Dini terlihat jengkel, entah kenapa Gibzan hari ini begitu rewel. Dini makin merasa lelah karena mertuanya yang tidak kunjung memberinya restu.
Semua rasa kian campur aduk, Dini tidak tahu kalau perjuangannya tetap berlanjut. Dia pikir, setelah cerai semua akan normal dan hidupnya dengan Gibzan akan baik-baik saja.
Gibzan semakin kencang menangis, bukannya menenangkan, Dini malah ikut menangis saking lelahnya hati.
"Ga becus urus! Anak nangis malah-" ucapan sang mertua terhenti, begitu pun langkahnya saat melihat Dini terisak pilu.
"Aku emang ibu yang buruk, menantu yang buruk, lalu apa?" Dini menatap mertuanya kepalang lelah.
Mertuanya itu terdiam.
"Aku pul-" Adimas terdiam saat melihat Dini terisak dengan sama hebatnya dengan Gibzan.
Adimas panik, melempar tas kerjanya asal tanpa peduli ada laptop di dalamnya.
"Mamah apain mereka?!" Adimas menatap mamahnya dengan emosi yang naik.
Agista masih diam.
"Jaga nada kamu sama mamah hiks.." Dini masih perlu mengingatkan, dalam situasi apapun dia tidak mau Adimas durhaka.
Adimas menutup telinga, masih meminta kejelasan dari mamahnya.
"Kamu tuduh mamah?" Agista memasang raut tenang walau jujur saja terganggu.
Melihat Dini tadi rasanya seperti melihat dirinya dulu, saat tidak direstui juga oleh mertuanya.
"Aku tanya sama mamah!"
Dini menyeka air matanya. "Mamah ga salah hiks aku aja yang bermasalah, aku manusia hina, manusia yang ga pantes buat berdamping sama siapa pun.. Bener kata bunda, aku anak yang harusnya ga dilahir-"
"Sayang!" Adimas berseru tidak suka dengan semua ucapan Dini.
Dini menatap Adimas. "Aku mau hidup berdua sama Gibzan, harusnya aku ga terima kamu hadir lagi. 3 bulan ini cukup buat aku berpikir, aku mau cer-".
Adimas meraih Gibzan dari gendongan Dini lalu menatap Agista. "Inikan mau mamah? Anak mamah rumah tangganya hancur!" setelahnya menatap Dini. "Pergi aja, Gibzan aku bawa." lalu berlalu.
Dini menggeleng, dia mengejar Adimas yang keluar rumah dan masuk ke dalam mobil.
Tangis Gibzan makin terdengar, membuat Dini ingin ikut namun Adimas tidak mengizinkan karena setelahnya dia pergi membawa mobilnya keluar rumah.
Dini berusaha mengejar dengan terus terisak, namun Adimas tidak berhenti dan semakin jauh.
Dini berjongkok di pinggir jalan, terisak dengan lemas. Dia harus bagaimana? Emosinya sungguh kacau saat ini.
***
Gibzan terlelap dengan dot mini yang sudah tidak terisi lagi pengganti ASI. Untung Adimas tidak terlalu awam soal bayi, dia pun kenal bu Ineke yang kebetulan memiliki bayi seumuran Gibzan sehingga dia bisa bertanya-tanya agar tidak salah.
Adimas menarik dot itu perlahan, membuat Gibzan menggeliat kecil dan dengan sigap Adimas menepuk pinggangnya pelan.
Gibzan pun terlelap pulas setelah menangis cukup lama, kasihan anaknya itu, wajahnya sampai merah saat menangis tadi.
Adimas mengecup pipi Gibzan lalu merebahkan tubuhnya di samping Gibzan, memandangnya lekat.
"Ayah ga mau sampai kamu punya keluarga yang ga utuh kayak ayah.. Do'ain ayah ya, biar terus sama bunda." monolognya sebelum ikut terlelap.