12. Dikenalkan

69.1K 6.6K 62
                                    

     Wendy menerima air yang di berikan Alam, meneguknya sedikit karena mungkin sedang tidak ingin minum.

"Kenapa bisa kalian di atas?" Alam menyeka peluh di pelipis Wendy yang sontak Wendy tepis.

Dia tidak ingin jadi bahan gosip jika saja ada pegawai lewat dan melihat mereka.

"Bu Icha seret ke atas, kirain ada hal penting eh ternyata gara-gara buaya darat," sewot Wendy tanpa menatap Alam yang menatapnya.

Alam tersenyum tipis, mengusap kepala Wendy namun lagi-lagi ditepis cepat.

"Balik lagi jijik gue sentuh, padahal udah semua ke sen— mhh!" Alam yang mulutnya di bekap oleh telapak tangan Wendy terlihat memasang tatapan usil.

Wendy melotot sambil menarik tangannya, wajahnya ditekuk antara sebal, kesal dan jijik.

Alam tersenyum puas saat berhasil mengecup dan menjilat telapak tangan Wendy.

"Jorok! Apaan sih pake jilat-jilat, ini bukan ice cream!" gerutu Wendy seraya mengusapkan telapak tangannya ke celananya sendiri.

Alam menikmati gerak-gerik Wendy, ternyata Wendy cantik kalau diamati. Betapa beruntungnya dia karena ternyata selain seksi, Wendy juga cantik.

Ponsel Wendy berbunyi.

"Alarm? Jam 9 pagi?" heran Alam seraya melirik ponsel Wendy yang tengah dimainkan si empunya.

Alam menggeleng samar, ternyata alarm untuk memberitahu Wendy kalau ramalan zodiak harian sudah ada.

Alam sampai lupa kalau Wendy si kolot terkenal sekantornya yang susah di taklukan.

Apa kabarnya soal pacaran yang hanya pegangan tangan dan pelukan? Alam kembali merasa beruntung sekaligus menyesal karena bisa mendapatkan Wendy seutuhnya walau harus melalui jalan penuh dengan dosa.

Namun semua sudah takdirnya.

"Apa kejadian waktu malam itu, lo lupa semuanya?" Alam rasanya sudah ingin menanyakan itu dari jauh-jauh hari tapi dia takut Wendy sedih dan murung lagi.

Wendy yang serius dengan ponselnya mendongak lalu mengabaikan Alam yang artinya dia malas membahasnya.

Alam maklum.

"Mau dong, gue Scorpio," Alam mencoba mengambil topik lain.

Wendy mengangguk, mulai membacakannya walau sebenarnya Alam tidak terlalu peduli karena fokusnya masih melekat pada Wendy yang terlihat sungguh cantik.

"Udah ga papa? Yang merah ini bekas tamparan ya?" Alam mengusap sekilas pipi Wendy sebelum Wendy kembali menepisnya.

Wendy menggeleng. "Ga terlalu," balasnya dengan tidak berani menatap Alam lama.

Wendy baru sadar kalau setelah kejadian hari itu, dia dan Alam terlalu dekat bahkan tidur di satu kasur dengan posisi saling memeluk.

Wendy mengerang dalam hati, betapa dia cengeng dan manja pada Alam. Wendy baru sadar hari ini setelah berurusan dengan bu Icha. Apa karena kalut makanya Wendy seolah hilang arah dan lupa soal sikap dirinya sendiri?

Wendy yang membenci Alam menjadi sangat ketergantungan pada Alam? Sudah gila memang!

"Kenapa?" Alam menarik dagu Wendy agar bisa menatapnya.

"Jangan sentuh-sentuh, nanti ada orang liat kita bakalan jadi—"

"Mau lanjut kerja atau pulang?" Alam memotong ucapan Wendy.

"Kerja aja, ga pa—"

"Ga ada Dini yang jagain, mereka semua ga jauh beda sama bu Icha. Jadi, pulang."

***

Wendy menatap jalanan yang di lewati mobil Alam dengan wajah suram.

Wendy sangat yakin kalau sekarang dia sedang banyak dibicarakan orang di kantornya. Apalagi saat Alam memaksa ingin mengantarnya pulang.

Wendy mengusap telinganya yang panas dan sesekali berdengung itu. "Pasti jadi topik panas, grup sampe rame." gumamnya seraya melirik ponselnya yang terus menyala, banyak pesan masuk dalam grup kantor.

Alam yang samar mendengar pun merespon. "Gimana?" sahut Alam dengan melirik sekilas Wendy lalu kembali fokus ke jalanan.

Wendy melirik Alam dengan ujung matanya, terlihat malas dan sebal. "Apa? Ga ngomong juga," balasnya dengan masih terdengar merajuk.

"Oke, mau beli cemilan?"

Wendy melirik sekitarnya, tidak banyak pedagang di jalan yang mereka lewati.

"Di pinggir jalan ada—"

"Ke mini market, ga terjamin kalau di pinggir jalan," potong Alam dengan entengnya.

Wendy melongo dengan tidak terima. "Jangan remehin jajanan pinggir jalan! Mereka emang ga di toko yang luas, bersih dan banyak pegawainya! Tapi makanan mereka layak di makan, mereka pake bahan yang sama dan aku percaya mereka pasti menjamin semuanya! Mereka cari uang buat keluarganya! Mereka sampe jalan jauh-jauh pake roda atau bahkan mereka rela kena debu jalanan biar—"

Alam menepikan mobilnya, meraih wajah Wendy yang basah karena air mata.

Wendy bahkan tidak tahu kenapa dia secengeng dan seemosi itu.

"Sst... Maaf, jadi mau jajan apa?" Alam lebih baik mengalah karena untuk pertama kalinya dalam hidup, dia merasa kelabakan melihat wanita menangis.

Padahal selama ini dia dihadapkan dengan banyak wanita menangis karena dicampakan olehnya.

"Ga mau, pulang aja," Wendy menjauhkan tangan Alam, memalingkan wajahnya ke jendela.

Alam menghela nafas pelan, baru saja mereka akur dan saling memeluk. Kini rasanya Wendy kembali berubah, padahal Alam suka Wendy yang seperti kemarin-kemarin.

***

"Ga usah, tidur di ruang tamu aja," Wendy menolak Alam yang hendak memeluk Wendy.

Alam terlihat kecewa, dia akan memeluk barang tidak bernyawa lagi? Sialan! Alam tidak mau kembali dengan selir-selirnya— guling.

"Kenapa? Ada salah ya? Soal jajanan?" Alam masih betah di samping Wendy, bergerak sedikit demi sedikit agar bisa merapat padanya.

"Ga kok, kita harusnya ga seatap, sekasur lagi,"

"Kan mau nikah.," Alam masih berusaha membuat Wendy tidak sadar kalau dia terus mendekat.

"Tetep aja ga boleh, nenek kalau tahu pasti marah dan bakalan bikin lo di usir detik itu juga, ga peduli tengah malem pun...."

Alam memeluk pinggang Wendy, masih menatap wanita yang sibuk berceloteh soal ajaran-ajaran neneknya.

"Lo deket sama nenek ya?" Alam kembali bertanya agar Wendy tidak sadar kalau tangan Alam sudah melilit di perutnya.

"Hm, bunda kerja, ayah kerja. Jadi, gue di urus sama nenek banyaknya. Ketemu ayah sama bunda paling makan malem doang kalau ayah ga sibuk,"

"Ada bagusnya lo di besarin nenek, jadi prilaku lo ga sebebas orang di zaman sekarang," Alam mengusap perut Wendy yang masih rata.

Alam berjanji kalau dia akan mengurus Wendy yang kurus menjadi Wendy yang berisi.

"Tapi jalan Tuhan beda lagi, sebanyak apapun nenek ajari gue kebaikan, ternyata ada jalan lain yang bawa gue ke jalan yang salah." Wendy menatap langit-langit dengan menerawang.

"Lo ga salah, kita ga sepenuhnya sadar waktu itu,"

Wendy mengangguk samar. Tidak ada gunanya membahas masa lalu, semua sudah terjadi. Wendy sudah sangat bersyukur karena Alam mau bertanggung jawab.

"Ngomong-ngomong, minggu nanti lo mau ke rumah? Gue mau kenalin lo," Alam bisa merasakan kalau tubuh Wendy menegang.

"Di-di kenalin?" beo Wendy dengan wajah gelisah.

"Hm."

Apartemen (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang