lalu menghadiahi Dini dengan sebuah kecupan singkat di pipi.

"Makasih." ucap Adimas lalu mulai memakainya.

Dini memalingkan wajah, walau sudah tidak asing tetap saja rasanya risih.

Setelah selesai, Adimas duduk di samping Dini dengan fokus pada Gibzan yang mulai sayu karena kantuk.

"Ganteng banget anak ayah.." Adimas mengusap kepala anaknya sekilas.

"Dia mirip kamu banget kalau lagi mimi kayak gini," kata Dini pelan dan spontan. "ups!" Dini menutup mulutnya.

Adimas sontak tertawa walau pelan karena takut mengganggu Gibzan yang siap terlelap.

"Maksudnya—"

"Iya, paham-paham.." potong Adimas lalu memeluk Dini beserta Gibzan yang terlelap namun masih menyusu. "Malem ini capek ga?" lanjutnya.

Dini mengerjap lalu menggeleng pelan. "Engga terlalu," jawabnya.

"Begadang siap ga?" Adimas menatap Dini lekat.

Dini menelan ludah gugup, apaan sih! Kenapa kayak gadis yang gugup pada malam pertama aja!

"Hm."

Adimas sontak melebarkan senyum.

***

"Bangun, siang! Bukannya bantu masak!" amuk Agista dengan tidak pengertian.

Harusnya Agista maklum, namanya juga pengantin baru walau sudah memiliki anak. Gairah tetaplah gairah.

"Maaf, mah," Dini hanya bisa menyesal dam meminta maaf, dia tidak bisa menjelaskan kenapa sampai bangun jam 10 pagi.

"Gimana mamah bisa terima kamu kalau kelakuan ga mencerminkan seorang istri!" Agista memilih berlalu ke taman belakang.

"Mah!" seru Adimas tidak suka dengan sikap mamahnya yang berlebihan.

Untuk apa ada pembantu? Bukannya tugas pembantu itu masak dan bersih-bersih?

Kenapa harus menyalahkan Dini yang bangunnya siang? Dini tidak salah, Adimas yang salah karena terus meminta.

"Udah ga papa," Dini mengusap dada Adimas agar tidak emosi.

Adimas mengusap pipi Dini. "Maaf, gih makan dulu, biar Gibzan juga bisa makan," balasnya.

"Hm, kamu juga." Dini mulai menyiapkan makan, untuknya dan Adimas.

Setelah makan, Adimas dan Dini memutuskan untuk ke taman belakang.

Agista melirik Adimas yang menggendong bayi gempal itu. Agista memalingkan wajahnya saat bersitatap dengan Dini.

"Mah, liat cucu mamah," kata Adimas riang. "Pake seragam pilot, ganteng banget," lanjutnya.

Agista melirik dengan ragu, dia sebenarnya tertarik pada Gibzan. Agista juga yakin kalau itu darah daging Adimas.

Tapi, dia gengsi. Dia dari awal sudah menentang pernikahan Adimas dan Dini.

Apartemen (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang