23. Sah

68.1K 5.6K 46
                                    

        Alam membungkuk sopan, di depannya sudah ada keluarga besar Wendy yang terlihat tidak ramah sama sekali. Mungkin karena masalah Wendy yang hamil di luar nikah membuat mereka malu dan merasa terbawa-bawa.

"Setelah melahirkan, baru kita nikahkan," Abraham membuka suara saat hening cukup lama memeluk mereka.

"Wendy, jujur, pasti kamu di paksa pria itukan?" Alya bertanya dengan pandangan prihatin pada Wendy yang tengah mengusap perut besarnya.

"Namanya Alam, tante. Dia calon suami Wendy, tolong jangan memandang Alam kayak gitu. Kita bukan suka sama suka, bukan juga karena ada unsur paksaan, kita bener-bener kecelakaan waktu itu," jelas Wendy dengan bibir bergetar dan kedua mata berkaca-kaca.

Alya berdehem kecil dengan masih mempertahankan ekspresi tidak sukanya pada Alam. "Terus gimana kronologinya?" tanya Alya agak sewot.

Wendy menyeka air mata, mengabaikan usapan dan pijatan kecil jemari Alam di punggungnya yang jujur saja enak karena sedang pegal.

"Waktu itu ada acara kantor, maafin Wendy karena saat itu berani nyicip minuman haram. Kita berdua mabuk," jelasnya dengan kepala menunduk dan suara mengecil di akhir.

Abraham yang memang sudah tahu hanya diam. Berbeda dengan keluarganya yang lain, ada yang prihatin dan banyak ekspresi lainnya. Bisik-bisik pun mengiringi.

Nenek Wendy masih diam dengan tenang, dia percaya kalau Wendy hanya mengikuti takdirnya. Semua yang terjadi mungkin kehendak sang pemilik takdir.

Yang terpenting dia sudah berusaha mendidik Wendy sebaik mungkin, urusan di taati atau tidaknya larangan itu balik lagi pada Wendy.

Wendy tidak nakal, itu yang neneknya yakini.

"Makanya aku ga kasih izin Mawar ke kota, sepolos apapun pasti tergiur sama kemewahan di sana yang buat manusia gelap mata dan nyoba," sahut Yeli, adik paling bungsu dari Abraham. Dia menyamaratakan semua orang kota yang padahal tidak semuanya begitu.

Alam agak tersinggung, perkataan tante Wendy seolah menyudutkan Wendy yang tipis iman. Jelas saat itu karena ulahnya yang menawarkan minuman dan Wendy menerima demi kesopanan.

"Wendy ga goyah, dia menjaga ajaran dari neneknya dengan sangat-sangat baik. Bahkan Wendy di bully di sana karena kekolotannya, larangan dan mitosnya. Wendy saat itu terdesak, melakukannya demi sopan santun di depan atasan dan tentunya salah saya yang menawarkan itu!" Alam berujar penuh pembelaan.

Wendy menyeka air mata, mengusap jemari Alam agar tidak tersulut emosi. Alam sedang proses mengambil hati keluarganya, jangan sampai semua kacau.

Yeli mengangkat bahu acuh, dia memang tidak suka pada Wendy karena perempuan itu terlalu mengambil fokus semua orang, terutama ibunya yang tak lain nenek Wendy.

Sekar menghela nafas pendek. "Sudah-sudah, di kumpulkan di sini bukan untuk berperang. Kita kumpul di sini untuk meluruskan gosip-gosip di luar sana. Alam sama Wendy jelas akan di nikahkan tapi setelah bayi Wendy lahir. Alam jelas bertanggung jawab, jadi jangan percaya pada gosip kalau Wendy hamil tanpa tahu ayah dari bayinya!" tegas Sekar.

Gosip menyebar di tetangga, jelas saja itu merusak citra orang tuanya. Wendy sedih tahu akan hal itu.

Jika tahu gosip akan menyebar secepat ini, dia memilih tinggal di kota sampai dia menikah.

Kumpul keluarga hari itu pun tak lama karena Wendy terus meminta ingin pulang. Keluarga Wendy memang agak menyeramkan, Alam akui itu.

"Mau pulang hiks," Wendy yang cengeng, kembali.

Alam yang baru selesai mandi jelas saja kaget. "Pulang? Ke kota?" tanyanya seraya menyeka air mata yang terus berjatuhan itu.

Wendy mengangguk. "Hidup di sana dan nikah di sana, di sini terlalu ga nyaman," ungkapnya agak manja.

Apartemen (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang