Wendy merapihkan mejanya, hari sudah mulai malam. Lembur memang menguras waktu dan tanpa sadar sudah gelap saja langit di luar.
"Mba, duluan ya.." kata anak magang yang baru kenal semingguan dengan Wendy.
"Iya, hati-hati.."
"Sip, mba juga hati-hati nanti pulangnya.."
Wendy mengangguk disertai senyum lalu membiarkan perempuan yang lebih muda darinya itu pergi.
Wendy mengamati semua sticky yang berisi jadwal, menempel mengelilingi sisi komputer.
"Tugas ini udah.." diraih sticky itu lalu diremas dan dibuang ke tong sampah mini sampingnya.
"Ini juga," Wendy kembali membaca dan terus memilih. "Ini juga udah." lalu setelah selesai meraih tas di samping.
Saatnya Wendy pulang walau sendirian tanpa Dini. Hari ini Dini izin.
"Hai.."
"ASTAGA!" kaget Wendy bahkan kakinya mundur saking kagetnya melihat Alam menjulang tinggi di belakangnya.
"Lembur ya? Sama," senyum ramah terlempar ke arah Wendy.
Wendy menekuk wajahnya tidak tertarik lalu berlalu begitu saja. Dia tidak peduli disebut sombong, diberi karma pun tidak peduli.
Wendy hanya perlu lari dari jeratan buaya jadi-jadian itu.
Cukup kesal juga kejadian pelecehan saat itu gagal ditindak lanjuti hanya karena diskusi yang berakhir perdamaian secara terpaksa demi nama baik perusahaan.
"Gue lagi ngomong," Alam mencekal pergelangan tangan Wendy.
Wendy menghentikan langkahnya lalu menyorot Alam tidak bersahabat. "Lepas!" tekannya lalu menepis kuat pegangan itu hingga lepas.
"Gue ga tahu salah gue di mana, lo kenapa sebenci itu sama gue,"
"Lo ngobrol sama gue aja salah! Jadi, jangan sapa atau apapun itu!" tegas Wendy lalu melanjutkan langkahnya.
Alam menghela nafas kasar, dengan menelan kekesalan, dia ikuti Wendy.
Wendy masuk ke dalam lift, menekan tombol ke lantai dasar dengan mengabaikan Alam. Wendy akan menganggap Alam tak kasat mata saja.
Wendy merogoh tasnya, mengeluarkan ponselnya lalu sibuk sendiri.
Alam hanya melirik dan mengamati, Wendy memang cantik bahkan manis bahkan seksi juga di waktu bersamaan, tapi karena ketidak jelasan soal membencinya membuat semuanya itu kadang tertutupi.
Lift terbuka di lantai 3, suara manusia pun menyapa begitu banyak. Ternyata hari ini banyak sekali yang lembur, mungkin karena akhir tahun.
6 orang masuk ke dalam lift, Alam memutuskan mendekat ke arah Wendy.
Alam menatap datar pria hidung belang yang terkenal di lantai 3 itu, lebih parah dari dirinya dan kini terlihat melirik ke arah Wendy tertarik.
"Hai, kamu dari lantai berapa?"
Wendy mendongak, mengamati sekilas lalu memasang wajah galak. "Ada apa ya?!" tanyanya.
Pria itu gelagapan, tersenyum canggung akibat respon Wendy yang tidak bersahabat.
Alam menahan kedut di bibirnya, ternyata tidak hanya dirinya yang ditolak mentah-mentah.
"Eh, Wendy!" sapa perempuan pendek rempong itu lalu mendekati Wendy setelah menggeser pria hidung belang lantai 3.
"Hai, udah lama ga ketemu ya," sapa Wendy ramah pada Aisa.
"Iya, kita sama-sama sibuk sih.. Eh Ares masih di perusahaan sebrang ya? Kangen kumpul kalau makan siang rasanya,"
Wendy mengangguk. "Kangen Ares juga, dia jadi susah di telepon, katanya sibuk banget." terangnya.
Alam mengamati perbincangan itu, dia pasang kuping dengan hati perlahan panas tidak jelas saat mendengar nama laki-laki yang begitu lancar keluar dari mulut Wendy.
Alam tahu siapa Ares, membuatnya semakin sebal saja.
Pintu lift terbuka di lantai dasar, semua keluar dengan Alam masih mengekor di belakang Wendy dan Aisa.
"Kalau gitu gue duluan ya, bye.." Aisa mengecup pipi Wendy sekilas lalu berlalu.
Alam mempercepat langkahnya agar sejajar dengan Wendy. "Mau gue anter pulang?" tanyanya.
Wendy diam, dia terlihat benar-benar memperlakukan Alam bagai makhluk tidak kasat mata.
"Gue tanya!" dengan kesal Alam mencengkram lengan Wendy.
"Lo ga bisa ya di bilangin! Jangan ngomong sama gue!" geram Wendy.
Alam melepas cekalannya dengan mencoba sabar. "Gue mau kenal lo," ujarnya.
"Gue ga mau kenal lo, bahkan gue ga mau ngobrol kayak gini sama lo!" setelahnya Wendy meninggalkan Alam yang diam di tempat.
"Gue malah semakin tertantang kalau gini." Alam mengusap dagunya sekilas.
***
Wendy membuka matanya saat alarm mulai membangunkannya. Akibat lembur semalam, membuat Wendy merasakan betapa lelah tubuhnya.
"Aduh.." lirihnya saat merasakan pegal di punggung dan lengannya.
Wendy dengan terpaksa harus tetap turun dari kasur dan bersiap bekerja, hari ini kerjaannya sedikit untungnya.
Ponsel berbunyi, nama Dini tertera.
"Hallo.." sapa Wendy lemah.
"Wen, gosip perceraian artis siapa sih, ah Aluna biar gue yang ambil alih, gue dapet kabar banyak soalnya."
"Hm, atur aja."
"Lo kerjain punya gue ya, yang perselingkuhan Andreasena."
Dengan malas Wendy mengiyakan. Setelah selesai menelpon dan bersiap, Wendy meninggalkan apartemen dengan masih lesu.
Tubuhnya pasti akan sakit, pikir Wendy.
Lift terbuka, Wendy masuk di temani Alam yang terlihat segar dan wanginya yang khas itu menyengat seolah ingin memikat siapapun yang menciumnya.
Wendy kembali acuh, menganggap Alam orang asing. Kepalanya Wendy sandarkan di dinding lift, sungguh pusing.
Alam melirik Wendy yang terlihat layu tidak seperti biasanya.
"Ga enak badan?" Punggung tangan Alam mendarat di kening Wendy.
Wendy jelas menepis cepat dan kasar. "Ga usah sentuh-sentuh! Ga usah ngomong sama gue!" amuknya.
Alam berdecak, dia justru akan semakin menjadi kalau di larang. "Lo kenapa sih? Kasih tahu gue alasan lo sebenci ini sama gue!" pintanya agak frustasi.
Wendy yang merasa pusing hanya diam dan kembali mengabaikan.
Alam mendekat, mengurung Wendy disudut lift itu. "Gue lagi ngomong, gue bisa hilang kesabaran asal lo tahu!" geramnya.
Wendy masih diam, mencoba mengenyahkan rasa pusing yang malah semakin menjadi.
"Wendy!" geram Alam dengan mendekatkan wajahnya pada wajah layu nan pucat itu. "Lo sakit?" amarahnya menguap seketika.
Wendy masih diam, mengabaikan kedekatan Alam. Pusingnya semakin menjadi-jadi.
Wendy bahkan refleks memegang lengan yang mengurungnya itu, matanya terpejam dengan keringat mulai timbul di pelipis.
Alam spontan menahan pinggang Wendy saat tubuhnya tidak tegak sempurna.
"Lo sakit, kenapa paksain kerja?!" Alam menggendong Wendy yang pasrah itu.
Alam pun memutuskan membawa Wendy ke rumah sakit saja.