Alam melirik Wendy yang masih terlelap dengan selang infus menghiasi tangan rapuh nan mungil itu. Alam tanpa sadar menyentuhnya, membandingkan dengan tangannya yang besar.
Kecil banget..
"Makan angin mulukan pasti?" ceplosnya pelan lalu menarik kembali tangannya sebelum Wendy bangun dan pasti mengamuk.
Wendykan jijik padanya.
Alam menghela nafas, merasa bodoh karena kenapa dia harus menunggu Wendy sampai sadar dan habis infusan?
Alam padahal sangat boleh untuk pulang.
"Ngapain sih gue di sini?" gumamnya lalu melirik jam di lengan kirinya sekilas.
Alam merogoh saku untuk bermain ponsel, niatnya ingin bekerja- ah ralat, dia bekerjakan selalu setengah hati.
Niatnya ingin melihat wajah serius Wendy yang sedang bekerja lalu wajah galak, seksi, imut, manis Wendy yang sedang dia usili malah jadi wajah Wendy yang pucat seperti saat ini.
Alam mendongak saat melihat Wendy bergerak dan menarik tubuh lemahnya untuk duduk.
Alam yang sibuk dengan ponsel jelas tidak sadar kalau mata Wendy sudah terbuka.
"Ck! Kenapa duduk? Lo masih harus banyak-"
"Bawel! Jangan sentuh!" Wendy menepis tangan Alam yang hendak membantunya duduk.
Dengan keras kepala Alam masih giat membantu Wendy hingga bersandar di bantal yang sudah disusun olehnya dengan nyaman.
"Jijiknya ditunda dulu, lo lagi sakit." Alam kembali duduk di kursi, mengamati wajah pucat itu.
Wendy tidak menyahut, dia memilih meraih tasnya di nakas dengan lemah.
Alam tidak membantunya karena itu mudah digapai.
"Pergi aja, lo harus kerja," Wendy berkata dengan fokus pada ponsel.
Wendy harus mengabari pihak kantor, untung kerjaannya sedikit lagi. Besok juga selesai bahkan tanpa lembur.
Wendy mendongak penasaran saat Alam tidak kunjung bersuara.
"Nah, liat orangnya kalau ngomong," Alam melipat kedua tangannya di perut. "Gue ga mau, gue harus tanggung jawab karena gue yang bawa lo ke sini," tegasnya.
Wendy malas berdebat, anggap saja Alam itu angin.
***
"Ga usah!" sewot Wendy saat Alam hendak membantunya berjalan meninggalkan rumah sakit. "Ga usah cari kesempatan!" lanjutnya.
Alam berdecak muak saat melihat tingkah Wendy, padahal dia tulus berbuat baik.
"Mobil gue di sin-" ucapan Alam menggantung saat Wendy malah memilih menghentikan taksi.
Alam sontak marah, sungguh tidak tahu terima kasih!
Wendy membuka pintu taksi namun tiba-tiba tubuhnya melayang, matanya sontak membulat kaget.
"Ga jadi, pak. Jalan!"
Wendy mengerjap lalu detik berikutnya tersadar dan mulai menggeliat ingin turun.
"Lo percaya adanya Tuhankan?"
Wendy yang meraung ingin turun sontak saja bungkam sesaat. "IYALAH! Gue takut sama dosa! Gue takut neraka!" amuknya.
Alam menurunkan Wendy, membukakan pintu untuknya dan memaksanya masuk.
Alam mengukung di pintu samping Wendy. "Jangan terlalu benci, nanti lo cinta mati. Suatu saat lo pasti ga mau gue pergi."
Wendy diam membisu.
Alam tersenyum menang, menutup pintu lalu menuju pintu kemudi dan mulai membelah jalanan kota yang ramai.
Selama perjalanan keduanya terdiam.
Wendy menghela nafas. "Biar itu ga terjadi, plis.. Lo jauh-jauh." kepalanya menoleh ke arah Alam.
Alam menoleh sekilas lalu tersenyum keren. "Gue ga mau." tolaknya.